Di akhir tahun 90an, saat melintasi jalan Thamrin, lalu jalan Sudirman, menuju arah Jakarta Selatan, terlihat gedung-gedung tinggi di kiri kanan jalan. Paket kebijaksanaan Oktober 1988 (Pakto 88) mengubah kehidupan perbankan nasional, membuat bank-bank bermunculan dengan marak di tanah air. Gedung-gedung tinggi sepanjang jalan protokol ibukota itu menjadi salah satu simbol kebesaran perusahaan di era akhir 80an dan 90an, penting untuk berada di distrik bisnis dengan logo masing-masing. Industri non-perbankan lainnya juga bergerak dinamis, turut hadir di gedung-gedung megah di distrik bisnis ibukota.
Disrupsi dan Perubahan
Dalam perjalanan waktu, disrupsi terjadi, yang paling nyata adalah disrupsi teknologi. Ditambah dengan kondisi sekarang, pandemi Covid-19 membuat perekonomian global terganggu. Tak satu organisasi pun, baik perusahaan swasta, perusahaan BUMN, instansi dan lembaga pemerintah yang luput dari dampak disrupsi. Beberapa nama-nama besar organisasi rontok, terpaksa menjual bisnis atau bangkrut. Nama besar ternyata bukan jaminan, perubahan yang terjadi membuat perusahaan yang rontok itu terlihat lemah dan rapuh menghadapi perubahan. Memang betul, kesuksesan di masa lalu tak menjamin kelangsungan bisnis seumur hidup.
Disrupsi teknologi menuntut organisasi berpikir ulang. Surat kabar dan televisi bersaing dengan media yang mudah diakses melalui telepon genggam. Perusahaan taksi yang sudah berjaya berpuluh tahun harus bersaing dengan taksi online yang menawarkan biaya lebih rendah. Toko ritel besar harus bersaing dengan media belanja online yang sangat mendukung situasi pandemi Covid-19. Perbankan perlu melakukan metamorfosa ke arah digital banking yang lebih ekonomis dan menghemat waktu. Pertumbuhan pesat uang kripto (cryptocurrency) dianggap mengancam kestabilan keuangan. Dengan memanfaatkan media elektronik, masyarakat menyuarakan tuntutan mereka pada instansi pemerintah untuk berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Revolusi Industri 5.0
Kemajuan teknologi, pandemi covid, generasi milenial yang mempunyai kecenderungan berbeda, dan kemungkinan perubahan lainnya membuat pimpinan bisnis tidak dapat lagi memusatkan fokus hanya pada perkembangan di seputar kompetitornya, atau pada sektor bisnisnya. Organisasi perlu mempunyai analisa dan pemikiran strategis tentang potensi transformasi dan disrupsi dalam berbagai aspek yang berdampak pada pola hubungan dengan pelanggan, pemasok, pasar global, tenaga kerja, struktur pendukung, dan lain-lain. Arahan bisnis yang berubah membutuhkan transformasi budaya organisasi.
Di masa depan pasti akan terjadi revolusi industri 5.0 sejalan dengan kemajuan teknologi dalam Artificial Intelligence (AI), Machine Learning, Internet of Things (IoT), mobil otonom dan kendaraan darat tanpa awak yang dapat menjelajahi lingkungannya tanpa penggerakan manusia, 3D printing, teknologi realitas berimbuh yang menggabungkan benda maya dua dimensi atau tiga dimensi ke dalam lingkungan nyata tiga dimensi lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut dalam waktu nyata, nanoteknologi, dan banyak kemajuan lainnya.
Akhir Kata…
Sudah kerap terdengar pepatah dari Hericlitus, filsuf Yunani kuno, yang mengatakan hanya perubahan lah yang abadi. Memang betul adanya, perubahan akan terus terjadi dalam kehidupan. Perubahan tak bisa dihindari. Organisasi yang terlena pada keberhasilan masa lampau, bisa tergerus oleh perubahan. Jika organisasi tidak siap menghadapi perubahan, tidak bergerak cepat, dan menutup mata terhadap kebutuhan beradaptasi dengan perubahan, maka organisasi itu sedang menjalani keterpurukan.
Kebutuhan untuk bertransformasi menghadapi perubahan dituangkan tiga belas orang penulis, yang dalam sejarah karier mereka menjadi pimpinan bidang Sumber Daya Manusia. Berubah Atau Punah, judul buku yang dipilih ketiga penulis tersebut, menggambarkan kebutuhan bertransformasi di tengah disrupsi. Seperti apa yang dikemukakan Kent Beck, seorang Software Engineer yang menciptakan Extreme Programming dan metode Agile Software:
The business changes. The technology changes. The team changes. The problem is not change per se, because change is going to happen. The problem, rather, is the inability to cope with change when it comes.