Adriani Sukmoro

Chief of Chief

Istilah C-Suite digunakan untuk jajaran pimpinan tertinggi perusahaan, yang merancang strategi bisnis, manajemen operasional organisasi, dan memastikan pencapaian target bisnis. C-Suite mempunyai wewenang membuat keputusan dan kebijakan perusahaan yang mendukung kinerja perusahaan.

Kolaborasi C-Suite

C-Suite ini umumnya terdiri dari Chief Executive Officer (CEO), Chief Financial Officer (CFO), Chief Operating Officer (COO), Chief Information Officer (CIO), Chief Human Resources Officer (CHRO), Chief Marketing Officer (CMO), Chief Risk Officer, dan jabatan pimpinan bidang lainnya yang dianggap perlu menjadi bagian dari C-Suite. Jabatan yang berada dalam C-Suite bisa berbeda di perusahaan yang berbeda, tergantung pada kebutuhan dan fokus organisasi tersebut.

Jajaran pimpinan dalam C-Suite mempunyai keahlian (expertise) di bidangnya masing-masing. Di tingkat ini para pemimpin mempunyai pola pikir strategis yang mengacu pada kemajuan perusahaan saat ini hingga masa depan. Sebagai jajaran tinggi pimpinan, mereka harus memotivasi karyawan untuk berkontribusi dalam pencapaian target bisnis. Kemampuan komunikasi sangat diperlukan guna menjangkau karyawan secara menyeluruh. Karyawan biasanya akan meniru teladan pimpinannya, sehingga C-Suite ini wajib menunjukkan contoh perilaku yang mendukung, yang berlandaskan nilai-nilai perusahaan, dan berdampak positif bagi lingkungan kerja.

Pimpinan C-Suite mempunyai target pencapaian masing-masing, sesuai bidang atau bagian yang dikelola. CFO akan fokus pada pemantauan arus kas dan perencanaan keuangan, serta mengusulkan arahan strategis bisnis berdasarkan analisa kekuatan dan kelemahan perusahaan. Sementara COO akan fokus pada kinerja operasional perusahaan, memastikan optimalisasi kapabilitas organisasi. Begitu seterusnya, setiap bidang mempunyai target pencapaian khusus. Karena itu penting memastikan benang merah yang menghubungkan target pencapaian bidang-bidang tersebut menjadi satu kesatuan pencapaian kinerja perusahaan yang prima.

Kolaborasi di antara pimpinan C-Suite menjadi keharusan. Perlu untuk memahami tantangan yang dihadapi bidang atau bagian lain, sehingga bagian-bagian lainnya bisa membantu bidang tersebut mengatasi tantangannya. Komunikasi membantu penguatan kolaborasi, meeting rutin manajemen menjadi sarana komunikasi yang biasa dipakai C-Suite.

CEO Sebagai Penggerak Utama

Chief Executive Officer (CEO) sebagai pimpinan tertinggi organisasi, mempunyai peranan penting dalam memaksimalkan sinergi pejabat eksekutif dalam mengelola kegiatan bisnis organisasi sehari-hari. Gaya kepemimpinan CEO dapat menguatkan kerja sama di antara para pemimpin C-Suite.

Di suatu organisasi, seorang pejabat eksekutif yang mengepalai bidang marketing selama enam tahun terakhir, dipromosikan menjadi CEO. Pengangkatannya sebagai CEO membangkitkan antusiasme manajer dan karyawan karena kinerja CEO tersebut cukup berkesan saat menjabat sebagai Chief Marketing Officer.

Dalam perjalanan waktu sebagai CEO perusahaan, keluhan di antara pejabat eksekutif C-Suite mulai terdengar. Bukan karena CEO baru tidak mengerti bisnis, atau tidak bekerja sesuai kultur organisasi. Ternyata CEO baru ini mengalami tantangan dalam mengubah gaya kepemimpinan, dari Chief Marketing Officer menjadi Chief Executive Officer. CEO baru masih belum melepaskan diri dari kebiasaan eksekusi target bisnis. Akibatnya, ia sering melibatkan diri dalam proses eksekusi. Meeting rutin pimpinan menjadi berisi pembahasan kegiatan operasional secara terperinci, bukan membicarakan strategi bisnis dan evaluasi pencapaiannya.

Keadaan di atas menunjukkan, CEO baru tersebut menjalankan mikromanajemen (micromanaging). Gaya kepemimpinan seperti ini mengganggu pejabat eksekutif dalam C-Suite, karena bisa menimbulkan persepsi ketidakpercayaan CEO terhadap kompetensi dan kemampuan pejabat eksekutifnya. CEO tersebut menjadikan dirinya sebagai Chief of Chief. Ia bukan saja Chief Executive Officer, ia juga bertindak sebagai Chief Operation Officer, Chief Financial Officer, Chief Human Resources Officer, dan Chief-Chief lainnya.

Mikromanajemen, Kreativitas dan Motivasi

Gaya kepemimpinan mikromanajemen biasanya menjadi penghambat kreativitas. Jika kreativitas mati, produktivitas pun akan menurun. Dampak lebih jauh, CEO yang terus menjalankan mikromanajemen bisa menurunkan motivasi pejabat eksekutif. Tingkat motivasi pejabat eksekutif bisa mempengaruhi timnya. Akibatnya suasana kerja menjadi tidak mendukung.

Kepemimpinan mikromanajemen biasanya membuat pejabat eksekutif dan timnya cenderung menutup mulut. Mereka mungkin berpikir, CEO yang dihadapi tak akan mendengarkan usulan mereka. Semuanya menjadi tergantung pada apa yang dikatakan CEO, tanpa ada yang memberi tanggapan, walau mungkin arahan dari CEO tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh tim departemen yang bersangkutan.

Mikromanajemen Menjadi Perencana Strategi

Bagaimana caranya mengubah diri dari CEO yang bergaya kepemimpinan mikromanajemen menjadi fokus pada peran perencana strategi bisnis dan memastikan pencapaian target yang ditetapkan?

CEO tersebut perlu untuk belajar mendelegasi tugas eksekusi pada pejabat eksekutif yang ada dalam C-Suite. Setiap pejabat eksekutif tersebut memiliki armada yang siap mendukung dan menjalankan tugas masing-masing.

CEO tersebut juga perlu untuk percaya pada kemampuan pejabat eksekutifnya mencapai target kerja yang telah ditetapkan. Seorang pejabat eksekutif mencapai posisi tersebut setelah melalui berbagai pengalaman, melengkapi kompetensinya, dan membuktikan melalui kinerjanya. Sudah selayaknya mereka dipercaya mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin departemen yang dikelolanya.

CEO Baru dan CEO Berpengalaman

Apakah CEO baru akan cenderung melakukan mikromanajemen, sedang CEO berpengalaman sudah pasti menjadi perencana strategi bisnis? Belum tentu.

Seorang CEO yang sudah berpengalaman menjadi CEO di beberapa perusahaan, memutuskan bergabung dengan suatu perusahaan. Harapan terhadap CEO ini cukup tinggi, bukan hanya karena pengalamannya memimpin di perusahaan pesaing, tapi juga karena CEO tersebut terlihat berkomunikasi dengan baik dan bisa mendekatkan diri dengan karyawan, termasuk karyawan di tingkat bawah.

Namun komunikasi yang baik dengan karyawan secara keseluruhan ternyata tidak berlaku bagi jajaran pimpinan eksekutifnya. CEO tersebut cenderung menerapkan mikromanajemen, tidak mendelegasikan tugas, menjadi Chief of Chief dalam praktek operasional perusahaan sehari-hari. Secara perlahan tapi pasti, suasana kerja di lingkaran C-Suite menjadi tegang. Meeting manajemen bersifat satu arah, pembicaraan dipenuhi pemikiran CEO. Pejabat eksekutif lainnya menjadi pendengar, kreativitas dan inisiatif mereka tidak bisa keluar, terhambat dominasi CEO yang merangkap menjadi Chief semua bidang dalam organisasi.

Kecenderungan mikromanajemen bisa diperbaiki jika organisasi memiliki wadah untuk memberi masukan, seperti misalnya proses umpan balik 360 derajat, survei keterlibatan karyawan (employee engagement survey), proses coaching dalam penilaian kinerja, dan lain-lain. Kecenderungan mikromanajemen ini tidak bisa dibiarkan, seperti yang dikatakan Martin Zwilling, CEO Startup Professionals: “Team members need to be trusted and valued, micromanaging communicates the opposite. Founders who are prone to manage every detail of their business will ultimately kill themselves as well as lose the support of team members. Learn to delegate key tasks and give credit.”