Orang melakukan kegiatan berbeda di waktu senggang. Ada yang nongkrong di café, ketemu teman-teman atau kolega dan ngobrol sampai puas di sana. Ada yang memasak di dapur, membuat kue atau kudapan lainnya. Ada yang mencoret kertas, menghasilkan gambar menarik. Seorang teman akan menekan tuts piano mengajak hadirin menyanyi saat rileks kumpul keluarga. Kegiatan yang dilakukan di waktu senggang ini biasanya berhubungan dengan hobi, kegemaran seseorang akan kegiatan tertentu.
Menyehatkan Pikiran
Kegiatan yang berhubungan dengan minat (passion) seseorang akan membantu ketenangan pikiran orang tersebut. Tak ada tekanan yang dirasakan saat melakukan hobi. Bahkan sering kali hobi membuat seseorang mengembangkan diri. Ada pembicaraan batin yang terjadi antara hati dan pikiran ketika seseorang berkonsentrasi melakukan hobinya. Saking larut dalam apa yang dilakukannya, waktu terasa berlalu begitu cepat, dan ketenangan atau kebahagiaan berjalan dalam pikiran orang tersebut. Karena itu, para ahli sering menganjurkan orang melakukan hal-hal yang disukai untuk menjaga kesehatan mental.
Buta Menulis
Saat saya duduk di kelas empat Sekolah Dasar (SD), guru meminta murid menulis karangan berjudul “Cita-citaku”. Tugas ini bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia.
Terasa bingung bagaimana harus memulai tugas mengarang itu. Tugas dikerjakan di kelas, harus selesai selama mata pelajaran Bahasa Indonesia. “Cita-citaku adalah menjadi seorang guru.” Demikian saya memulai tulisan. Rasanya kagok sekali, belum pernah ada bimbingan dari siapa pun, termasuk guru pengajar, bagaimana cara menulis yang baik dan menarik. Saya hanya berhasil menulis sepanjang satu halaman kertas bergaris itu.
Saat pelajaran Bahasa Indonesia di minggu berikutnya, guru menyinggung penilaian beliau akan hasil tulisan murid-murid. Memulai tulisan dengan langsung menjawab judul bukan cara menarik, begitu katanya. Bagi seorang murid berusia sepuluh tahun, masukan guru itu bermanfaat. Namun akan lebih bermanfaat lagi jika ada bimbingan cara menulis yang menarik, dengan memberi contoh dan meminta murid melakukan latihan berkali-kali. Tak satu pun dari tulisan murid yang mendapat pujian guru saat itu. Sepertinya semua murid buta cara menulis karangan yang baik.
Mengagumi Karya Tulis
Di suatu saat ketika saya duduk di kelas lima SD, majalah anak-anak yang populer mengadakan sayembara mengarang. Sayembara itu untuk anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar.
Majalah hanya menampilkan gambar seorang anak yang memegang kalung, ada anak lain yang berdiri di dekatnya. Kedua anak itu berdiri di jalan, ada pohon rindang di dekat mereka. Tak ada judul yang diberikan. Semuanya diserahkan kepada pembaca yang berminat mengikuti sayembara mengarang untuk mengembangkan tulisan mereka.
Walau ada yang menggelitik di pikiran, tapi saya tak tahu cara menulis. Ide tak berkembang, tulisan tak pernah dimulai. Saat keluar pengumuman pemenang, dan tulisan pemenang diterbitkan dalam majalah anak-anak tersebut, saya terkagum-kagum. Pemenang bercerita tentang seuntai kalung dan apa yang terjadi dengan kalung itu. Saya takjub, seorang murid Sekolah Dasar bisa menulis cerita bagus hanya berdasarkan gambar dari panitia sayembara. Saat itu saya tidak menyadari, pemenang itu pasti mendapat bimbingan cara menulis dan melatih diri, entah bimbingan dari guru atau dari anggota keluarga yang mempunyai minat dalam tulis-menulis.
Secara perlahan, tanpa disadari, ketertarikan dalam menulis mulai muncul. Ada proses menulis yang menantang, ada hasil karya tulis yang pantas untuk dibaca.
Dari Marah Roesli Hingga Chairil Anwar
Guru Bahasa Indonesia, seorang guru perempuan, selalu bersemangat menceritakan metamorfosa kesusasteraan Indonesia saat saya duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ibu Guru mengenalkan para pujangga Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan Angkatan 1945. Ada angkatan lain dalam dunia sastra Indonesia, tapi Ibu Guru banyak menggali karya pujangga ketiga Angkatan tersebut. Telinga jadi terbiasa mendengar nama Marah Roesli, Merari Siregar, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Hamka, Chairil Anwar, dan seterusnya.
Apa yang diajarkan Ibu Guru cukup menarik namun kurang bisa diresapi karena tak disertai ketersediaan buku karya tokoh-tokoh sastra itu di sekolah. Sekolah tak memiliki perpustakaan. Murid tak pernah membaca naskah besar seperti Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Dian Tak Kunjung Padam, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan lain-lain. Seperti belajar mengenal tanpa pernah bertemu, ‘melihat’ sendiri karya sastra itu. Apalagi mengembangkan pemahaman apa yang tersirat dari karya para pujangga. Alhasil pendidikan Bahasa Indonesia saat itu hanya mengarah pada hapalan akan tokoh-tokoh sastra di masanya masing-masing. Nama-nama mereka dan karya-karya mereka muncul dalam ulangan Bahasa Indonesia.
Dari Majalah Dinding Hingga Karma
Ketertarikan pada karya tulis yang sudah tumbuh dalam diri, membuat nama-nama tokoh sastra Indonesia menetap dalam ingatan. Walau ada perpustakaan di Sekolah Menengah Atas (SMA) tempat saya menimba ilmu, buku-buku para sastrawan tak tersedia di sana. Disayangkan memang. Namun beruntung ada majalah dinding dan buletin sekolah, redaksinya murid-murid sekolah itu juga yang berminat pada bidang tulis-menulis.
Majalah dinding memuat karya tulis murid, umumnya dalam bentuk puisi. Setiap dua minggu bermunculan puisi baru, ditulis bukan hanya oleh murid-murid bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), banyak juga puisi yang ditulis murid dari kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Puisi saya dimuat secara berkala. Ada rasa bangga melihat murid lain menyempatkan waktu membaca majalah dinding, saat istirahat atau saat pulang sekolah.
Sementara buletin sekolah yang diterbitkan memuat beragam artikel. Kehadiran buletin tidak tetap, mungkin karena menunggu artikel yang masuk ke Redaksi.
Suatu hari pengumuman terpampang di majalah dinding. Sekolah mengadakan sayembara mengarang. Beberapa guru sekolah akan menjadi juri, termasuk Kepala Sekolah dan Guru Bahasa Indonesia.
Ide kembali menggelitik di kepala, seperti saat membaca sayembara majalah anak-anak dulu. Dorongan berpartisipasi dalam sayembara mengarang kali ini lebih kuat, kegiatan menulis mendapat tempat tersendiri dalam pikiran.
Beberapa waktu kemudian, di hari Senin pagi, usai acara penaikan bendera dan pemberian pengarahan, Kepala Sekolah mengumumkan pemenang sayembara mengarang. Naskah Karma menjadi pemenang. Naskah itu berisi kepekaan sosial, ada konsekuensi yang harus dilakoni ketika melakukan hal-hal yang seharusnya tak dilakukan. Karma menjadi karya pertama saya yang mendapat penghargaan.
Kemenangan dalam sayembara mengarang di SMA itu menyadarkan saya akan hobi menulis yang ternyata ada dalam diri. Menulis membuat pikiran rileks. Menulis memungkinkan seseorang menyampaikan pesan kepada siapa pun yang membutuhkannya. Tulisan bisa membawa penulis dan pembacanya berkelana dalam situasi.
Alah Bisa Karena Biasa
Jika suatu pekerjaan telah biasa dilakukan, maka kesukaran melakukan pekerjaan itu tidak terasa lagi. Pepatah di atas memberi semangat pada orang untuk melakukan sesuatu secara berulang agar terbiasa dan menjadi biasa. Hal yang sama berlaku dalam menulis. Mulailah dengan selembar kertas. Selesaikan satu halaman dalam satu hari. One page one day. Jika kerap berlatih, seharusnya siapa pun bisa menulis.