Grand Prix Marching Band (GPMB) diadakan setiap tahun di Jakarta, dimulai sejak tahun 1982. Perlombaan marching band ini cukup megah, biasanya diadakan di bulan Desember di Istora Gelora Bung Karno. Kelompok marching band di tanah air ramai-ramai berpartisipasi dalam lomba yang bergengsi ini, memperebutkan berbagai piala, termasuk piala Presiden. Ada pemisahan antara Divisi Umum dan Divisi Sekolah, yang kemudian disebut Divisi I dan Divisi Utama. Aspek musikal; aspek visual yang meliputi koreografi, baris berbaris, busana; aspek kepemimpinan Field Commander, dan aspek umum menjadi dasar penilaian juri dalam menentukan juara Grand Prix Marching Band. Tema tertentu dipilih oleh setiap kelompok marching band; tema menjadi penunjang cerita yang dikisahkan dalam permainan musik, gerak, dan harmonisasi penampilan dalam waktu terbatas.
Tarakanita
SMA Tarakanita 1 dikenal dengan marching bandnya yang sudah beberapa kali menjuarai Grand Prix Marching Band untuk Divisi Sekolah. Murid-murid yang menjadi anggota marching band di sekolah itu disebut Korps Putri Tarakanita.
Tahun 2007 Korps Putri Tarakanita kembali berpartisipasi dalam Grand Prix Marching Band. Persiapan dan latihan rutin pun dimulai beberapa bulan sebelum tanggal perlombaan. Tema penampilan yang dipilih Riverdance.
Tema itu menimbulkan keingintahuan, apalagi setelah melihat Korps Putri Tarakanita latihan menampilkan musik Riverdance. Terdengar paduan musik horn yang terdiri dari trumpet, mellophone, trombone, baritone, dan tuba. Nada perkusi juga menyatu, mulai dari quarto, pits dan marimba. Di saat semua pemain horn dan perkusi meletakkan alat musik mereka, dan menari dengan gerak langkah tertata bersama kelompok color guards marching band itu, terlihat unsur stepdance dari tarian yang berasal dari Irlandia.
Riverdance merupakan pertunjukan terkenal yang diadakan di Irlandia, ditampilkan pertama kali di Dublin tahun 1995. Riverdance menampilkan musik tradisional Irlandia dan tarian dengan gerakan kaki cepat, tapi tubuh bagian atas dan lengan tak bergerak. Para penari menggunakan kostum tradisional Irlandia yang khas. Ketenaran Riverdance membawa pertunjukan ini melanglang buana ke berbagai negara dan ditonton lebih dari 25 juta orang.
Karya Dari Hati
Di bulan-bulan menjelang Grand Prix Marching Band, Korps Putri Tarakanita berlatih secara intensif. Tiba-tiba terdengar berita, salah seorang anggota tim color guards korps itu masuk rumah sakit akibat kesalahan tindakan medis di klinik tertentu. Rombongan teman-teman korps dan beberapa orangtua datang menjenguk ke rumah sakit. Tak dinyana, anggota korps yang sehat wal’afiat di hari kemarin, kehilangan kesadaran. Obat-obatan dan tindakan medis tak mampu menyelamatkannya. Kepergiannya membuat keluarganya dan seluruh murid-murid Tarakanita, para guru, pelatih marching band sedih dan tak percaya.
Banyak sekali yang mengantar almarhum ke peristirahatan terakhir. Bukan hanya pihak sekolah dan murid, orangtua murid juga banyak yang mengantar ke pemakaman. Saya hadir dan merasakan kesedihan yang dialami. Almarhum tak bisa ikut tampil dalam Grand Prix Marching Band. Ia seharusnya ada di sana, bersama Korps Putri Tarakanita.
Sebagai orangtua, saya bisa merasakan kesedihan yang menimpa orangtua almarhum, kehilangan putri tercinta yang tak punya penyakit berat dan tak memberi tanda-tanda perpisahan. Kesedihan itu membawa saya menulis cerita pendek (cerpen) Riverdance. Tulisan Riverdance dipersembahkan untuk almarhum. Cerpen Riverdance bercerita tentang kakak yang kehilangan seorang adik, anggota marching band. Saya merasa begitu dekat dengan tokoh cerita kakak dan adik itu. Riverdance ditulis dengan sepenuh hati, membuat airmata mengalir deras saat menulisnya, bahkan saat membaca ulang.
Cerpen Riverdance selesai dalam dua hari. Tak ada hambatan menuangkan kesedihan dalam tulisan. Cerpen itu dimasukkan dalam laci, disimpan bersama cerpen-cerpen lain yang pernah ditulis.
Gotong Royong
Saat duduk di lounge bandara menunggu panggilan naik pesawat terbang adalah saat yang paling sering mendorong menulis cerita di laptop. Kebetulan saya sering dinas ke luar kota, sehingga waktu menunggu di lounge bandara telah menghasilkan beberapa cerpen. Namun kesibukan kantor membuat cerpen-cerpen itu hanya tersimpan dalam laci, tak pernah diperiksa, tak pernah dikirim ke redaksi media apapun.
Ternyata cerpen-cerpen itu bermanfaat juga. Tahun 2009 Korps Putri Tarakanita kembali mendaftar dalam Grand Prix Marching Band. Partisipasi dalam Grand Prix Marching Band membutuhkan dana yang tidak sedikit. Biaya sewa gedung, pelatih, konsumsi, kostum, peralatan, dan lain-lain menjadi tantangan Korps Putri Tarakanita.
Anggaran yang disediakan sekolah tak mencukupi. Bagaimana cara menyiasatinya? Orangtua murid anggota Korps Putri Tarakanita pun turun tangan, gotong royong membantu. Dibentuk kepanitiaan orangtua demi kesuksesan penampilan marching band Tarakanita. Sebagian besar orangtua menyumbang uang, sebagian lagi menjual rempeyek dan produk lainnya untuk sumbangan dana.
Melihat perjuangan orangtua murid membantu anggaran yang dibutuhkan, saya bertanya dalam hati: apa yang bisa saya lakukan? Putri bungsu saya anggota Korps Putri Tarakanita. Hati pun tergugah, pikiran pun mulai bekerja. Saya tak bisa tinggal diam.
Laci meja pun dibuka. Laci yang berisi tumpukan tulisan cerpen ada di sana. Cerpen segera dibaca, diperiksa, dan diperiksa lagi. Cerpen-cerpen itu bisa dijadikan buku, lalu dijual. Teman yang mengerti seluk-beluk penerbitan buku pun dihubungi, belajar mengikuti langkah-langkah yang pernah dilakukannya dalam menerbitkan bukunya.
Keputusan bulat, saya akan menerbitkan buku berisi kumpulan cerpen. Hasil penjualan buku akan disumbangkan pada Korps Putri Tarakanita. Tanpa ragu, Riverdance dipilih menjadi judul buku.
Tujuan Tercapai
Buku Riverdance berhasil diterbitkan dan dijual, mengumpulkan dana sebesar dua puluh tujuh juta rupiah. Tujuan tercapai, buku Riverdance berkontribusi pada pendanaan kegiatan Korps Putri Tarakanita dalam Grand Prix Marching Band 2009.
Maya Angelou, seorang penulis Afrika-Amerika yang pernah diminta membacakan puisi karyanya dalam inagurasi Presiden Amerika Serikat tahun 1993, mengatakan, “There is no greater agony than bearing an untold story inside you.” Cerpen Riverdance mewujudkan persembahan pada almarhum anggota marching band sekolah Tarakanita, cerpen-cerpen lainnya dalam buku Riverdance mewujudkan cerita yang ingin dibagi pada pembacanya. Tak ada rasa sakit karena tak ada yang dipendam dalam laci. Semua kisah diceritakan dalam buku.
Seorang penulis tak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan karyanya jika karya hanya disimpan untuk diri sendiri. Penulis perlu mendorong diri untuk menerbitkan karyanya, tanpa terjebak dalam pikiran apakah karyanya akan dibaca orang atau tidak diapresiasi.
Bagi yang berminat mendapatkan buku Riverdance secara gratis (hanya perlu membayar ongkos kirim), silakan mengirim email permohonan ke [email protected] -*) selama persediaan buku masih ada.