Sekelompok anak-anak berjoget menggoyangkan tubuh di salah satu area Gelora Bung Karno (GBK). Mereka mengenakan pakaian olahraga, seperti kebanyakan orang-orang yang berada di GBK pagi itu. Semua mata anak-anak itu mengarah pada telepon genggam yang diacungkan ke atas oleh salah seorang dari antara mereka. Telepon genggam itu merekam apa yang mereka sedang lakukan. Kemungkinan besar akan ditayangkan di Tik Tok, aplikasi yang membolehkan para pemakai untuk membuat video musik pendek mereka sendiri. Atau mungkin ditampilkan di Instagram, aplikasi yang mempunyai fitur-fitur mendukung untuk update video atau foto.
Tampil Eksis
Tampil di media sosial sudah menjadi kebutuhan bagi generasi muda secara umum, bahkan mungkin sebagian generasi X. Anak-anak yang berkelompok berjoget di GBK mungkin meniru apa yang mereka lihat di media sosial. Banyak contoh orang-orang yang menampilkan kegiatan di Tik Tok, Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya; menjadi trend sosial dan dianggap kekinian.
Instagram menjadi sarana media sosial yang populer di masa kini. Menurut data Business of Apps, pengguna Instagram secara global sudah mencapai 1,96 miliar orang pada kuartal I 2022. Dari angka itu, Indonesia menjadi negara keempat terbesar pengguna Instagram setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil.
Tercatat 99,15 juta pengguna Instagram di tanah air di awal 2022. Angka itu mewakili 35,7 persen dari total populasi Indonesia. Diperkirakan angka itu akan terus bertambah. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk menampilkan keseharian pengguna melalui media sosial itu, mendukung teori Abraham Maslow tentang kebutuhan untuk tampil dan dikenal orang lain.
Jika dulu orang membaca suratkabar yang terbit satu kali sehari, atau majalah yang terbit seminggu sekali, perkembangan teknologi membuat manusia menerima jutaan informasi dalam sehari, melalui Instagram atau media sosial lainnya. Tak heran jika kebiasaan memegang gadget terlihat di mana-mana. Orang selalu mengecek gadget, seperti suatu kebutuhan, entah karena takut ketinggalan berita, atau karena keingintahuan.
Kehidupan Menyenangkan
Kegiatan sederhana seperti sarapan pagi, atau makan siang, atau makan malam, sudah biasa di-posting di Instagram atau media sosial lainnya. Ditambah lagi dengan kegiatan berkumpul di sana sini, kegiatan traveling, kegiatan mengunjungi tempat belanja baru, dan lain-lain.
Seorang pegawai perusahaan swasta rajin bersosialisasi setelah jam kerja usai. Sedikitnya sekali dalam seminggu ia bergabung dengan teman-teman di luar kantor, ngopi dan makan malam bersama. Kegiatan sosialisasi itu pasti di-posting di akun media sosialnya. Kelompok teman makan malam pun berbeda-beda, sehingga akun media sosial pegawai tersebut menggambarkan luasnya pertemanan dan banyaknya restoran yang telah dijelajahi.
Posting-an di media sosial akan dilihat teman-teman, kolega, atau orang lain yang terhubung dengan media sosial orang tersebut. Jika si pemilik akun dianggap cool, kekinian, mengikuti perkembangan zaman; tak ayal kegiatan orang tersebut bisa mempengaruhi mereka-mereka yang mengamatinya. Mereka yang mengamati dapat berpikir betapa senangnya kehidupan si pemilik akun media sosial tadi. Inilah dampak psikologis yang tanpa disadari bisa saja membuat orang lain merasa cemas karena ia tidak melakukan kegiatan seperti itu, atau membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang terlihat menyenangkan, atau merasa dirinya ketinggalan dibandingkan orang tersebut.
Jangan Sampai Ketinggalan
FOMO atau Fear of Missing Out, istilah yang muncul bagi orang-orang yang merasa cemas atau takut ketinggalan karena tak mengikuti kegiatan seperti yang terlihat di media sosial atau di lingkungannya. Sementara apa yang tampil di akun media sosial teman, kolega, atau orang yang selalu diamati, cenderung menampilkan hal-hal menyenangkan. Tentu saja demikian. Kebutuhan eksis dan tampil selalu berhubungan dengan keasyikan tertentu, kehebatan, ingin diakui, dikagumi dan dipuja; ingin mendapatkan banyak followers, menjadi orang paling mengerti tentang apa yang dibicarakannya.
Akibatnya orang-orang yang tak mau ketinggalan, akan meniru melakukan kegiatan seperti orang lain. Dampak psikologis ini bisa mengganggu karena kepedulian akan tampilan di media sosial bisa lebih besar daripada kehidupan nyata. Acap kali keinginan tampil hebat di media sosial tak memperhitungkan kemampuan ekonomi, sehingga pepatah besar pasak dari tiang bisa saja terjadi. Apalagi ada kecenderungan membeli hal-hal yang sebenarnya tak diperlukan demi terlihat mengikuti perkembangan zaman.
Dampak lain dari tak ingin ketinggalan, orang tersebut akan selalu mengecek gadget-nya. Ia selalu ingin tahu kehidupan orang lain, gosip terbaru.
FOMO juga bisa membuat seseorang merasa harus berada di suatu tempat atau kegiatan. Ia takut ketinggalan jika tak tampil dalam kegiatan tersebut di media sosial. Walau sebenarnya ia sedang letih, atau banyak pekerjaan, ia akan memaksakan diri turut hadir.
Menjadi Diri Sendiri
Jika terus menerus mengejar tampil eksis dalam kegiatan tertentu karena tekanan FOMO, seseorang akan lelah pada suatu saat, bahkan bisa merasa stress, sulit tidur, ataupun depresi. Tekanan finansial pun dapat memperberat situasi, orang tersebut mungkin saja menjadi pengutang kartu kredit dan dikejar-kejar Debt Collector.
Bagaimana menghadapi tekanan FOMO di masa media sosial mudah dijangkau kapan saja dan di mana saja?
Langkah-langkah di bawah ini bisa membantu mengatasi FOMO:
- Menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya sehingga bisa menghargai diri sendiri, tak perlu menjadi orang lain.
- Jangan cemas memikirkan bagaimana pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Tak perlu berusaha ikut melakukan kegiatan demi eksistensi di dunia maya atau demi menyenangkan orang lain.
- Lakukan hobi yang bisa membuat rileks dan memberi kepuasan batin. Hobi yang dilakukan dengan tekun tak jarang bisa menempatkan seseorang ke posisi tertentu dalam konteks sosial, tak perlu mengejar tampil eksis di media sosial.
- Bijaksana dalam penggunaan media sosial dan gadget. Waktu dan kehidupan akan tetap berjalan walau seseorang tak membuka gadget. Karena itu batasi diri mengakses gadget, dan selektif memilih informasi apa yang akan dibaca.
Etty Hillesum, seorang penulis berkebangsaan Belanda yang meninggal di kamp konsentrasi Auschwitz, mengatakan, “That fear of missing out on things makes you miss out on everything.” Sementara Andrew Yang, seorang pengusaha, pengacara, dan filantrop, mengatakan, “FOMO is the enemy of valuing your own time.”
Etty Hillesum dan Andrew Yang menunjuk pada satu fakta, bahwa FOMO hanya menghabiskan waktu seseorang. Waktu yang berharga terbuang karena tak digunakan untuk hal yang sesungguhnya diperlukan orang itu.