Melakukan perjalanan ziarah (pilgrim) dilakukan orang dengan alasan masing-masing. Pilgrim acap kali berhubungan dengan konteks agama dan budaya: ingin mendapatkan pengalaman spiritual, atau mencari tujuan hidup, atau menemukan nilai-nilai luhur, atau mencari kedamaian batin, atau membersihkan diri dari dosa. Mungkin pula orang melakukan perjalanan ziarah karena ingin mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri dan keberadaannya di dunia ini.
Liburan Akhir Tahun
Akhir bulan Desember saat yang tepat untuk liburan keluarga, bersamaan dengan libur pertengahan semester sekolah di tanah air. Bagi seorang ibu bekerja seperti saya, liburan keluarga menjadi pengasah keeratan keluarga. Tak ada pembicaraan mengenai beban sekolah maupun beban kantor, pikiran dipusatkan pada tempat liburan yang dikunjungi. Selain kebersamaan intens dengan anggota keluarga selama perjalanan; pemandangan, informasi sejarah, dan keunikan tempat yang dikunjungi menjadi daya tarik yang dinikmati bersama-sama. Pikiran pun menjadi rileks, energi baru muncul seperti battery recharged, baterai yang diisi ulang.
Biasanya rencana perjalanan akhir tahun sudah dibicarakan bersama anggota keluarga beberapa bulan sebelumnya. Pada tahun itu, salah seorang anggota keluarga mencetuskan ide. Mengapa tidak merayakan Natal bulan Desember di tempat dimana Sang Pencipta dalam kepercayaan Nasrani dilahirkan?
Ide itu disambut baik. Keputusan diambil, keluarga akan merayakan Natal di Bethlehem. Sekaligus mengikuti ziarah religi yang dikemas dalam holyland tour. Biasanya ada beberapa negara Timur Tengah yang dikunjungi dalam paket holyland tour, salah satunya negara Israel.
Hubungan Diplomatik
Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tapi memiliki hubungan tidak resmi dalam hal perdagangan, pariwisata, dan keamanan. Walau tak ada hubungan diplomatik, warga Indonesia bisa mendapatkan visa turis ke Israel melalui perjalanan kelompok yang diatur agen perjalanan.
Mengikuti holyland tour yang diselenggarakan agen perjalanan adalah cara yang praktis, tak ada waktu dan tenaga khusus yang dikeluarkan untuk mengurus visa Israel.
Hijau di Timur Tengah?
Rombongan tour tidak terbang langsung ke Israel. Perjalanan dimulai dengan kunjungan ke negara Jordania, baru dilanjutkan dengan perjalanan darat memasuki Israel. Cara ini paling dianjurkan karena dianggap sebagai akses paling mudah untuk masuk ke Israel.
Ada tiga entry point jalan darat untuk masuk ke Israel (dari Jordania): Yitzhak Rabin Terminal/Wadi Araba Crossing, King Hussein Bridge (Allenby) Terminal, dan Jordan River/Sheikh Hussein Crossing. Umumnya pengunjung memasuki Israel melalui Yitzhak Rabin/Wadi Arava Crossing.
Pemeriksaan di area perbatasan cukup ketat. Petugas bersenjata terlihat siap siaga. Tak hanya petugas laki-laki, banyak petugas perempuan yang bekerja menjaga keamanan di pintu masuk perbatasan itu.
Pengalaman menghabiskan beberapa hari di Jordania membuat pikiran mengatakan bahwa negara Timur Tengah dipenuhi gurun pasir, debu, dan udara panas. Alhasil, lumayan terkejut ketika melihat pemandangan hijau saat bus mulai menelusuri perjalanan di Israel. Kok bisa? Ternyata Israel melakukan inovasi besar, mentransformasi dirinya dari negara yang 60% berisi gurun pasir menjadi negara pertanian.
Bagaimana caranya?
Air merupakan sumber yang sangat berharga di negara mana pun. Apalagi di alam Timur Tengah yang sarat dipenuhi gurun pasir tandus. Israel mengerahkan fokus mereka pada air yang langka itu. Mereka tahu, walau padang gurun, tetap saja ada air jauh di bawahnya.
Maka dilakukan proyek besar dengan pendanaan besar. Para ahli dan pekerja melakukan penggalian membuat lubang bor yang sangat dalam hingga air ditemukan. Selain itu air juga dipompa dari Sungai Jordan. Air dari kedua sumber itu menjalani proses desalinasi, proses menghilangkan atau membuang garam dari air, agar air dapat diminum dan dapat digunakan untuk menyirami tanaman. Tak hanya sampai di situ, Israel juga melakukan recycle air, sehingga tak ada air yang terbuang.
Ketersediaan air itu yang memungkinkan Israel menanam berbagai pohon hijau dan bertani. Pohon-pohon sangat bermanfaat: menjadi peneduh tanah, menahan air, mengurangi panas, dan menaikkan curah hujan. Alhasil, alam Israel nan hijau seolah berbeda dengan negara tetangganya.
Merah Putih di Danau Galilea
Naik kapal kecil (boat) dari kayu mengarungi Danau Galilea menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan saat pilgrim tour. Bagi kaum Nasrani, Danau Galilea menjadi saksi penting. Sang Pencipta sering berada di Danau Galilea bersama murid-muridnya, dan berkhotbah di sana. Di danau itu pula Sang Pencipta berjalan di atas air, meredakan badai.
Tak lama setelah peserta tour berada di atas kapal kayu, awak kapal mengumumkan, sebentar lagi akan didengungkan lagu kebangsaan. Dan betul, terdengar lagu Indonesia Raya berkumandang dari sound system, disertai bendera Merah Putih yang dikibarkan di geladak kapal. Semua peserta tour yang berasal dari Indonesia langsung berdiri, menghormati Sang Saka Merah Putih sambil menyanyikan lagu kebangsaan. Sangat mengesankan, rasa nasionalisme bangkit ketika berada di atas Danau Galilea. Kegiatan serupa dilakukan bagi semua turis peziarah, sehingga lagu kebangsaan dari berbagai negara telah berkumandang di Danau Galilea.
Selama beberapa saat peserta tour diberi kesempatan menikmati pemandangan Danau Galilea. Danau itu menerima air dari Sungai Jordan, lalu menyalurkan air ke Laut Mati di bagian Selatan. Ada yang mengatakan, Danau Galilea memberi gambaran tentang pentingnya berbagi: menerima air, di saat yang sama menyalurkan air.
Namun ketenangan di atas kapal agak terusik ketika awak kapal mulai sibuk menjual berbagai batu-batuan yang dikatakan dari Danau Galilea. Batu-batuan itu dijadikan pernak-pernik kalung, cincin, hiasan gantungan, dan lain-lain. Banyak peserta tour yang jadi sibuk belanja batu-batuan di atas kapal. Saya memilih menjauh dari tempat awak kapal menjual dagangannya, duduk di pojok geladak yang memaparkan pemandangan Danau Galilea yang biru, dipadu dengan langit cerah berwarna biru.
Kota Damai
Jerusalem, yang berarti kota damai (city of peace), menjadi salah satu kota yang dikunjungi dalam perjalanan ziarah itu. Jerusalem sering juga disebut sebagai Zion, karena benteng atau dinding kota tua Jerusalem dibangun di Gunung Zion.
Jerusalem dianggap sebagai kota suci bagi penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Kota ini salah satu kota tertua di dunia, sudah ada sejak sekitar tahun 3500 sebelum Masehi.
Di kota ini pula Sang Pencipta melakukan perjalanan membawa kayu salib, yang kemudian digunakan untuk menyalibkannya, hingga kematiannya. Perjalanan itu disebut Via Dolorosa. Peserta ziarah diajak napak tilas melalui Via Dolorosa; saya menjadi salah satu sukarelawan yang memikul salib sepanjang Via Dolorosa itu.
Western Wall, tembok ratapan yang terkenal, terdapat di kota ini. Tembok ratapan itu sering juga disebut sebagai Wailing Wall atau Kotel. Saya melihat penduduk setempat, seorang wanita Yahudi, berdoa dengan kusuk di tembok ratapan. Kepalanya ditutupi selendang pendek (scarf), tangannya memegang sebuah buku, mungkin buku keagamaan. Ia mencondongkan badannya ke depan, merapat ke tembok, kepalanya disentuhkan ke tembok ratapan.
Bukan hanya kaum Yahudi yang memanjatkan doa ke tembok ratapan. Banyak pengunjung kota Jerusalem dari berbagai negara dan penganut agama berbeda yang memanfaatkan kesempatan mampir ke Wailing Wall; mereka meletakkan kertas berisi doa di sela-sela retakan tembok ratapan.
Sungai Jordan dan Laut Mati
Kunjungan ke Sungai Jordan penting dilakukan dalam perjalanan ziarah. Di sungai itu Sang Pencipta dibaptis, sehingga upacara menyerupai pembaptisan pun dilakukan pada peserta ziarah.
Satu per satu peserta ziarah menapaki jalan menurun hingga berada tepat di tepi Sungai Jordan. Lalu seorang Imam mengambil air Sungai Jordan, memberi pemberkatan kepada setiap peserta tour dengan air tersebut. Proses itu berjalan dengan khusuk, karena memang pembaptisan Sang Pencipta di sungai itu dulu berjalan dengan sakral.
Berbeda suasananya ketika peserta tour dibawa ke Laut Mati (Dead Sea), laut yang tercatat sebagai titik terendah di bumi. Suasananya ramai, banyak sekali orang yang berenang di tepi Laut Mati. Tubuh mereka terlihat mengapung di atas air Laut Mati. Hal ini terjadi karena tingginya konsentrasi garam atau salinitas air di Laut Mati.
Saya pun tak mau ketinggalan, walau sekadar membasahi tubuh dengan air Laut Mati. Laut Mati dikenal luas sebagai tempat menyembuhkan penyakit, sehingga menjadi tempat populer untuk meningkatkan kesehatan, bahkan kecantikan.
Natal di Bethlehem
Akhirnya tiba malam Natal. Rombongan tour telah berada di Bethlehem tanggal 24 Desember. Pohon Natal dengan hiasannya terlihat di beberapa tempat. Udara malam agak dingin, membuat setiap orang mengenakan jaket dan syal penahan dingin.
Peserta tour dibawa masuk ke dalam suatu gua, misa Natal dilakukan dalam gua itu. Setiap orang dipersilakan duduk di atas batu-batuan yang saling menyambung. Batu-batuan itu tersusun dua tingkat, orang bisa memilih duduk di bagian bawah atau di bagian atas. Altar misa terletak di depan, membuat umat dapat melihat jalannya prosesi misa Natal.
Udara di dalam gua terasa hangat, membuat hadirin mengikuti misa dengan khusuk, tak kedinginan. Mengikuti misa Natal di Bethlehem, tempat kelahiran Sang Pencipta, memberikan pengalaman berbeda. Pengalaman rohani yang pasti dibawa pulang oleh mereka yang beruntung melakukan pilgrim ke Bethlehem.
Tujuan liburan keluarga di tahun itu tercapai, merayakan Natal di tempat Sang Pencipta dilahirkan.
Perjalanan di Israel saat itu aman, tak ada perang selama berada di sana. Berbeda dengan suasana Natal tahun ini. Penduduk dan pemuka agama di Bethlehem memutuskan untuk meniadakan pohon Natal di bulan Desember tahun ini, sehubungan adanya perang di Gaza, yang letaknya hanya lima puluh kilometer dari kota Bethlehem. Ribuan korban berjatuhan akibat serangan Israel di Gaza. Kota Bethlehem turut merasakan kesedihan warga yang terdampak perang Gaza, sehingga mereka merasa tak pantas membuat perayaan walau Natal seyogianya mengandung unsur merayakan kelahiran Sang Pencipta.
Bertrand Russel, seorang filsuf dan ahli matematika dari Inggris mengatakan, war does not determine who is right – only who is left. Perang tak akan memecahkan masalah. Perang tak akan menentukan siapa pemenang pertarungan itu. Perang hanya menyisakan orang-orang yang berhasil selamat dari tragedi perang. Selalu ada korban akibat perang.
Semoga Natal membawa kedamaian bagi umat di seluruh penjuru dunia. Felicem Natalem Christi!