Sebagai penggemar buku, saya banyak membeli buku-buku yang mendapat penilaian bagus dari berbagai sumber, diantaranya penilaian New York Times dan Goodreads.
Ketika anggota keluarga yang tinggal di Amerika mengabarkan akan mengunjungi Jakarta, saya pun tak mau melewatkan kesempatan. Segera mencari data tentang buku laris (best seller) di pasar Amerika melalui Goodreads dan Google. Cukup memilih sepuluh buku agar tak terlalu memberatkan koper anggota keluarga tadi. Buku-buku itu tak terlalu mahal, dibeli dari Thrift Store, toko penjual buku bekas. Walau buku bekas, tampilannya masih bagus, karena memang toko itu punya standar kelayakan buku bekas yang dijual.
Buku Komik?
Saat buku-buku yang dititipkan pada anggota keluarga yang berkunjung ke tanah air sudah diterima, saya membuka buku-buku itu satu per satu. Hanya ingin melihat sekilas gambaran isi buku, untuk menentukan buku mana yang akan dibaca lebih dulu.
Saya agak terkejut saat membuka buku yang berjudul Persepolis. Mengapa buku itu penuh gambar yang bercerita? Bukan hanya satu dua halaman saja. Buku itu sepenuhnya diisi gambar yang bercerita, menjadikannya novel grafis, novel yang memiliki kandungan komik!
Saya jadi bingung sendiri, bertanya-tanya mengapa saya membeli buku itu? Saya bukan penggemar komik. Mengapa buku itu muncul dalam urutan daftar buku yang saya telusuri di media elektronik?
Buku itu bersampul merah. Di cover buku ada tulisan The Story of a Childhood, terletak di atas lukisan wajah seorang anak perempuan yang berkerudung. Nama penulis ditampilkan di bagian bawah, penulisnya Marjane Satrapi. Nama yang belum pernah saya dengar, bukan nama Caucasian.
Tanpa disadari, keingintahuan atas buku Persepolis membuat buku itu menjadi buku pertama yang saya baca dari kesepuluh buku yang dibeli dari Amerika.
The City of Persians
Membaca halaman pertama dilanjutkan ke halaman kedua. Lalu halaman ketiga. Dan seterusnya. Ternyata buku novel grafis yang mengandung unsur komik itu sangat menarik! Menyuguhkan kisah kehidupan masa kecil hingga remaja sang penulis, Marjane Satrapi. Cara berceritanya lucu, menyentuh, apa adanya, singkat, mengena. Hanya dalam waktu dua hari buku itu selesai dibaca.
Banyak kehidupan masa kecil dan remaja yang bisa diceritakan setiap orang. Namun pengalaman Marjane Satrapi unik. Ia dibesarkan di Teheran, ibukota negara Iran. Keluarganya kelas menengah, yang mampu menyekolahkan Marjane Satrapi ke sekolah berbahasa Perancis.
Di masa kelahiran hingga remajanya, monarki Iran dipimpin oleh Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi. Kepemimpinan Shah Iran tak disukai, banyak rakyat yang melakukan kegiatan menentang pemerintah, termasuk orangtua Marjane Satrapi. Mereka aktif mendukung gerakan kelompok kiri menentang monarki Shah Iran.
Orangtuanya senang ketika Shah Iran digulingkan dari tahta kepemimpinan melalui Revolusi Iran. Namun kesenangan itu berganti ketika pemerintah baru negara itu ternyata lebih represif dari sebelumnya. Berbagai larangan diberlakukan, membuat ruang gerak yang dulu dimiliki menjadi sangat terbatas.
Setelah melalui berbagai pengalaman di bawah pemerintahan rejimen baru, orangtua Marjane Satrapi memutuskan mengirimnya sekolah ke Vienna, Austria. Mereka percaya, pendidikan, kebebasan, dan masa depan yang baik akan didapatkan putri mereka di luar Iran.
Buku itu dinamakan Persepolis untuk menggambarkan sejarah Iran, yang dulu disebut Persia, dengan ibukotanya Persepolis. Kata Persepolis sendiri berarti kota Persia, the city of Persians.
Monokromatik
Usai membaca Persepolis, saya menyadari buku itu sarat dengan pesan kehidupan yang digambarkan melalui ilustrasi monokromatik (hitam putih). Ilustrasinya sederhana, gampang dimengerti siapa pun yang membacanya, walau berbeda latar belakang dan kultur. Walau penyampaian cerita melalui gambar ala komik, namun makna yang tersirat dari gambar dan cerita cukup dalam.
Buku novel grafis itu mendapat berbagai penghargaan di tingkat internasional. Kelebihan buku itu terletak pada cara menceritakan kisah sedih, gaya seni grafis yang unik, dan penggambaran kehidupan anak menuju masa remaja dengan latar belakang Revolusi Iran.
Lima Kilometer
Buku Persepolis menyisakan pertanyaan di benak kepala: bagaimana kehidupan di negara Iran paska Revolusi Iran? Keingintahuan membuat saya mengatur janji ketemu makan siang bersama seorang kolega yang pernah bekerja di Iran setelah lebih dari tiga puluh tahun Shah Iran diturunkan dari tahta.
Pengalaman kerja kolega itu di bidang teknologi dan telekomunikasi. Seperti banyak para profesional lainnya, ia pun menempatkan profil dirinya di LinkedIn, jaringan profesional online terbesar di dunia. Sebuah executive search yang berbasis di Eropa tertarik pada profilnya dan menghubungi. Ada kesempatan kerja di Iran. Klien mereka, sebuah perusahaan Afrika yang bergerak di bidang teknologi dan telekomunikasi, sedang mencari tenaga kerja yang ahli di bidang usaha itu untuk ditempatkan di kantor cabang mereka di Teheran.
Cukup menarik mengetahui executive search dari luar negeri menjaring talenta dari Indonesia untuk pekerjaan itu. Tentu banyak profesional yang memiliki kualifikasi yang sama dengan kolega tadi. Apakah ada alasan lain selain pengalaman kerja yang relevan dalam perekrutan kolega tadi?
Ternyata nama kolega itu menjadi daya tarik selain pengalaman kerjanya. Namanya berbau Timur Tengah, bahkan sama persis seperti nama ilmuwan yang terkenal di Persia. Salah satu syarat yang diajukan klien executive search tadi adalah kandidat yang diajukan harus beragama Islam. Profil kolega memenuhi persyaratan, baik dari pengalaman kerja maupun kerohaniannya.
Setelah melalui beberapa proses wawancara, kolega tadi mendapatkan tawaran pekerjaan tersebut. Ia pun memboyong keluarganya, memulai karier di negeri orang, merupakan pengalaman pertamanya bekerja di luar negeri.
Kolega dan keluarganya tinggal di sebuah apartemen di kota Teheran. Mereka mendapati kota itu sebagai kota moderen tanpa pusat perbelanjaan (mal). Jika orang kota di tanah air menjadikan kunjungan ke mal sebagai hiburan di akhir pekan, apa yang dilakukan keluarga kolega tadi di akhir pekan? Mereka menikmati kebersamaan keluarga dengan piknik di taman. Banyak taman yang terdapat di kota Teheran.
Selain taman yang dipelihara dengan baik di Teheran, keluarga kolega tadi juga rajin mengunjungi museum. Banyak museum yang bisa ditemukan di kota itu, membuatnya dijuluki sebagai kota museum. Melalui kunjungan ke museum itu, keluarga kolega tadi belajar mengenal budaya dan sejarah negeri Iran. Walau tak ada mal di kota itu, ada restoran dan tempat makan lainnya yang bisa dikunjungi untuk mencicipi cita rasa makanan setempat.
Di masa keluarga kolega menetap di Teheran, kota itu sendiri cukup aman. Orang asing (foreigners) bisa bebas bepergian dalam kota. Namun dianjurkan untuk tidak bepergian ke luar kota Teheran lebih dari lima kilometer, kawasan luar kota relatif tidak aman bagi orang asing saat itu.
Kolega tadi mengatakan, ia dan keluarganya tak merasa bosan tinggal di Teheran. Walau tak bisa bepergian ke luar Teheran, mereka menikmati taman dan museum yang banyak terdapat di kota itu. Satu per satu mereka jelajahi tempat-tempat itu. Namun saya sempat bertanya dalam hati ketika berbincang dengan kolega itu: bagaimana jika ia dan keluarganya tinggal bertahun-tahun di Iran? Dan sudah mengunjungi berbagai taman dan museum kota itu? Apakah tak merasa terkungkung di Teheran, menjadi tahanan kota karena berbahaya keluar dari Teheran lebih dari lima kilometer?
Walau siap menjalani tugas sebagai pekerja asing, namun ada hal yang luput dari pemikiran kolega tadi. Budaya kerja perusahaan yang berasal dari Afrika itu berbeda dari perusahaan-perusahaan tempatnya bekerja selama di tanah air. Walau baru bekerja beberapa bulan lamanya (kurang dari setahun), perbedaan budaya kerja itu membuat kolega tadi mengajukan pengunduran diri dan memboyong kembali keluarganya pulang ke tanah air.
Saya belum pernah mengunjungi Iran. Namun buku Persepolis telah membawa saya melanglang buana ke negeri itu. Mengetahui sejarah dan perubahannya, mengetahui pilihan-pilihan yang dilakukan warganya ketika Revolusi Iran terjadi di negeri itu.