New York, yang mencetak prestasi sebagai kota terbesar dan paling padat di Amerika Serikat, sulit bersikap ramah terhadap pengunjungnya. Penduduknya selalu sibuk mengejar waktu di antara lingkungan gedung-gedung pencakar langit. Rasanya susah bisa betah tinggal di sana. Tetapi, salah seorang teman yang gemar belanja dan sempat berlibur selama seminggu di New York, mengatakan ia memerlukan seminggu lagi untuk menikmati New York.
Surga Belanja
Memang, New York adalah surga bagi orang-orang yang senang belanja dan punya uang cukup untuk melakukannya. Artinya, New York bukan tempat yang tepat bagi para pengagum keindahan alam.
Jalan-jalan utama di New York umumnya dinamakan berdasarkan angka, yang terkenal di antaranya adalah Fifth Avenue. Jalan ini terkenal karena penuh dengan toko yang menjual barang-barang bermerek seperti Louis Vuitton, Tiffany & Co., Gucci, Prada, Valentino, Armani, Fendi, dan banyak lagi barang produksi perancang kelas atas (high-end designer).
Film box office The Devil Wears Prada yang diluncurkan tahun 2006, mengambil lokasi di New York. Penonton film bisa menyaksikan pemandangan kesibukan para pekerja yang melintasi Union Square, area di Manhattan New York yang dekat dengan stasiun kereta bawah tanah (subway) dengan berbagai tujuan atau rute. Di area ini juga banyak terdapat bar dan restoran mahal.
Film itu juga menggambarkan dinamika majalah mode yang berkantor di New York. Pemimpin Redaksi majalah itu selalu bersikap ‘angker’ pada karyawannya, pengaruhnya cukup besar dalam dunia mode; sementara mode di Amerika berkiblat pada perkembangan mode kota New York.
Kota Mahal
Walaupun New York sudah cukup padat dengan penduduk yang berasal dari berbagai bangsa, masih banyak orang mencoba mengadu nasib di sana; mulai dari peragawati, aktor, pengusaha, arsitek, pekerja korporasi, pebisnis, hingga berbagai profesi lainnya.
Biaya hidup di kota ini lumayan tinggi. Akibatnya, ketika saya dan suami berencana berlibur ke New York bersama satu keluarga Indonesia lainnya, mulailah kasak kusuk mencari informasi tentang orang Indonesia yang tinggal di New York. Tujuannya untuk mencari tumpangan gratis saat berada di New York.
Kasak kusuk berhasil membawa rombongan yang terdiri dari delapan orang Indonesia ke rumah keluarga Indonesia yang berdomisili di New York. Walau tak pernah mengenal keluarga Indonesia itu, hanya kenal melalui kasak kusuk, keluarga itu membuka pintu apartemennya untuk ditumpangi selama dua malam. Apartemennya tidak besar, kamar tidur hanya ada dua, kamar utama dihuni pemilik apartemen, sementara kamar kedua dihuni kedua anaknya. Maka, saya dan tujuh orang peserta rombongan, tidur berjejer di ruang tamu apartemen itu. Sarapan yang disediakan tuan rumah terasa nikmat, disajikan dengan ketulusan hati menyambut sesama orang Indonesia yang baru pertama kali mereka kenal.
Kebebasan, Persamaan, Demokrasi
Kalau bukan karena Patung Liberty yang ada di negara bagian New York, saya mungkin memilih liburan ke kota lain di negeri Paman Sam. New York terlalu mengintimidasi. Walaupun masih kalah jumlah penduduknya dibandingkan Jakarta, New York terkesan padat dan terburu-buru.
Dari beberapa tempat yang saya kunjungi di Amerika, saya menemukan New York sebagai kota yang paling kotor. Selain banyak tuna wisma yang berkeliaran, penduduk New York tampaknya senang dengan seni corat coret atau graffiti. Banyak dinding bangunan yang dijejali tulisan dan coretan. Mata rasanya sakit memandang keadaan beberapa bangunan yang kurang terawat dengan baik.
Saya mengunjungi New York dua kali. Dalam kunjungan itu, waktu disediakan untuk mengunjungi Patung Liberty yang terletak di Pulau Liberty. Sungguh beruntung dalam kunjungan pertama tahun 1987. Kala itu turis diperbolehkan turun di Pulau Liberty, menikmati pemandangan Patung Liberty dari dekat; bahkan saya dan suami menapaki 354 anak tangga hingga mencapai mahkota patung. Ada dua puluh lima jendela di mahkota patung, memungkinkan pengunjung menikmati pemandangan dari bagian atas patung. Terlihat pemandangan laut lepas, Laut Atlantik, dan pemandangan kota New York di kejauhan.
Kunjungan kedua ke New York dilakukan tahun 2009, delapan tahun setelah dua pesawat menghancurkan Twin Towers di New York. Akses menapakkan kaki di Pulau Liberty ditutup, menanggapi ancaman peledakan Patung Liberty oleh gerakan terorisme. Patung Liberty menjadi sasaran ancaman, mungkin karena patung itu simbol kebebasan, persamaan, dan demokrasi negara Amerika. Saya dan keluarga hanya dapat menikmati pemandangan Patung Liberty dari atas kapal, yang mengitari Pulau Liberty dalam batas jarak tertentu.
Dari Columbia University ke PBB
Jika dalam kunjungan pertama ke New York saya dan rombongan memilih sendiri tempat yang mau dikunjungi; saya dan keluarga sengaja mengambil city tour dalam kunjungan kedua ke kota ini. City tour akan membawa pengunjung ke tempat-tempat yang dianggap dikenal luas.
Peserta tour dibawa ke area Manhattan bagian sisi barat atas untuk mengunjungi pusat pendidikan berkelas dunia. Kaki pun melangkah menelusuri lahan luas Columbia University, salah satu dari delapan universitas yang masuk dalam klub Ivy League. Kedelapan universitas itu dianggap berstandar akademi tinggi, berkualitas, dan sangat selektif dalam proses penerimaan mahasiswanya. Akibatnya jutaan mahasiswa dari berbagai belahan dunia berusaha menembus seleksi masuk Ivy League schools, termasuk Columbia University.
Dari pusat pendidikan, bus membawa peserta tour melintasi Times Square yang menjadi simbol kota metropolis New York. Times Square terletak di antara persimpangan Broadway dan 7th Avenue. Area ini terlihat hidup dua puluh empat jam karena dipenuhi papan iklan dengan lampu neon yang menyala terang. Papan iklan itu tak hanya berisi iklan produk, tapi juga promosi film dengan para bintangnya. Papan iklan termahal di Times Square mempunyai layar sekitar 2.300 meter persegi. Google menjadi penyewa pertama papan iklan termahal itu tahun 2014, perusahaan tersebut membayar 2.5 juta dollar Amerika untuk menayangkan iklannya selama empat minggu!
Saat pandemi Covid-19, ingatan tentang Times Square muncul kembali ketika menonton film Ali & Ratu-Ratu Queens. Film itu bercerita tentang anak yang mencari ibunya di kota New York. Ada beberapa adegan yang terjadi di Times Square. Iqbaal Ramadhan, Nirina Zubir, Tika Panggabean, Happy Salma, Asri Welas, dan Marissa Anita, para pemain film tersebut; sempat berdingin-dingin di Times Square saat menjalani shooting film itu.
Dari area penuh iklan, peserta tour dibawa menelusuri Broadway, jalan raya yang dipenuhi gedung teater terkenal. Pertunjukan di teater itu selalu menarik penonton, tak heran gedung-gedung teater tetap bertahan di Broadway sejak mulai didirikan sekitar tahun 1700an. Drama musikal Lion King tercatat sebagai pertunjukan Broadway yang paling laku, disusul Wicked dan Phantom of the Opera. Harga tiket pertunjukan Broadway tidak murah, berkisar antara 20 hingga 145 dollar Amerika. Harga bisa lebih mahal lagi untuk pertunjukan di akhir pekan, dan pilihan tempat duduk yang strategis.
Dari pusat teater, peserta tour dibawa ke distrik finansial di Wall Street. Di area ini terdapat kantor New York Stock Exchange, yang merupakan bursa dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia. Banyak kantor pusat perusahaan keuangan besar bisa ditemukan di Wall Street. Hari sudah siang saat tiba di area ini, waktu makan siang sudah berlalu. Namun tetap saja para pekerja yang mengenakan dasi dan sebagian mengenakan jas berwarna gelap hilir mudik di antara gedung-gedung tinggi.
Dari distrik finansial, peserta tour dibawa melihat gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlokasi di Midtown Manhattan. Mata langsung memandang 193 bendera yang berkibar di halamannya yang luas, bendera negara anggota PBB. Bendera-bendera itu disusun berdasarkan abjad nama negara. Mengapa PBB memutuskan berkantor pusat di sini? Ternyata Amerika Serikat menawarkan pembangunan kantor pusat PBB di negara itu, dan kota New York bersedia menyediakan lahan khusus untuk tempat dimana kantor pusat PBB sekarang berdiri.
Grand Central
Rombongan saya dan suami datang ke New York pertama kali dengan menumpangi kereta api Amtrak. Kereta tiba di Stasiun Pennsylvania atau sering disingkat Stasiun Penn. Stasiun ini lebih kecil dari stasiun kereta api New York lainnya, Stasiun Grand Central.
Grand Central adalah stasiun paling rumit di dunia, karena banyaknya rel jalur kereta api terpusat di sana. Stasiun Grand Central selalu ramai setiap saat. Terutama karena jalur kereta bawah tanah letaknya di dekat stasiun ini juga. Pada malam hari, stasiun Grand Central dipenuhi oleh tuna wisma. Mereka menjadikan terminal itu sebagai rumah tempat ‘menginap’.
Kereta bawah tanah (subway) New York membawa sekitar dua juta empat ratus ribu orang setiap hari. Jumlah itu bisa memberi gambaran betapa pentingnya moda transportasi subway di New York. Selain biayanya murah, kecepatannya yang tinggi sangat membantu penduduk New York hilir mudik, bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam jangkauan waktu yang tepat. Subway ada setiap waktu, penumpang tak perlu lama menunggu di terminal, dan dapat mengatur waktu sedemikian rupa.
Melihat kegesitan penduduk setempat naik subway, sepertinya mereka gampang sekali memahami rute kereta. Tapi bagi pendatang seperti rombongan yang saya ikuti, jelas tersesat. Untung rombongan dijemput orang Indonesia penghuni New York, yang berbaik hati mengantar rombongan ke apartemen tumpangan gratis selama di kota itu.
Di saat meninggalkan New York menuju destinasi berikutnya, saya dan rombongan kembali menaiki kereta Amtrak. Kali ini berangkat dari stasiun Grand Central. Ada waktu senjang satu jam menunggu jadwal keberangkatan kereta. Anggota rombongan duduk santai di terminal, lengkap dengan koper berisi pakaian dan perlengkapan perjalanan.
Tak lama setelah rombongan duduk di kursi terminal, satu per satu muncul pria kulit hitam dan pria kulit putih. Dari penampilannya, mereka tuna wisma. Secara sendiri-sendiri mereka mengitari kursi tempat saya dan rombongan duduk, pandangan mereka tajam. Walau pagi hari dimana banyak orang lalu lalang di stasiun itu, saya merasa tidak nyaman dikitari beberapa tuna wisma.
Untung seorang petugas keamanan stasiun datang, ada pentungan di tangan kanannya. Sepertinya petugas itu memaklumi pemandangan yang terjadi di depannya. Sekelompok pendatang, kaum kulit berwarna dari Asia, sedang berada di stasiun Grand Central. Para tuna wisma mendekati, kemungkinan besar mau meminta uang. Orang asing menjadi sasaran karena mungkin penduduk New York mengacuhkan mereka, tak mempan didekati. Para tuna wisma segera menyingkir ketika diusir petugas keamanan tadi.