Perusahaan bisa saja melakukan divestasi demi restrukturisasi keuangan. Biasanya untuk memaksimalkan nilai pasar yang dimiliki perusahaan. Divestasi memungkinkan perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Saya mengalami dua kali situasi dimana perusahaan tempat bekerja melakukan divestasi: bisnis yang beroperasi di Indonesia dijual. Walau bentuknya sama: penjualan bisnis, namun cara penanganan kedua perusahaan tersebut dalam menjual bisnisnya berbeda. Banyak pembelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman melalui proses divestasi bisnis tersebut.
Gamblang
Pengalaman pertama, sebut saja pengalaman di perusahaan A, dimulai ketika membaca surel di kantor di suatu pagi. Tertera surel komunikasi yang dikeluarkan kantor regional, ditujukan kepada seluruh karyawan. Karyawan yang dicakup dalam surel itu hanya mereka yang bekerja di tiga negara Asia dimana perusahaan itu beroperasi, Indonesia salah satu di antaranya. Inti pesan surel: perusahaan akan menjual bisnis kartu kredit di tiga negara Asia tadi.
Keputusan itu diambil karena perusahaan ingin fokus pada bisnis yang memberi keuntungan berskala besar. Walau perusahaan yang beroperasi di Indonesia dan dua negara Asia lainnya yang dicakup dalam surel menghasilkan keuntungan, perusahaan memandang keuntungan bisnis kartu kreditnya berskala kecil.
Informasi yang tertulis dalam surel cukup jelas, namun tetap saja berita penjualan bisnis itu mengagetkan, terdengar seperti dentuman benda keras. Karyawan yang sudah membaca surel itu langsung kasak kusuk membicarakan ‘berita buruk’ yang baru diterima. Komunikasi divestasi bisnis tersebut baru pertama kali terdengar, tak ada pembicaraan mengenai rencana penjualan bisnis dalam meeting pimpinan perusahaan di tingkat lokal.
Di balik kejutan ‘berita buruk’ itu, komunikasi yang dikirim langsung ke seluruh karyawan membuat pesan pimpinan regional bisa menggapai seluruh karyawan tanpa membedakan pangkat, jabatan, departemen, dan lain-lain. Berita pun disampaikan secara ‘gamblang’, mudah dimengerti. Hal yang positif karena informasi yang sama diterima pada saat yang sama oleh karyawan yang terdampak. Penjualan bisnis mengakibatkan seluruh karyawan terdampak, tanpa kecuali.
Menyusul pengumuman kantor regional itu, terlihat pesan surel yang dikirim oleh Chief Executive Officer (CEO) perusahaan di Indonesia. Seluruh karyawan diundang menghadiri forum komunikasi karyawan yang biasa disebut Employee Townhall, diadakanpada hari yang sama.
Hari itu karyawan memastikan kehadiran mereka dalam Employee Townhall untuk mendengar penjelasan langsung dari CEO perusahaan. Materi komunikasi terlihat sudah disiapkan, sehingga penjelasan CEO cukup transparan dan menenangkan karyawan. Walau bisnis akan dijual, perusahaan tak akan melepas karyawan begitu saja. Karyawan mendapat informasi tentang tahapan penjualan bisnis, jangka waktu, apa yang harus dilakukan karyawan selama proses penjualan, serta persiapan karyawan menghadapi karier setelah bisnis beralih ke tangan pembeli.
Pada Saat Ini
Kemajuan teknologi membuat perbedaan tempat atau lokasi tak menghalangi karyawan mengetahui apa yang terjadi di cabang perusahaan di negara lain.
Hal itu yang terjadi dalam perusahaan B. Beberapa karyawan perusahaan B memiliki akses informasi tentang penjualan bisnis finansial perusahaan di satu cabang negara Asia.
Beberapa bulan kemudian, karyawan perusahaan B mendapat informasi bahwa bisnis finansial perusahaan di satu cabang negara Asia lainnya dijual. Hal yang sama menyusul terjadi pula di cabang negara Asia lainnya dalam kurun waktu tertentu, sehingga seperti keputusan bisnis yang berkelanjutan.
Melihat keadaan di atas, karyawan di tanah air menyadari pola strategi bisnis yang terjadi. Perusahaan sedang melepas bisnis finansial, hanya mempertahankan bisnis lainnya.
Informasi itu menjadi meluas ketika karyawan yang memiliki informasi di atas bercerita kepada karyawan bisnis finansial lainnya. Penjualan bisnis di negara lain tersebut menjadi berita umum yang diketahui karyawan perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Mereka pun menduga-duga, apakah hal yang sama akan terjadi pada bisnis finansial di tanah air? Akankah mereka bernasib sama dengan karyawan di cabang perusahaan yang terdampak itu?
Ketika pertanyaan itu diajukan kepada Chief Executive Officer (CEO) perusahaan, jawaban yang diberikan: pada saat ini tidak ada rencana menjual bisnis finansial perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Sebagian besar karyawan merasa lega mendengar penjelasan itu.
Secara berkala, pimpinan regional datang mengunjungi kantor cabang perusahaan di negara-negara Asia. Dalam setiap kunjungannya, pimpinan regional mengadakan Employee Townhall guna memberi pengarahan bisnis kepada karyawan. Di salah satu kesempatan kunjungan pimpinan regional itu, karyawan mengajukan pertanyaan yang sama, tentang kemungkinan penjualan bisnis finansial Indonesia. Dengan tenang pimpinan regional itu mengatakan: pada saat ini tidak ada rencana menjual bisnis finansial perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Karyawan merasa lega kembali mendengar penjelasan itu.
Namun rasa lega hanya bertahan beberapa waktu lamanya. Suatu hari, pengumuman dikeluarkan kantor regional. Usaha bisnis finansial di Indonesia akan dijual, dan pembelinya adalah perusahaan C. Karyawan diharapkan tetap bersabar mengikuti proses penjualan, akan dilakukan komunikasi berikutnya untuk menginformasikan langkah-langkah yang perlu diikuti dalam proses penjualan.
Sebagian besar karyawan merasa kecewa membaca berita itu. Ketika pimpinan perusahaan mengatakan, “pada saat ini tidak ada rencana menjual bisnis finansial perusahaan yang beroperasi di Indonesia”, mereka berasumsi bisnis finansial Indonesia akan tetap dipertahankan. Yang tidak disadari adalah, jawaban itu berlaku saat itu, saat pertanyaan diajukan. Tak ada jaminan bahwa bisnis finansial di Indonesia tidak akan dijual perusahaan di kemudian hari.
Pilihan Komunikasi
Kedua situasi di atas menunjukkan pilihan cara berkomunikasi perusahaan saat menjual bisnisnya. Perusahaan A berterus terang, berusaha merangkul karyawan yang terdampak dari sejak awal keputusan. Risiko kehilangan karyawan akibat pengumuman penjualan bisnis pasti selalu ada. Namun, perusahaan A memilih berterus terang, dan berusaha keras mempertahankan karyawan melalui berbagai program hingga pengambilalihan bisnis oleh pembeli.
Perusahaan B memilih untuk memendam informasi penjualan bisnis hingga mendapatkan pembeli. Proses penjualan bisnis memakan waktu beberapa waktu lamanya, berjalan di tingkat regional, tak melibatkan pimpinan lokal. Tak diketahui secara pasti, apakah proses negosiasi penjualan bisnis belum berlangsung atau telah berlangsung ketika pimpinan regional perusahaan B mengatakan, bahwa pada saat ia menjawab pertanyaan karyawan, tidak ada rencana menjual bisnis perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Berita penjualan bisnis yang berdampak pada nasib karyawan pasti dianggap berita buruk. Tak ada yang siap dengan keputusan manajemen seperti itu. Namun, bagi karyawan, penyampaian berita buruk secara ‘gamblang’ seperti yang dilakukan perusahaan A pasti dianggap lebih transparan. Keresahan karyawan lebih cepat ditangani, apalagi karyawan dilengkapi dengan pengetahuan tentang proses pengalihan bisnis yang harus dijalani manajemen lokal bersama-sama karyawan. Manajemen dan karyawan menjadi satu tim yang berkomitmen membuat penjualan bisnis berjalan lancar, dan mereka punya waktu menyiapkan diri menghadapi langkah karier selanjutnya.
Cara suatu organisasi menyampaikan ‘berita buruk’ baik secara internal maupun eksternal menjadi bagian dari gaya kepemimpinan para petinggi perusahaan. Karyawan merupakan bagian inti dalam organisasi; komunikasi transparan tentang hal-hal yang menyangkut keberadaan mereka dalam organisasi tentu dianggap lebih menghargai karyawan yang telah berkontribusi dalam pengembangan perusahaan.