Adriani Sukmoro

Pesangon

Pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam peraturan ketenagakerjaan. Ada alasan yang membuat aturan pesangon tercantum di sana. Pemberian pesangon ditujukan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan kepada karyawan yang tidak lagi mendapatkan upah setelah terkena PHK. Uang pesangon yang diberikan dapat digunakan mantan karyawan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga ia mendapatkan pekerjaan lagi.

Bipartit Atau Tripartit

Keputusan mengurangi jumlah karyawan merupakan keputusan yang diambil dengan berat hati oleh perusahaan. Sedapat mungkin perusahaan akan mempertahankan karyawannya, namun kondisi keuangan perusahaan yang tidak mendukung biasanya tak dapat disangkal, berujung pada PHK karyawan.

Sebagian perusahaan membayar pesangon PHK karyawan sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan. Bila prosedur PHK dijalankan dengan baik dan terjadi pendekatan serta komunikasi yang positif dari perusahaan terhadap karyawan yang terkena dampak, proses PHK dapat diselesaikan dengan baik secara internal (bipartit).

Ada saja situasi dimana perusahaan tak membayar pesangon PHK karyawannya, membuat karyawan terkena dampak beramai-ramai melakukan protes melalui demonstrasi karyawan. Berbagai alasan diberikan perusahaan, sementara karyawan tak mau haknya diabaikan. Karyawan menuntut perusahaan menjalankan kewajibannya. Tak jarang situasi sedemikian menjadi perselisihan PHK, yang terpaksa diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan pihak ketiga atau tripartit (kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota).

Praktik Pasar

Keputusan PHK karyawan bisa disebabkan berbagai hal: perampingan perusahaan (downsizing), efisiensi, penjualan bisnis, pengambilalihan kepemilikan, penggabungan, peleburan, perubahan status perusahaan, perubahan model bisnis, holdingisasi, dan lain-lain.

Perusahaan asing cenderung lebih generous dalam memberi paket pesangon bila harus mem-PHK karyawan. Biasanya ada elemen ekstra dalam paket pesangon yang diberikan kepada karyawan.

Di suatu perusahaan global yang berkantor pusat di Amerika Serikat, pimpinan kantor pusatnya memutuskan strategi bisnis yang baru, yang menyangkut operasi bisnis internasional. Bisnis di negara-negara yang dianggap berskala kecil akan dijual.

Keputusan kantor pusat itu berdampak pada bisnis perusahaan tersebut di beberapa negara, termasuk Indonesia. Walau bisnis di Indonesia menguntungkan, namun nilai keuntungannya tak sebanding dengan keuntungan cabang perusahaan itu di negara-negara lain yang berskala menengah ke atas.

Ketika proses penjualan dimulai, Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) melakukan tugasnya, mempersiapkan karyawan menghadapi kenyataan melalui pendekatan dan komunikasi. Departemen SDM juga harus siap menjawab pertanyaan karyawan yang muncul: berapa paket pesangon yang akan diberikan perusahaan nanti?

Departemen SDM pun melakukan tugasnya, membahas topik paket pesangon dengan kantor regional. Departemen SDM diminta menyajikan data pasar: informasi paket pesangon yang pernah dibayarkan perusahaan asing yang melakukan PHK karyawan di negara tersebut.

Informasi itu gampang dikumpulkan. Jaringan relasi antar pimpinan SDM perusahaan asing di industri yang sama memungkinkan saling berbagi informasi. Biasanya para pimpinan SDM ini tergabung dalam asosiasi non-formal, mengadakan pertemuan secara berkala untuk saling meng-update praktik masing-masing perusahaan terkait topik yang diangkat dalam pertemuan.

Tak perlu proses berbelit-belit. Setelah data pasar dikirim ke kantor regional di Singapura, Departemen SDM diminta memaparkan lebih lanjut melalui meeting jarak jauh. Sekitar tiga minggu kemudian, kantor regional memberi persetujuan atas paket pesangon yang diusulkan. Paket pesangon itu cukup generous, seperti praktik perusahaan asing lainnya.

Paket pesangon yang menarik membuat karyawan bertahan hingga berakhirnya proses pengambilalihan bisnis oleh perusahaan baru yang mengakuisisi.

Sesuai Undang-Undang

Dalam usianya yang sudah lebih dari seratus tahun, suatu perusahaan asing lainnya mengembangkan bisnis ke berbagai segmen. Keberhasilan perusahaan itu membuat namanya dikenal secara internasional. Harga sahamnya di pasar bursa juga tinggi, sejalan dengan keberhasilan bisnis.

Hingga sampai pada satu titik, dimana pimpinan tinggi melihat perusahaan perlu fokus pada bisnis utama (core business). Beberapa segmen bisnis harus dijual, terutama bisnis yang dianggap kurang berkembang atau kalah kompetitif.

Kantor cabang di Indonesia terkena dampak. Salah satu segmen bisnis yang beroperasi di Indonesia termasuk dalam kategori bisnis yang akan dijual.

Departemen SDM pun sibuk mengadakan pendekatan pada karyawan agar mereka tetap menunjukkan komitmen bekerja selama proses penjualan bisnis. Proses itu akan memakan waktu, bisa berbulan-bulan lamanya, bahkan peralihan ke pemilik diperkirakan baru akan terjadi di tahun berikutnya.

Departemen SDM mulai menyiapkan perhitungan paket pesangon PHK karyawan, pertanyaan mulai muncul di sana sini menyusul pengumuman penjualan bisnis.

Paket pesangon yang diusulkan Departemen SDM membutuhkan persetujuan tim penjual bisnis. Ternyata prosesnya tidak gampang. Tim penjual bisnis telah menggunakan beberapa konsultan dalam proses penilaian harga jual bisnis, termasuk konsultan hukum yang menguasai peraturan ketenagakerjaan di negara yang harus menjual bisnis.

Konsultan hukum tersebut mendasari pandangan dan pendapat hukumnya pada peraturan perundangan, sehingga nilai pesangon yang direkomendasikan menggunakan perhitungan dalam pasal PHK ketenagakerjaan. Tim penjual bisnis pun mencadangkan biaya pesangon berdasarkan rekomendasi konsultan.

Informasi tentang paket pesangon yang berdasarkan peraturan perundangan mengagetkan karyawan. Karyawan mempunyai pemikiran berbeda. Perusahaan tempat mereka bekerja memiliki standar operasional yang tinggi, standar internasional. Karyawan yang diterima bekerja di perusahaan itu dituntut melakukan kegiatan bisnis sesuai dengan standar internasional. Mengapa ketika bisnis dijual dan PHK karyawan akan dilakukan, perusahaan hanya memberlakukan pesangon sesuai peraturan perundangan, tak melihat praktik perusahaan asing lainnya di lapangan?

Keresahan karyawan mulai menyebar dan merata di semua departemen. Mereka berbicara kepada atasan, mengekspresikan keluhan tentang paket pesangon yang dianggap ‘seadanya’. Karyawan menganggap tak ada unsur niat baik (goodwill) dari perusahaan dalam merancang paket pesangon.

Para atasan menyampaikan keluhan anak buah mereka ke pimpinan departemen, yang kemudian disalurkan ke Departemen SDM. Namun tak ada reaksi dari tim penjual bisnis di kantor regional mendengar informasi keluhan karyawan.

Karyawan pun jadi sibuk melayangkan lamaran ke perusahaan lain. Mereka menganggap perlu menyelamatkan diri dengan cara mendapatkan pekerjaan baru dan pindah kerja secepat mungkin. Paket pesangon dianggap tak akan cukup menopang selama masa pengangguran akibat kehilangan pekerjaan.

Pemilik Baru

Pindahnya beberapa karyawan ke perusahaan lain mengganggu operasional perusahaan, terutama karena perekrutan karyawan baru ditiadakan (hiring freeze). Bahkan hiring freeze diberlakukan untuk posisi karyawan yang berhenti (resigned), sehingga pekerjaan karyawan yang berhenti itu harus dialihkan ke tenaga kerja yang masih ada di perusahaan. Beban kerja karyawan yang ditugaskan mengambil alih pekerjaan itu menjadi bertambah, menimbulkan keluhan tersendiri. Situasi bertambah rumit ketika posisi yang ditinggalkan karyawan itu membutuhkan keterampilan tertentu.

Situasi di atas membuat Departemen SDM kembali membicarakan paket pesangon dengan tim penjual bisnis. Kepala Departemen SDM harus terbang ke kantor regional guna menuntaskan masalah pesangon. Meeting di kantor regional berjalan alot: tim penjualan bisnis berpendapat perusahaan melakukan kewajibannya dengan membayar pesangon yang sesuai peraturan perundangan; sementara Kepala Departemen SDM menyuarakan aspirasi karyawan yang memohon unsur goodwill perusahaan dalam paket pesangon PHK. Pembicaraan meeting berjalan buntu.

Situasi itu membuat beberapa karyawan yang mengisi posisi penting menyatakan keputusan mereka: mengundurkan diri, tak bersedia bergabung dengan pemilik baru perusahaan. Hal ini dimungkinkan peraturan perundangan, karyawan bisa memilih tak mengikuti perpindahaan kepemilikan baru, dan tetap berhak mendapatkan pesangon walau nilainya lebih kecil dari paket pesangon untuk karyawan yang tetap tinggal di perusahaan hingga terjadi serah terima kepemilikan.

Tim penjual bisnis tidak terpikir akan pilihan seperti di atas. Jika karyawan yang mengisi posisi penting bisa memutuskan sedemikian, karyawan lain tentu bisa melakukan hal yang sama.

Tim penjual bisnis pun menjadi berpikir ulang. Proses penjualan bisnis masih berlangsung, belum tuntas, belum sampai pada tahap serah terima ke pembeli. Jangan sampai perusahaan kehilangan karyawan yang mengundurkan diri secara beramai-ramai.

Goodwill

Suatu hari Employee Townhall yang melibatkan seluruh karyawan diadakan perusahaan itu untuk membagi informasi tentang perkembangan penjualan bisnis. Di bagian akhir kegiatan itu, Chief Executive Officer (CEO) perusahaan mengumumkan hal yang dinantikan karyawan: paket pesangon PHK.

Tepuk tangan karyawan menggema ketika CEO memaparkan detail pesangon yang akan diberikan perusahaan. Nilai paket pesangon itu setara dengan praktik perusahaan asing lainnya. Unsur goodwill dalam bentuk pembayaran ekstra atau tambahan, terkandung dalam paket pesangon, sehingga karyawan melihatnya sebagai penghargaan perusahaan terhadap mereka.

Kepastian paket pesangon sangat membantu karyawan mendukung proses penjualan bisnis. Mereka bekerja dengan giat, berkomitmen untuk tetap berada dalam perusahaan hingga proses penjualan bisnis usai. Walau sebagian besar belum tahu kemana akan melanjutkan karier mereka, ada rasa aman dengan bekal pesangon yang diberikan perusahaan. Disamping itu, karyawan menyadari ada kemungkinan mereka direkrut perusahaan pembeli, tergantung pada kebutuhan dan standar kualifikasi yang diterapkan perusahaan pembeli.