Adriani Sukmoro

Employee Wellbeing

Employee wellbeing atau kesejahteraan karyawan menjadi perhatian perusahaan karena berdampak pada produktivitas, kinerja, kehadiran atau absensi, dan employee engagement. Konsep employee wellbeing mulai berkembang di tahun 1980an ketika banyak perusahaan menggunakan asesmen risiko kesehatan karyawan dalam manajemen kinerja organisasi. Sejak masa itu, banyak perusahaan yang menyediakan fasilitas kesehatan, seperti pusat kebugaran di dalam gedung kantor, dan banyak juga yang mendanai keanggotaan karyawan di pusat kebugaran umum.

Sehat Fisik dan Non-Fisik

Konsep employee wellbeing berkembang, tak lagi hanya terbatas pada kesehatan karyawan yang dihubungkan dengan kesehatan fisik. Para ahli manajemen sumber daya manusia menjabarkan elemen yang mempengaruhi kesejahteraan karyawan: kesehatan fisik, kesehatan keuangan, kesehatan pengembangan karier atau kepuasan kerja, kesehatan sosial, kesehatan emosi.

  • Kesehatan fisik.

Kesadaran akan pentingnya kesehatan fisik semakin luas di masa kini, apalagi dunia mengalami pandemi Covid-19 selama lebih dari dua tahun. Komunitas olahraga tumbuh subur, mulai dari komunitas lari, komunitas sepeda, komunitas yoga, komunitas freeletics yang penuh dengan latihan push up, sit up, burpees, squats, dan lain-lain. Beberapa perusahaan mendukung berdirinya komunitas olahraga dalam perusahaan demi meningkatkan kesehatan karyawan.

  • Kesehatan keuangan.

Kesehatan keuangan dalam kehidupan pribadi karyawan membantu kenyamanan karyawan tersebut bekerja. Perusahaan membayar upah yang kompetitif sesuai porsi tugas yang diemban karyawan. Namun, gaya hidup yang sering ditampilkan di media sosial bisa mempengaruhi karyawan.

Gaya hidup hang out di restoran atau klub seusai kantor, mengenakan barang-barang bermerek, berlibur ke tempat yang ramai dibicarakan, dan lain-lain, membuat banyak karyawan kantor yang tak mau ketinggalan melakukan hal yang sama. Akibatnya biaya pengeluaran bisa lebih besar dari kemampuan ekonomi karyawan tersebut, umumnya beban biaya ditumpukan pada kartu kredit yang dimiliki. Keuangan karyawan tersebut pun menjadi tak sehat, bisa terbebani utang kartu kredit.

Pengaruh sosial seperti di atas membuat beberapa perusahaan menyelenggarakan pelatihan bijak mengelola keuangan pribadi. Konsentrasi karyawan pada pekerjaannya diharapkan tidak terganggu jika keuangan pribadi tak bermasalah.

  • Kesehatan pengembangan karier atau kepuasan kerja.

Setiap karyawan dalam organisasi ingin kariernya berkembang sejalan dengan pengalaman yang diperoleh dan kompetensi yang dimiliki. Setiap karyawan dalam organisasi juga diharapkan menyukai pekerjaan mereka agar mereka produktif dan memberikan hasil terbaik.

Tingginya tingkat keluar masuk karyawan (employee turnover) bisa menjadi indikasi kepuasan kerja. Karena itu perusahaan membuat program pengembangan karier guna memastikan kesehatan pengembangan karier atau kepuasan kerja. Perhatian pada manajemen talenta berkembang sejalan dengan keseharan pengembangan karier ini. 

  • Kesehatan kehidupan sosial.

Teamwork menjadi salah satu soft skill yang menjadi keharusan dalam kompetensi karyawan. Setiap pekerjaan memiliki rangkaian hubungan dengan pekerjaan lain dan bagian lain, sehingga karyawan yang mengemban pekerjaan tersebut perlu berinteraksi dengan rekan kerja intra dan inter departemen.

Pelatihan mengasah kemampuan bekerja sama, bijaksana dalam menerima perbedaan, dan kemampuan menangani konflik dilakukan di semua perusahaan. Dalam konteks besar, pelatihan sedemikian mengasah kemampuan karyawan bersosialisasi di dalam organisasi. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan ketika karyawan perlu berinteraksi dengan kolega di luar perusahaan demi tujuan bisnis.

Kesehatan kehidupan sosial dapat membantu karyawan merasa keseimbangan karena mampu berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain, dianggap sebagai anggota tim yang mempunyai kompetensi kerja sama (teamwork skill).

  • Kesehatan emosi.

Beban kerja (workload) di kantor bisa saja dirasakan terlalu berat, hingga mengganggu karyawan. Masalah anak, masalah suami atau istri, dan masalah rumah tangga lainnya bisa juga mengganggu pikiran karyawan, membuatnya tak bisa berkonsentrasi, terhimpit antara tuntutan menyelesaikan masalah rumah tangga dan tuntutan pekerjaan kantor. Hubungan atasan-bawahan, atau hubungan antar rekan kerja, bisa juga mengganggu pikiran sehingga karyawan merasa stress. Jika dibiarkan terus, kinerja karyawan tersebut dapat terganggu.

Beberapa perusahaan memikirkan cara penanganan ketidakseimbangan emosi karyawan dengan mengadakan sarana konseling. Salah satunya melalui Employee Assistance Program (EAP), program bantuan karyawan.

Employee Assistance Program (EAP)

Pada umumnya perusahaan menunjuk pihak independen (3rd party) untuk menjadi penyelenggara EAP demi menjaga kerahasiaan. Biasanya ada ganjalan pada karyawan jika sarana konseling dilakukan oleh salah satu bagian perusahaan (misalnya Departemen Sumber Daya Manusia). Kekhawatiran timbul jika hal-hal yang diungkapkan dalam konseling menyebar ke pihak yang tidak semestinya, kerahasiaan tak terjaga. Di samping itu, keahlian karyawan perusahaan melakukan konseling belum tentu sebanding dengan profesionalisme para konselor pihak ketiga yang memang sehari-harinya bertugas melakukan konseling.

Suatu perusahaan swasta menunjuk Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) sebagai pihak independen yang menyelenggarakan EAP bagi karyawan perusahaan itu. LPT UI merupakan salah satu lembaga yang memberikan pelayanan konseling, baik pada individu atau pribadi, maupun pada perusahaan-perusahaan.

Perusahaan swasta tersebut menyediakan ruang khusus, ruang praktik konselor LPT UI. Tak ada departemen yang ikut campur mengatur pertemuan antar karyawan dan konselor. Semuanya dilakukan langsung oleh karyawan yang membutuhkan bantuan konseling. Proses ini membangun kepercayaan karyawan, hubungan langsung antar karyawan dengan konselor memastikan kerahasiaan terjaga. Karyawan dapat mengemukakan berbagai masalah yang dihadapi.

Dari hasil employee engagement survey yang dilakukan perusahaan itu secara berkala, karyawan memberi masukan positif terhadap pelaksanaan EAP. Karyawan menganggap program membantu karyawan itu sesuai dengan tujuannya, mereka terbantu dengan sarana konseling yang disediakan. Apalagi konseling tak terbatas hanya dengan tatap muka; para konselor juga melayani konseling secara online dan melalui telepon. Hal ini banyak dimanfaatkan karyawan yang berada di kantor cabang, tidak berada di gedung yang sama dengan tempat praktik konselor LPT UI.

Masukan penting lainnya dari karyawan pengguna EAP, mereka merasa dihargai karena para konselor mendengarkan keluhan mereka, berempati, dan membantu mereka melihat masalah lebih jelas dengan cara berbeda.

Karyawan Sehat = Perusahaan Sehat

Program employee wellbeing akan mendorong karyawan untuk menjadi sehat secara fisik, keuangan, kepuasan kerja, hubungan sosial, dan emosional. Produktivitas karyawan diharapkan dapat meningkat, biaya kesehatan karyawan tidak akan membebani, dan kinerja karyawan akan memenuhi standar perusahaan. Sehingga ada yang mengatakan, karyawan sehat akan membawa perusahaan menjadi sehat.