
Knowledge is power. Kalimat bijak itu diucapkan banyak orang, menggambarkan kekuatan seseorang yang memiliki pengetahuan. Orang yang berpengetahuan dapat mempengaruhi orang lain, mengontrol situasi, dan mengambil kesempatan.
Mendapatkan pendidikan formal di sekolah setidaknya hingga tingkat tertentu menjadi kewajiban di berbagai negara. Seperti misalnya di Tanah Air, mencerdaskan kehidupan bangsa dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar negara, merefleksikan keseriusan melengkapi anak bangsa dengan pengetahuan.
Kompas
Ada yang menggambarkan pengetahuan sebagai Kompas, alat penentu arah mata angin dan navigasi, yang membantu penggunanya menentukan orientasi arah yang tepat.
Selalu ada tantangan atau kejutan dalam jalan hidup seseorang. Pengetahuan yang dimiliki orang dapat menjadi Kompas, membantunya memperkirakan datangnya badai, memungkinkan orang itu mencari tempat berlindung. Risiko selalu ada, tapi setidaknya orang itu bisa mempersiapkan diri menghadapi situasi menantang.
Di era teknologi yang menimbulkan perubahan cepat dan kerap tak terduga, Kompas pengetahuan akan membantu seseorang untuk beradaptasi dengan perubahan. Ada unsur kemampuan mengontrol berdasarkan pengetahuan: kekacauan diubah menjadi lebih teratur, kebingungan diubah menjadi lebih jelas, ketakutan diubah menjadi lebih percaya diri.
Seorang murid akan merasa tenang saat menghadapi ujian sekolah karena telah melengkapi diri dengan pengetahuan, menguasai mata pelajaran yang diuji. Karyawan yang menekuni pekerjaan dengan baik, menjadi berpengetahuan dan berpengalaman, membuatnya yakin saat ditawarkan mengemban tugas dengan tanggung jawab lebih besar.
A Brain Without Means
Pekerjaan Ayah saya sebagai Administratur (ADM) perkebunan karet membuat ia harus bertugas langsung di lapangan. Ia membawa keluarganya tinggal di perkebunan tempatnya bertugas. Setiap 2 atau 3 tahun sekali Ayah dipindahtugaskan, membuat anak-anaknya harus pindah sekolah mengikuti perpindahan tugasnya.
Saat harus mengikuti pendidikan kelas 4 Sekolah Dasar (SD), Ayah saya dipindahtugaskan ke Bandar Pulau. Maka, saya pun dimasukkan ke SD Negeri, satu-satunya sekolah yang ada di area perkebunan Bandar Pulau. Seluruh anak karyawan, termasuk pejabat pengurus perkebunan setempat, menjadi murid di SD Negeri itu.
Murid di dalam kelas pasti menyadari siapa murid yang pintar. Terlihat dari nilai ujian mereka dan kemampuan menjawab pertanyaan guru. Selama duduk di kelas 4 hingga menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Bandar Pulau, saya lumayan terkesan melihat seorang murid laki-laki yang menonjol kepintarannya. Nilainya selalu bagus, juga cakap dalam menjawab pertanyaan guru.
Mengapa terkesan melihat murid pintar itu?
Anak-anak karyawan perkebunan tak bisa manja seperti anak yang berasal dari keluarga mampu. Ada kewajiban yang harus mereka lakukan. Sepulang sekolah, mereka harus mengerjakan berbagai kegiatan guna membantu keluarganya. Seperti saat saya melihat murid pintar tadi di siang hari usai sekolah, yang naik sepeda dengan tumpukan kayu bakar yang diletakkan di tempat duduk bagian belakang sepedanya. Ia hanya mengenakan sandal (semua anak karyawan mengenakan sandal ke sekolah, sepatu bukan standar dalam kehidupan sekolah perkebunan).
Tumpukan kayu bakar itu pasti digunakan untuk memasak makanan di rumah keluarganya. Rumah sederhana, biasa disebut rumah pondok. Dindingnya terbuat dari papan, atapnya dari seng (pasti panas dalam rumahnya, sifat logam seng mudah menyerap dan menghantarkan panas matahari, dialirkan ke dalam rumah). Tak hanya mencari kayu bakar, ada pekerjaan rumah tangga lain yang harus dilakukan murid pintar tadi di rumahnya. Dengan berbagai tugas yang harus dilakukan, murid pintar tadi masih memiliki energi untuk belajar, melengkapi diri dengan pengetahuan.
Tak ada pengumuman juara kelas setiap kali kenaikan kelas berlangsung di SD Negeri Bandar Pulau. Saya yakin, murid pintar tadi yang menjadi juara kelas, hanya tak mendapat kesempatan dikenal melalui pengumuman sekolah.
Usai menamatkan kelas 6 SD, lagi-lagi tak ada pengumuman siapa murid yang mendapat nilai kelulusan tertinggi saat pengumuman ditempel di papan tulis. Yang ada hanya suasana senang saat murid dinyatakan lulus.
Bagi anak pejabat perkebunan, kelulusan pasti diikuti tugas melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Harus melanjutkan pendidikan ke kota karena ketiadaan sekolah lanjutan di perkebunan.
Bagaimana dengan anak-anak karyawan? Tak gampang melanjutkan pendidikan. Dibutuhkan biaya besar sekolah di kota: uang sekolah, akomodasi, transportasi. Orangtua mereka tak sanggup membiayai, upah sebagai karyawan lapangan hanya cukup untuk membiayai kehidupan keluarga sehari-hari.
Apa yang terjadi dengan anak-anak karyawan? Kebanyakan dari mereka mengikuti jejak orangtua, menjadi karyawan lapangan perkebunan. Hal itu juga terjadi pada murid pintar tadi. Ia memiliki kemampuan otak, tapi tak disertai kemampuan finansial. Pepatah a brain without means menggambarkan kondisi murid itu. Ia tak bisa meraih cita-cita tinggi bukan karena malas atau tak berusaha, tapi keadaan yang membuatnya tetap berada di tempat, tak bergerak maju.
Pengetahuan sering digambarkan sebagai kunci untuk membuka potensi diri seseorang dan membawanya ke kehidupan lebih baik. Orang pintar pasti diuntungkan saat menggali pengetahuan melalui pendidikan sekolah. Namun, tak semua orang beruntung. Banyak orang-orang pintar di dunia ini yang tak bisa meraih pendidikan setinggi mungkin. Mereka tak bisa mendapat akses ke pendidikan formal karena tak didukung kemampuan finansial.