Adriani Sukmoro

Segala Cara

Segala Cara

Di suatu program pelatihan kantor, fasilitator meminta peserta pelatihan menuliskan nama seseorang yang dikaguminya saat itu. Peserta diberi waktu beberapa saat untuk berpikir, dan selektif memilih nama orang yang dikagumi. Fasilitator itu meminta peserta untuk tidak mengingat idola masa kecil, atau masa SMA, atau masa kuliah, karena idola dapat berubah-ubah dengan perubahan waktu dan perkembangan usia. Fokus pada hari itu saja, siapa yang terlintas dalam pikiran.

Tour de France

Begitu banyak tokoh hebat yang bisa dikagumi orang. Politikus cemerlang, pahlawan negeri, pebisnis ulung, seniman kreatif, guru teladan, aktor aktris kelas dunia, olahragawan berprestasi, dan lain-lain.

Saya menjadi salah satu peserta pelatihan kantor tersebut. Pada saat itu pikiran saya langsung mengarah pada Lance Armstrong. Saya baru selesai membaca buku It’s Not About the Bike, autobiografi yang ditulis Lance Armstrong tahun 2000. Buku itu menceritakan perjuangannya mengatasi kanker testis; sembuh total dan bisa menjuarai Tour de France. Tak hanya sekali. Di tahun-tahun berikutnya, Lance Armstrong merajai arena balap itu. Ia menjadi juara Tour de France sebanyak tujuh kali berturut-turut dari tahun 1999 hingga 2005! Hal itu menjadi kemenangan terbanyak dalam sejarah Tour de France. Siapa yang tidak kagum akan prestasi seperti itu…

Tour de France, ajang balap sepeda paling bergengsi kelas dunia, diadakan di negeri Prancis setiap tahun. Ajang balap ini untuk pembalap sepeda profesional, biasanya berlangsung selama tiga minggu di bulan Juli. Para pembalap sepeda itu melalui jalan mendaki, jalan menurun, jalan dengan tantangan alam, dan harus memastikan berada di barisan paling depan untuk bisa menjadi juara balap sepeda yang berat itu.

Dibutuhkan tekad keras, ketekunan, disiplin diri, latihan terus menerus, kekuatan mental, dan kekuatan fisik untuk bisa menjadi juara Tour de France hingga tujuh kali. Tak heran saya menuliskan nama Lance Armstrong saat menjawab pertanyaan fasilitator pelatihan kantor tentang nama seseorang yang saya kagumi saat itu.

Inspirasi dan Harapan

Keberhasilan Lance Armstrong mengalahkan kanker, menjadi inspirasi bagi orang-orang yang terganggu kesehatannya, khususnya penderita kanker. Lance Armstrong menjadi bukti hidup dan pemberi harapan bahwa kanker dapat dikalahkan, dan penderitanya bisa menggapai prestasi hebat pasca kanker.

Kepedulian Lance Armstrong terhadap penyakit kanker membawanya mendirikan Yayasan Lance Armstrong yang dikenal sebagai Yayasan Livestrong. Yayasan ini membantu penderita kanker, menguatkan mereka, menghubungkan penderita dengan komunitas kanker, serta bekerja sama dengan pihak-pihak yang peduli. Nike, salah satu perusahaan yang tertarik, bekerja sama dengan Yayasan Livestrong meluncurkan gelang Livestrong tahun 2004. Gelang itu sebagai simbol untuk meningkatkan kesadaran tentang kanker dan upaya penggalangan dana untuk korban kanker.

Kerja sama Yayasan Livestrong dengan Nike semakin melambungkan nama Lance Armstrong. Ia menjadi salah satu atlet hebat yang tidak hanya berprestasi di bidang olahraga; ia juga figur aktif di bidang sosial.

Saya pun segera membeli buku Every Second Counts yang terbit tahun 2003, buku kedua yang ditulis Lance Armstrong. Keingintahuan tentang Lance Armstrong mendorong minat membaca bukunya.

Doping

Rasanya sulit percaya ketika isu doping menerpa Lance Armstrong. Apakah mungkin orang yang hebat seperti tergambar dalam buku-bukunya, melakukan doping demi ambisi memenangkan kejuaraan balap sepeda?

Investigasi kasus doping Lance Armstrong memakan waktu beberapa lama, dilakukan tahun 2011-2012. Lance Armstrong terus menyangkal tuduhan, bertahan bahwa pihak-pihak yang tak menyukainya, dan yang cemburu atas prestasinya, sengaja membakar isu doping tersebut.

Badan Anti Doping Amerika Serikat (USADA) mengumumkan hasil investigasi pada bulan Juni 2012. Lance Armstrong terbukti menggunakan obat-obatan untuk meningkatkan kemampuannya dalam ajang balap sepeda, termasuk Tour de France. Hukuman pun dijatuhkan. Lance Armstrong dilarang berkompetisi seumur hidup, dan semua gelar yang diperolehnya mulai dari Agustus 1998 hingga saat pengumuman hasil investigasi dbatalkan. Gelar juara Tour de France tujuh kali berturut-turut pun melayang dari tangan Lance Armstrong.

Ambisi

Ambisi untuk menggapai cita-cita atau keinginan adalah hal baik, bisa mendorong dan membawa orang tersebut pada apa yang diimpikannya. Namun, cara menggapai ambisi itu menjadi dasar penting untuk mengantar ke pencapaian. Jika dilakukan dengan cara yang benar dan profesional, pencapaian itu menjadi prestasi. Jika dilakukan dengan cara yang tidak benar dan tak berintegritas, pencapaian itu menjadi manipulasi.

Kisah doping yang dilakukan Lance Armstrong dianggap sebagai penipuan terbesar dalam sejarah olahraga. Kisahnya pun diangkat ke layar kaca, antara lain dalam film dokumenter Stop At Nothing tahun 2014 dan film layar lebar The Program tahun 2015. Bahkan film The Armstrong Lie tahun 2013 masuk ke dalam nominasi film dokumenter BAFTA (The British Academy Film Awards).

Berbagai buku pun ditulis mengangkat kisahnya. Mungkin yang paling terkenal, buku Cycle of Lies yang ditulis Juliet Macur. Buku itu dianggap menceritakan secara detail sepak terjang Lance Armstrong di balik layar.

Lance Armstrong pernah dianggap sebagai pahlawan dalam memimpin timnya di berbagai kejuaraan balap sepeda. Kepemimpinannya menjadi contoh, bukan hanya bagi atlet olahraga, tapi juga bagi para pebisnis. Namun di balik itu, Lance Armstrong tak punya integritas dalam berkarya. Ia  menghancurkan karier pembalap sepeda dalam timnya, mereka ikut melakukan doping bersama pemimpin mereka.

Pada akhirnya ambisi bisa menampilkan karakter seseorang berdasarkan cara orang tersebut mewujudkan ambisinya. Seperti yang dikatakan Napoleon Bonaparte, pemimpin militer dan Kaisar Prancis, semuanya tergantung pada nilai-nilai yang dianut orang tersebut. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri bisa mengarahkan ke mana langkah untuk mencapai ambisi: melalui prestasi atau melalui manipulasi.

Buku It’s Not About the Bike dan buku Every Second Counts masih tersimpan dalam rak buku. Pernah terpikir untuk mendonasikan saja kedua buku itu. Tapi keraguan muncul. Apakah pantas membiarkan orang lain membaca cerita berisi kebohongan? Buku itu sudah tak layak untuk dibaca.