Adriani Sukmoro

Kineruku

Kineruku

Berkunjung ke toko buku bisa mengangkat mood Vincent Van Gogh, pelukis ternama dari Belanda. Sang pelukis mengatakan, ia merasa hal-hal baik ada di dalam toko buku, yang membuatnya kerap kembali ke toko buku. Buku membagi pengetahuan, membantu orang lain menjadi tahu.

Toko Buku dan Disrupsi Teknologi

Penggemar buku cukup terkejut dan merasa kehilangan dengan tutupnya beberapa toko buku besar. Ada yang menunjuk pada kemajuan teknologi dan gencarnya pemasaran online sebagai penyebab hal itu. Ada yang menuding strategi bisnis yang salah, di antaranya ekspansi toko yang terlalu ambisius.

Sama halnya dengan Vincent Van Gogh, seorang remaja yang dibesarkan di era teknologi, punya pandangan positif tentang toko buku. Ia mengakui, ebook memberinya kemudahan mengakses, tapi melihat-lihat buku di toko buku memberi pengalaman berbeda. Ia merasa ‘disambut’ karena banyaknya buku yang bisa ditelusuri di toko buku. Ia menjadi rileks, punya ketertarikan, dan merasa terhubungkan dengan topik ataupun penulis buku. Bahkan bisa saja cover sebuah buku memanggilnya untuk menyelami isi buku.

Jacob Sandigo, seorang penulis yang tinggal di San Fransisco, selalu meluangkan waktu ke toko buku. Apa yang menarik baginya? Ketenangan dalam toko buku menjadi magnet baginya. Selain itu, bepergian ke toko buku bisa menggantikan kebutuhan membuat paspor dan biaya pesawat ke luar negeri. Ia dapat mengunjungi berbagai negara melalui buku yang dibacanya. Toko buku juga melepaskan dirinya dari kecenderungan menonton YouTube, atau scrolling media sosial, dan sebentar-sebentar membuka telepon genggam. Berdasarkan pengalamannya, ia lebih menemukan buku-buku bagus di toko buku daripada ebook.

Toko buku jelas mempunyai kastemer loyal di luar sana. Tinggal bagaimana menyiasati kemajuan teknologi, agar penggemar buku tetap datang, dan memungkinkan toko buku menutup biaya operasional dan keberlangsungan bisnis.

Jalan Hegarmanah

Secara berkala saya mengunjungi kota Bandung. Seorang anggota keluarga bercerita, ada toko buku menarik di Bandung, namanya Kineruku. Lokasinya di area perumahan, sehingga terlihat seperti rumah biasa, bukan toko buku. Ia juga bercerita, ada peluang memasarkan buku di sana. Kebutuhan mengunjungi toko buku itu segera muncul. Saya baru menerbitkan buku Burung Merak dan sedang dalam proses pemasaran.

Tak terlalu sulit mencari lokasi Kineruku yang terletak di Jalan Hegarmanah nomor 52, Bandung. Ada lahan parkir yang lumayan luas disediakan, letaknya terpisah beberapa meter dari toko buku itu. Sangat membantu bagi mereka yang membawa kendaraan sendiri ke sana.

Hari itu akhir pekan. Saya datang pas jam buka Kineruku, pukul 11.30 siang. Beberapa anak muda sudah berdiri di teras depan Kineruku, bersiap masuk. Informasi dari google membantu. Jangan membawa terlalu banyak barang ke Kineruku, barang-barang itu nanti harus dititipkan, dimasukkan ke dalam loker yang disediakan. Benar saja, sebelum pintu masuk, saya melihat kelompok remaja tadi yang datang dengan tas atau kantong, harus bergilir memasukkan barang mereka ke dalam loker. Sementara saya melenggang masuk karena tak membawa apapun selain dompet kecil dan buku Burung Merak.

Saya beruntung. Pemilik Kineruku sedang berada di balik area kasir. Maksud dan tujuan kedatangan pun diutarakan. Ternyata tak semudah itu. Kineruku tak sembarangan menerima buku yang ingin dipasarkan. Buku akan dibaca dulu, diseleksi. Buku baru bisa dipajang di Kineruku jika buku itu dianggap sesuai dengan target atau selera Kineruku. Saya pun menyerahkan satu buku Burung Merak untuk referensi bacaan.

All In One

Mumpung berada di sana, kaki pun melangkah menelusuri area dekat pintu masuk dan kasir Kineruku. Terlihat rak-rak dengan buku yang tersusun rapi dan estetis. Tinggal memilih buku yang sesuai selera; bisa membeli buku seni, desain, novel, fiksi, budaya, sastra, dan lain-lain di Kineruku. Di bagian tengah terdapat tas, topi, folder, buku catatan, kartu ucapan, stiker, pembatas buku, serta pernak-pernik lainnya yang dijual.

Ketika melangkah lebih ke dalam, ada ruang berisi rak-rak dengan buku yang sudah berwarna kekuningan. Jelas bukan buku baru. Ternyata selain menjadi toko buku, Kineruku juga berfungsi sebagai perpustakaan. Pengunjung bisa membaca buku-buku lama di situ. Buku-buku di perpustakaan tak dijual, hanya bisa disewa bagi yang mau melanjutkan membaca di tempat lain. Saya mengambil buku karya Road Dahl, penulis Norwegia kelahiran Inggris, untuk dibaca di sana.

Kaki melangkah ke luar area toko buku dan perpustakaan, menuju bagian belakang gedung. Ada meja-meja yang tersusun di teras belakang dan halaman belakang. Meja-meja langsung terisi pengunjung walau Kineruku baru buka saat itu; menunjukkan Kineruku menjadi tempat favorit anak muda di akhir pekan.

Sebagian pengunjung memilih duduk di teras, sebagian lagi memilih duduk di meja di halaman berumput. Beberapa pohon rindang berdiri di halaman belakang, menaungi meja-meja tadi. Rumput hijau dan pohon rindang hijau memberi kesan asri, terlihat dari foto-foto yang ditampilkan di atas.

Saat itu tak terlihat terik matahari mengganggu mereka yang duduk di halaman, mungkin terbantu rimbunnya daun pohon dan dinding bangunan yang menghalangi cahaya matahari. Mungkin juga hawa Bandung yang adem membantu suasana nyaman di meja-meja baca Kineruku.

Banyak pengunjung yang datang bersama teman, tapi ada yang datang sendiri. Mereka terlihat antusias membaca buku, ada yang ngobrol dengan temannya, ada yang mengerjakan tugas. Tak ada suara musik yang diputar, yang bisa mengganggu konsentrasi, seperti halnya toko buku yang berada di mal. Ketika saya memalingkan wajah pada sepasang remaja di meja sebelah yang agak berisik, mereka segera menurunkan volume suara, seolah ada aturan main untuk tidak mengganggu pengunjung lain di Kineruku.

Ternyata, bagi penggemar film, mereka bisa nonton film koleksi Kineruku. Menurut referensi, ada sekitar 1000 judul film yang bisa ditemukan di sana. Juga bisa menemukan koleksi buku musik dan film di sana. Ada sekitar 1000 CD musik yang bisa dinikmati. Pantas tempat itu dinamakan Kineruku, yang berasal dari kata Kine (sinematik) dan Ruku (rumah buku).

Jam buka Kineruku menjelang makan siang, membuat pengunjung mulai merasa lapar. Mereka pun memesan makanan di kasir. Saya tak luput memesan nasi ijo dan minuman coklat dingin. Rasa dahaga dan keinginan mencicipi membuat pesanan susulan, es timun dingin. Nikmat rasanya membaca buku sambil makan siang dengan minuman dingin, serasa berada di rumah sendiri.

Lengkap sudah fungsi Kineruku, Kineruku menawarkan konsep all in one: toko buku untuk buku baru, perpustakaan untuk buku lama, penyewaan film yang tidak mainstream, café untuk pengunjung yang mau makan dan minum, dan tempat unik di lokasi yang jauh dari keramaian lalu lintas.

Tempat Mangkal

Melihat meja yang penuh, dan pengunjung yang kesiangan tak mendapat meja, saya menyimpulkan Kineruku tempat anak muda mangkal. Mungkin di hari kerja tempat ini juga tetap ramai, menjadi tempat tenaga kerja muda bekerja, work from café. Makanan dan minuman buatan rumahan yang tersedia membuat pengunjung bisa berjam-jam duduk di Kineruku.

Menurut pengamatan saya, Kineruku menarik bagi generasi muda karena suasananya instagramable. Beberapa di antara mereka melakukan aksi foto-foto sebelum melakukan hal lainnya di sana. Saya jadi senyum-senyum sendiri, foto-foto Kineruku pasti langsung di upload ke instagram masing-masing.

Berdasarkan referensi yang tersedia, Kineruku didirikan Ariani Darmawan dan Budi Warsito pada 29 Maret 2003. Sudah dua puluh tahun toko buku dan perpustakaan itu berdiri. Penambahan café membantu kelangsungan Kineruku, mengikuti selera generasi muda, pengunjung mayoritas tempat itu. Anak muda senang hangout di tempat-tempat yang mereka anggap kekinian; dan Kineruku bisa menjawab kebutuhan itu.

Betah rasanya berlama-lama di Kineruku. Pengalaman membaca buku lama yang tak pernah dimiliki, membeli buku baru, belanja barang-barang vintage, makan dan minum, mendengar musik, serta menonton film yang dimiliki Kineruku menjadi daya jual Kineruku.

Burung Merak di Kineruku

Seorang penulis ingin karya tulisnya dibaca. Tapi tak segampang itu. Birokrasi penerbitan buku bisa diatasi dengan menerbitkan buku sendiri (self-published). Namun, pemasaran buku menjadi tantangan yang dihadapi penulis. Toko buku indie seperti Kineruku sangat membantu penulis yang membutuhkan kanal distribusi setelah menerbitkan bukunya.

Setelah menyerahkan buku Burung Merak ke Ariani Darmawan, pemilik Kineruku, saya berpikir butuh beberapa minggu untuk membaca buku itu dan memberi kabar. Ternyata dua hari kemudian ada pesan masuk di telepon genggam, pesan dari Ariani Darmawan. Beliau menganggap buku Burung Merak layak dijual di Kineruku, dan memesan enam copy. Lebih menggembirakan lagi, pemilik Kineruku ini juga memesan masing-masing tiga copy buku Riverdance dan buku Mardi Gras yang saya terbitkan beberapa tahun lampau.

Kineruku tak hanya membantu penulis memasarkan bukunya. Kineruku juga membantu penggemar buku dalam mengisi dahaga pengetahuan mereka. Kineruku tak akan kehilangan pengunjungnya jika toko buku itu terus mengembangkan konsep yang mengikuti kemajuan zaman, tanpa harus lepas dari konsep dasarnya tentang penyediaan referensi buku bacaan dengan beragam genre.