Bulan depan akan ada libur massal, libur Idul Fitri. Jakarta akan sepi, warganya akan berduyun-duyun mudik ke daerah asal, atau pergi berlibur ke luar Jakarta. Saya pun tak mau ketinggalan. Tiket penerbangan sudah di tangan. Saatnya menghubungi agen tur destinasi liburan untuk mem-booking tur yang diinginkan. Agen tur itu menggunakan chatbot sebagai sarana komunikasi, yang mengandalkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Tak ada alamat email, tak ada nomor toll free yang bisa dihubungi. Saya pun menggunakan chatbot itu untuk berkomunikasi. Namun yang terjadi, frustasi luar biasa berhadapan dengan chatbot. Media komunikasi itu menggunakan robot, komunikasi berputar-putar, tak menemukan jawaban yang dibutuhkan.
Demi Pelayanan Lebih Baik?
Keberadaan chatbot ditujukan untuk memberi pelayanan yang lebih baik, dari segi kecepatan respons dan waktu. Chatbot dapat diakses kapan saja dan dari mana saja, tak mengenal batas waktu. Chatbot pun pasti menanggapi setiap pertanyaan yang masuk.
Namun, dari pengalaman di atas, yang muncul adalah ketidakpuasan atas kendala yang dihadapi. Robot seperti berpegang pada kata kunci dari apa yang dituliskan customer, sehingga komunikasi selalu kembali ke beberapa jawaban standar. Saya tak berhasil mem-booking tur yang dipilih.
Keesokan harinya saya mencoba berkomunikasi lagi melalui chatbot agen tur tersebut. Kali ini saya bertanya dulu, apakah saya berhadapan dengan robot atau manusia. Ternyata saya menghubungi agen tur itu pada jam yang tepat, manusia yang menjawab pertanyaan di media chat. Langsung terlihat jelas perbedaan jawaban yang diberikan, dibandingkan dengan pengalaman berhadapan dengan robot kemarin. Seluruh pertanyaan terjawab tuntas, membuat transaksi pembayaran perjalanan tur pun bisa dilakukan.
Pengalaman itu membuat saya menyimpulkan, layanan chatbot masih belum sempurna. Terasa sekali percakapan yang dilakukan antara manusia dan robot. Ada keterbatasan jawaban yang bisa diberikan chatbot, percakapan dengan chatbot tidak tuntas. Percakapan antar manusia dengan manusia melalui media elektronik yang sama terasa lebih hidup, lebih interaktif, dan sesuai dengan harapan customer.
Menjadi Pintar
Di masa lampau, seseorang melalui pendidikan berjenjang untuk menjadi pintar. Mereka melalui proses belajar dari Sekolah Dasar hingga pendidikan sarjana, mendapatkan pengetahuan dari berbagai literatur.
Sejak lahirnya Google di tahun 1998 dan Wikipedia di tahun 2001, kemudahan mendapatkan informasi pun menjadi nyata. Dan semakin nyata dengan pemanfaatan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di masa kini.
Akhir tahun lalu, suatu grup WhatsApp para profesional bidang Sumber Daya Manusia membicarakan kehadiran ChatGPT yang diproduksi OpenAI. ChatGPT adalah chatbot berbasis kecerdasan buatan generatif, yang dikatakan mampu menjawab pertanyaan dalam waktu singkat. Dikatakan pula, model percakapan ChatGPT dibuat sedemikian rupa, sehingga penggunanya akan merasa sedang bertanya jawab dengan seseorang.
Saya belum pernah menggunakan ChatGPT. Namun melihat kekhawatiran yang terjadi atas kehadiran ChatGPT, pikiran pun mulai bertanya-tanya. Para pengajar di dunia pendidikan mengkhawatirkan dampaknya pada kualitas proses belajar siswa atau mahasiswa. Apakah nanti mereka dapat dengan gampang menyontek saat ujian? Atau saat pembuatan makalah? Bahkan saat pembuatan skripsi?
Lebih ekstrem lagi, ada yang mempertanyakan, apakah gelar kesarjanaan masih diperlukan? Bukankah orang dapat mencari tahu dari media berbasis kecerdasan buatan?
Terlalu awal memang untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun perlu disiasati untuk menjamin kualitas pengetahuan dan proses belajar.
Mesin “Berkelas”
Dampak teknologi sudah menimpa media cetak. Generasi muda tak lagi membaca media cetak, mereka membaca berita dari media online. ChatGPT pun dikhawatirkan dunia jurnalistik. Apakah peran jurnalis akan diambil alih ChatGPT? Jika ini terjadi, bagaimana memastikan informasi yang tersedia di ChatGPT bukanlah propaganda, atau informasi hasil rekayasa pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan?
Pembahasan di grup WhatsApp para profesional bidang Sumber Daya Manusia itu cukup membuat keingintahuan tentang ChatGPT. Sebagian menunjuk pada kehebatannya, sebagian lagi menunjuk pada kekurangannya (terutama mereka yang sudah mencoba penggunaannya).
Kehebatan ChatGPT ditunjukkan ketika salah seorang anggota grup WhatsApp itu mencobanya dengan mengajukan permohonan bantuan membuat draft surel (email) untuk karyawan yang mempunyai masalah kinerja. Draft surel yang diberikan ChatGPT sangat bagus: tata bahasanya sopan, berstruktur, menyampaikan pesan sesuai isu yang dikemukakan. Isi surel dari ChatGPT “berkelas”, seolah ditulis orang yang mahir berkomunikasi dan berpendidikan.
Menjadi Bijak
Memang selalu ada kekhawatiran dalam menghadapi hal baru. Hal ini disebabkan karena seseorang belum tahu hasil dan akibat dari hal baru itu. Otak dan pikiran manusia bekerja sedemikian rupa, di mana pikiran merasa nyaman jika “mengetahui”. Hal baru bisa memberi ketidakpastian, sementara rutinitas membuat seseorang merasa nyaman, mereka memahami sebab dan akibat dalam hal-hal rutin.
Christian Louis Lange, pemenang Nobel Perdamaian tahun 1921, mengatakan, technology is the most useful servant but dangerous master. Ia mengingatkan bahwa di satu sisi teknologi bisa membawa manusia pada tingkat peradaban yang maju, tapi di sisi lain teknologi bisa menghancurkan masyarakat. Perlu bijak dalam menyiasati kemajuan teknologi.