Sekitar tahun 1960-an, I Gusti Putu Gede Wedhasmara dikenal sebagai pencipta lagu andal asal Bali. Lagu-lagu ciptaannya menjadi hits, dinyanyikan penyanyi terkenal di masa itu. Ketika Wedhasmara terkesan dengan Rumah Sakit St Carolus, lahirlah lagu Berpisah di Teras St Carolus, dinyanyikan Lilis Suryani. Lagu itu berkisah tentang perpisahan antara pasien dan perawatnya. Lagu itu digemari di zamannya, melekat pada generasi baby boomers.
Jalan Salemba Raya
Saya tak familiar dengan lagu Berpisah di Teras St Carolus. Tapi, setiap berangkat kuliah, atau pulang kuliah, saya selalu melintasi Jalan Salemba Raya, melewati Rumah Sakit St Carolus. Plang nama rumah sakit itu terbaca dengan jelas saat kendaraan melintas di depannya. Respek terhadap rumah sakit itu muncul karena saya tahu rumah sakit itu sudah lama berdiri, sejak tahun 1919, dengan reputasi positif di mata masyarakat. Rumah sakit itu telah menyembuhkan banyak pasien, dan telah mengantar mereka yang berpulang menghadap Sang Pencipta.
Tak menyangka bahwa saya akan menginap di rumah sakit itu ketika anggota keluarga, orang terdekat dalam hidup, menderita stroke. Operasi untuk mengatasi perdarahan di otak yang dilakukan dokter ahli bedah syaraf Affan Priyambodo Permana, memungkinkan perawatan lanjutan di ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit St Carolus. Ruang dengan peralatan medis khusus itu berfungsi merawat pasien dengan kondisi yang membutuhkan pengawasan ketat.
Lantai Tiga
Sejak anggota keluarga dirawat di ICU, beberapa kali dalam sehari saya menapaki lorong lebar terbuka dengan pemandangan taman nan hijau; melewati kamar-kamar pasien, menuju lift yang membawa saya ke ruang ICU di lantai tiga rumah sakit.
Langkah menuju lift terasa berat di minggu pertama menginap di Rumah Sakit St Carolus. Tak bisa tidur akibat kekhawatiran akan hal terburuk yang mungkin terjadi, flashback kejadian-kejadian tak nyaman muncul di benak kepala, membuat segalanya tak seimbang.
Kegiatan bolak balik ke ruang ICU membuat saya bertemu dengan tim perawat yang menjaga pasien ICU beberapa kali dalam sehari. Alhasil saya mengenal beberapa wajah: Suster Dewi, Bruder Jaka, Suster Tio Nainggolan, Suster Siti Fatimah, Suster Silvi, Suster Gita, Suster Grace, Suster Fora, Bruder Eben, dan beberapa suster dan bruder lainnya yang secara bergiliran menjaga pasien ICU. Ketika mereka berjaga, membersihkan pasien yang tak berdaya, memberi obat dan makanan di waktu-waktu yang telah terjadwal, tangan yang terampil dan perhatian mereka telah memelihara kelangsungan hidup pasien.
Ketika para dokter datang memeriksa pasien, informasi yang diberikan sangat bernilai, baik informasi positif maupun informasi yang kurang menenangkan tentang kondisi pasien. Kepercayaan pun terbentuk, melihat betapa para dokter spesialis itu menguasai bidangnya dan peduli pada pasien.
Saya kerap bertemu dengan dr Ardeno Kristianto di pagi hari, yang memberi penjelasan dengan bahasa orang awam. Keberadaan dr Ivanna Theresa yang penuh perhatian memudahkan berbagai hal. Komentar dr Hardjo Prawiro bisa memancing tawa, setelah beberapa minggu saya tak pernah tertawa. Penjelasan dr Affan singkat, tapi penuh inti; sementara dr Bebet Prasetyo yang rajin mengunjungi pasien semakin memperkuat kepercayaan bahwa pasien ditangani dengan baik. Semakin lengkap lagi dengan kunjungan dr Sigit Dewanto, dr Edith Sulistio, dr Ramzi, dr Yohannes Yanni, dr Andika Chandra, dr Steven Setiono, dr Timmy Yudhantara, dan radiolog dr Albert.
Tanpa disadari, keberadaan para perawat ICU, dokter spesialis yang kerap muncul, membuat saya merasa tidak sendiri. Bagi mereka yang pernah mengalami kondisi yang sama, menjaga anggota keluarga yang menjadi pasien ICU, pasti memahami kegalauan yang terjadi. Apalagi jika proses pemulihan di ICU memakan waktu beberapa lama.
Menyebut Nama-Mu
Ketika masih duduk di Sekolah Dasar, saya pernah ditugaskan membaca puisi Doa, karya Chairil Anwar. Seorang hamba memohon kepada Tuhan, meminta ketenangan dan kekuatan, menunjukkan ketakwaan manusia terhadap Sang Pencipta. Begitulah Chairil Anwar menumpahkan permohonannya dalam puisi Doa.
Puisi Doa melekat di kepala walau sudah berpuluh tahun lampau membacakannya di depan murid tempat sekolah dulu. Saya langsung teringat pada puisi itu ketika para biarawati yang bertugas di pastoral Carolus Borromeus (CB), datang mengunjungi pasien untuk mendoakan kesembuhan, pemulihan, dan keselamatan pasien. Suster Marga, Suster Laurensia, Suster Wilfrida, Suster Engel, dan biarawati lainnya kerap menunjukkan kasihnya melalui doa. Doa-doa tulus itu sungguh menguatkan, terutama di saat kepasrahan yang muncul. Tuhanku, dalam termangu, aku menyebut nama-Mu. Kata-kata Chairil Anwar itu mewakili hal yang terjadi, nama Sang Pencipta selalu hadir dalam doa-doa bersama para biarawati.
Saya selalu merasa kagok berhadapan dengan biarawati dan biarawan. Perasaan bukan manusia sempurna, bukan manusia religius, menimbulkan rasa kurang pantas menghadapi biarawati dan biarawan. Ternyata, proses doa setiap hari dari biarawati pastoral CB, menghilangkan jarak antara manusia tak sempurna dengan biarawati yang berbakti mengasihi sesama. Bahkan suatu kehormatan ketika saya diundang sarapan, dan juga makan siang, bersama para biarawati di ruang makan mereka di rumah sakit.
Kesempatan Kedua
Ketika akhirnya anggota keluarga yang menderita sakit diperbolehkan pulang untuk selanjutnya menjalani perawatan rumah, ada rasa haru saat meninggalkan ruang ICU. Selama dua puluh lima hari bernaung di Rumah Sakit St Carolus, saya menjadi bagian dari rumah sakit itu. Para perawat, tim dokter spesialis, dan para biarawati telah menemani saya dalam perjalanan pemulihan anggota keluarga yang sakit.
Kesempatan kedua diberikan Sang Pencipta. Tuhan bekerja melalui tangan para dokter, para perawat, dan para biarawati yang mendoakan. Mereka suatu kesatuan, kelompok medis yang bekerja dalam tim yang rapi, sesuai dengan apa yang tertera di logo rumah sakit itu: melayani dari hati, membangkitkan harapan.
Setiap pagi saya memandang taman nan hijau dari balik kaca jendela kamar, tempat menginap di Rumah Sakit St Carolus. Di hari terakhir menginap, hari kedua puluh lima, saya sengaja duduk di teras depan kamar. Taman nan hijau itu telah menemani hari-hari yang terasa panjang. Saya menghabiskan secangkir teh panas sambil menatap taman, menyaksikan kehidupan mulai bergerak di pagi hari itu.
Ann Hood, seorang penulis Amerika, mengatakan, there is more power in a good strong hug than in a thousand meaningful words. Saya memberi pelukan hangat pada Suster Dewi, Biarawati Laurensia, Biarawati Wilfrida, Biarawati Engel, dan dokter Ivanna, ketika harus meninggalkan ruang ICU, lalu menaiki mobil ambulance. Mereka mewakili seluruh perawat, dokter, dan biarawati, yang telah menangani pemulihan anggota keluarga terdekat. Pelukan hangat menggantikan beribu kata syukur, mengandung segudang emosi yang menyatakan mereka semua menempati posisi penting di hati.
Terima kasih Rumah Sakit St Carolus!