Adriani Sukmoro

Memilih Teman

Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) saya habiskan di sekolah yang berada di naungan yayasan yang sama. Lokasinya pun berada di dalam kompleks yang sama. Gedung SMP dan SMA dibangun saling berhadapan, dipisahkan oleh lapangan yang luas. Lapangan itu digunakan untuk berbagai kegiatan: upacara kenaikan bendera yang dihadiri seluruh murid SMP dan SMA setiap Senin pagi, kegiatan olahraga saat pelajaran olahraga, latihan drumband (kegiatan ekstrakurikuler siswa SMA), dan tentunya tempat pelajar bersliweran saat istirahat.

‘Nge-top’

Saat menjadi murid SMP, saya dan teman-teman menjadi pengamat para senior, siswa SMA, terutama di jam istirahat. Tak berani seliweran di lapangan, cukup melihat para senior dari kejauhan, biasanya mengamati sambil duduk di bangku panjang yang disediakan di luar kelas.

Siswa SMA yang rutin ke kantin pasti terlihat menyeberangi lapangan sekolah, sosok mereka langsung dikenali dan diingat. Mereka yang ikut kegiatan drumband, terutama yang berada di baris depan, langsung terlihat dan diingat. Mereka yang memiliki penampilan menarik, tampak menonjol dan diingat. Tanpa disadari, mereka yang langsung diingat ini menjadi ‘siswa populer’ di dalam kepala pengamat.

Saat sudah memasuki SMA, saya bisa menyaksikan dari dekat, murid-murid yang paling dikenal dan diingat, istilah kerennya murid ‘nge-top’. Murid nge-top itu tampil keren: memakai sepatu kets paling trendy di masa itu (yang mahal harganya), membentuk kelompok tersendiri (geng murid nge-top), bisa bermain alat musik (karena dimasukkan les musik oleh orangtuanya), tampil dalam acara sekolah, mengikuti kegiatan luar sekolah yang tak umum bagi pelajar lainnya (karena kegiatan itu membutuhkan dana khusus), hangout di restoran dan tempat-tempat yang populer bagi remaja di masa itu (membutuhkan uang saku lebih untuk bisa jajan di sana).

Banyak murid yang menganggap anggota geng nge-top itu cool, murid paling gaul. Mereka melakukan apa saja yang sedang trend bagi remaja saat itu.

Jika memungkinkan, murid lain ingin bergabung dengan geng itu. Siapa sih yang tak ingin nge-top? Tapi tak semua murid bisa bergabung, latar belakang ekonomi keluarga cenderung membayangi keanggotaan kelompok murid itu. Perlu dana untuk melakukan berbagai hal ekstra yang cool di luar sekolah.

Kenaikan Kelas

Ketika rapor dibagikan, cukup terkejut mendengar beberapa anggota geng nge-top yang tidak naik kelas alias tinggal kelas. Kok bisa tinggal kelas? Pertanyaan naif. Murid bisa saja tinggal kelas jika tak memenuhi standar akademis. Pasti banyak angka merah di rapor mereka yang tinggal kelas.

Berita anggota geng nge-top tinggal kelas segera menyebar. Banyak yang menyesalkan dan berkomentar: makanya jangan main melulu!

Kumpul dengan teman-teman pasti menyenangkan, tak ada beban. Tapi hangout bisa memakan waktu seseorang jika menjadi fokus kegiatan, terlalu sering dilakukan. Pelajaran jadi terabaikan: sibuk main, lupa belajar. Jika tak pintar membagi waktu, menjadi anak gaul lumayan berisiko.

Pribadi Yang Lebih Baik

John Williard Marriott, seorang pengusaha Amerika yang mendirikan perusahaan Marriott, dan sukses dalam bisnis restoran dan perhotelan, mengatakan: pilihlah temanmu dengan bijaksana; mereka akan membawamu maju atau justru membawamu dalam kegagalan hidup.

Ada juga yang mengatakan, seseorang cenderung berkembang menjadi seperti teman-teman pergaulannya, dimana ia menghabiskan sebagian besar waktunya bersama mereka. Karena itu, bertemanlah dengan orang-orang yang akan menjadikan dirimu menjadi pribadi yang lebih baik (a better person).

Pandangan di atas mengandung kebenaran, terjadi ketika saya duduk di bangku SMA. Masa SMA masa-masa rawan. Pencarian identitas dan tekanan eksistensi cukup dirasakan remaja. Ada keinginan dan usaha untuk menonjolkan diri, untuk diakui dalam lingkungan sosial, terutama lingkungan sekolah dimana sebagian besar waktu dan kegiatan dihabiskan remaja.

Saya masuk ke dalam kelas jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di masa lampau. Menyadari kemampuan inteligensi saya biasa-biasa saja, saya mendekati teman-teman yang terlihat rajin dan pintar di kelas. Teman-teman rajin dan pintar itu menjadi barometer tersendiri. Ada rasa nyaman berteman dengan mereka, mungkin tanpa disadari rasa nyaman itu adalah aura positif berada di antara siswa yang tekun menata pendidikannya. Dan ada dorongan untuk bisa tetap menjadi teman mereka. Bagaimana caranya? Tentu dengan belajar!

Tapi saya bukan tipe siswa yang hanya belajar dan belajar. Ada tuntutan lain di dalam diri, seperti remaja lainnya. Ingin berkegiatan, ingin menyalurkan energi melakukan sesuatu yang fun. Apa saja yang bisa dilakukan tanpa terpaku dengan geng nge-top?

Banyak yang bisa dilakukan tanpa harus meminta uang jajan lebih pada orangtua. Masa sekolah menjadi penuh kenangan ketika waktu diisi dengan main basket (gratis, lapangan dan bola basket disediakan sekolah), menjadi anggota drumband (gratis, kegiatan ektrakurikuler sekolah), ikut Vocal Group (beruntung punya teman-teman sekelas yang bisa main gitar, dan karenanya bisa tampil di acara sekolah). Semua kegiatan itu dilakukan bersama teman-teman sekelas yang pintar tadi. Kelompok pertemanan itu secara tidak langsung memiliki prinsip: tugas utama belajar, tapi tetap main di saat waktunya main.

Media Sosial

Kehadiran media sosial di masa kini memainkan peran besar dalam proses membangun eksistensi di kalangan remaja. Menampilkan diri seperti suatu keharusan: siapa dia, kehebatannya, kehidupannya. Eksis secara online, menceritakan hal-hal yang dulu dianggap pribadi, kini bisa memenuhi kebutuhan remaja untuk mendapatkan perhatian.

Segala sesuatu yang di-posting di media sosial mengharapkan ‘likes’, followers (pengikut), dan pujian atau komentar. Semakin banyak likes, followers, dan komentar, semakin membuat remaja itu eksis di dunia ini, seolah ia mendapatkan validasi atas keberadaannya.

Membangun eksistensi melalui media sosial tak berarti malapetaka terjadi. Eksis secara online bisa menjadi sarana motivasi, membangkitkan kepercayaan diri, menciptakan rasa diterima (social acceptance), mengasah hubungan sosial, belajar tentang keterampilan baru, bahkan bisa membangkitkan harga diri seseorang. Pengalaman positif ini membuat orang mengatakan, media sosial membawa orang asing menjadi teman, orang asing pun bisa menjadi pelanggan usaha.

Membangun eksistensi melalui media sosial menjadi malapetaka jika tanggapan yang diterima dari netizen tak sesuai harapan. Hujatan mungkin saja diberikan netizen yang tak setuju atau tak menyukai apa yang dilihatnya di Instagram, Tiktok, Twitter, Facebook, Snapchat, atau platform media sosial lainnya. Bahkan bisa saja menjadi sasaran perundungan (cyberbullying). Dalam situasi ekstrem, hujatan media sosial bisa mengganggu kesehatan mental seseorang. Tekanan yang ditimbulkannya bisa membuat seseorang merasa sedih berkepanjangan, hidup terisolasi, tak berdaya melihat perspektif positif.

Pengalaman buruk ini membuat orang mengatakan, media sosial seolah membuat banyak pertemanan, namun dalam kenyataannya, hanya beberapa orang saja yang menjadi teman dalam arti sesungguhnya.

Dibutuhkan kebijaksanaan dalam memilih teman di media sosial. Bertemanlah dengan mereka yang berpandangan positif, berkegiatan positif, dan menebarkan informasi positif.

Perilaku Berisiko

Wajar jika orang tua menginginkan masa depan yang baik bagi anaknya. Mereka mengusahakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya, sesuai kemampuan masing-masing.

Kehati-hatian orang tua bertambah ketika anaknya memasuki masa remaja. Masa remaja yang rentan membuat kekhawatiran tersendiri: kebutuhan eksis remaja bisa membuat salah gaul.

Kata ‘salah’ itu menunjuk hal-hal yang tak diharapkan. Salah gaul, berteman dengan orang-orang yang membawa dampak buruk dalam hidup, bisa membuat remaja menampilkan perilaku berisiko.

Dampak salah gaul seperti apa yang dikhawatirkan orang tua? Kecanduan alkohol, terjerumus narkoba, terlibat tawuran, melakukan tindakan kriminal demi kebersamaan dengan teman-temannya, tinggal kelas karena waktu belajar dialihkan untuk kumpul dengan teman-temannya, sering bolos hingga dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain; dampak salah gaul yang dikhawatirkan orang tua.

Orang tua bisa menjadi terlalu melindungi anak remajanya (over protective) akibat kekhawatiran itu. Seperti seorang ibu yang tak mengizinkan anak remajanya mengikuti kegiatan apapun selain belajar di sekolah. Sisa waktu remaja itu sehari-hari dihabiskan di rumah. Main game di depan TV menjadi pilihannya mengisi waktu di rumah. Tanpa disadari sang ibu, kebiasaan bermain game membuat remaja itu kecanduan game. Ia tak bisa melepaskan dirinya dari game, lebih memprioritaskan main game daripada melakukann kegiatan yang bermanfaat lainnya. Remaja itu tak bersosialisasi dengan remaja sebayanya, lebih memilih berteman dengan game. Ia kehilangan arah dan tujuan, tak mampu menyelesaikan kuliahnya, dan tak mampu mempertahankan pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri. Semuanya karena keinginan bermain game di rumah. Ia mengalami gangguan perilaku (behavioral disorder).

Ada yang mengatakan, penanganan remaja seperti sedang bermain layang-layang. Ada saatnya ditarik, ada saatnya diulur, agar layang-layang bisa terbang tinggi.

Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris yang meraih kemenangan dalam Perang Dunia Kedua, mengatakan, masa depan ada di tangan kita. Pilihan kita akan menentukan bagaimana hidup kita nantinya.

Memilih teman yang berorientasi melakukan hal-hal positif di masa remaja, akan membawa seseorang berada dalam lingkungan yang bergerak ke arah positif (positivity).