Adriani Sukmoro

Dibina Atau Dibinasakan

Kekesalan seorang Kepala Bagian Penjualan di suatu perusahaan terhadap kinerja salah satu anak buahnya terlihat dari sikap pimpinan bagian penjualan itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu berkata, “Cukup. Harus dilaporkan ke bagian SDM. Biar SDM melakukan PHK.”

Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja menjadi bagian dari proses manajemen kinerja di perusahaan tersebut, perusahaan yang berorientasi pada laba (profit organization). Dalam organisasi yang bertujuan mendapatkan keuntungan melalui operasinya, tentu saja setiap individu di dalam organisasi dituntut untuk menghasilkan kinerja sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan.

Penilaian kinerja dimulai dari adanya penetapan goals atau target yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu, biasanya dalam kurun waktu setahun (Januari hingga Desember). Selama jangka waktu tersebut atasan melakukan coaching dan pengembangan bagi karyawan untuk membantu karyawan tersebut mencapai target yang telah ditetapkan.

Kinerja di Bawah Standar?

Kepala Bagian Penjualan perusahaan itu menghubungi Kepala Bagian Sumber Daya Manusia (SDM). “Tolong bantu mem-PHK Santi. Kerjanya tidak becus. Banyak bolosnya, banyak alasan kenapa tidak mencapai target, mengurus administrasi saja tidak beres. Sudah tiga tahun kami tolerir, tapi tetap saja tak berubah!”

Kepala Bagian SDM perusahaan itu tentu saja menggali lebih dalam, mempelajari kebutuhan mengeluarkan Santi dari perusahaan. Sekilas terbaca alasan yang dikemukakan adalah kinerja yang tidak baik. Namun pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa dokumen pendukung.

Ternyata ditemukan, kinerja Santi selama tiga tahun terakhir memenuhi standar perusahaan, seperti yang ditunjukkan dokumen penilaian kinerja, terekam dalam sistem informasi SDM (HR Information System). Tak ada sedikit pun catatan yang mengatakan, Santi perlu meningkatkan kinerjanya, maupun rating kinerja yang di bawah standar. Karena itu PHK tak dapat dilakukan. Keluhan Kepala Bagian Penjualan tak sejalan dengan penilaian kinerja yang dilakukan bagian itu terhadap Santi.

Tidak Tega dan Kasihan

Situasi seperti di atas bisa terjadi dalam praktik korporasi. Pertanyaan yang muncul, mengapa kinerja karyawan yang kurang bagus masih diberi nilai ‘cukup’ atau memenuhi standar perusahaan? Biasanya berbagai alasan diberikan:

  • Tidak tega memberi rating jelek karena karyawan yang mendapat rating jelek tidak akan mendapat kenaikan gaji, dan tidak akan mendapat bonus tahunan.
  • Kasihan kepada karyawan yang mendapat rating jelek karena perilaku karyawan itu cukup baik, tidak banyak menuntut, menurut jika diberi pekerjaan, hasil pekerjaannya saja yang kurang bagus.
  • Tidak memberi rating jelek karena mau memberi kesempatan pada karyawan tersebut untuk memperbaiki diri, dan meningkatkan kinerjanya.

Memberi Kesempatan

Memberi kesempatan pada karyawan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja merupakan tanggung jawab atasan. Pada dasarnya, ketika seorang karyawan diajak bergabung di suatu perusahaan, perusahaan memprediksi bahwa karyawan tersebut akan berkinerja baik dan mendukung perusahaan dalam mencapai tujuannya. Semuanya dimulai dengan itikad baik, dan diharapkan menghasilkan hal baik.

Dalam perjalanan waktu, perusahaan dapat melihat apakah prediksi awal tadi menjadi kenyataan. Dalam kasus Santi di atas, kinerja Santi sebenarnya tidak memenuhi standar, namun Kepala Bagian Penjualan memutuskan untuk membina Santi, memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Coaching pun dilakukan selama beberapa tahun. Namun kinerja Santi tetap tak memenuhi standar perusahaan, ditambah perilaku kerja yang tidak teliti dan sering bolos.

Kesalahan terjadi ketika Bagian Penjualan terus memberi Santi rating kinerja yang masuk kategori memenuhi standar perusahaan. Tidak tega dan rasa kasihan membuat Bagian Penjualan terperangkap dalam situasi tak mungkin mem-PHK Santi saat itu.

Obyektivitas

Penilaian kinerja membutuhkan obyektivitas dalam penilaian. Karyawan perlu mengetahui target yang harus dicapai dalam periode penilaian, mendapatkan bimbingan dan pengarahan, serta diberi masukan atas hasil kerja yang ditunjukkannya.

Jika hal-hal di atas telah dilakukan, namun kinerja tak sesuai dengan harapan, atasan perlu memberi penilaian kinerja yang obyektif. Jangan melibatkan rasa tidak tega, kasihan atau aspek lainnya yang membuat obyektivitas penilaian tak terjadi. Penilaian kinerja yang tidak obyektif hanya akan menimbulkan masalah, seperti kasus Santi di atas.

Para pimpinan perlu menyadari, toleransi terhadap kinerja yang tidak memenuhi standar perusahaan akan merugikan perusahaan:

  • Perusahaan membayar kenaikan gaji dan bonus pada karyawan yang kurang berkontribusi dalam pencapaian kinerja perusahaan.
  • Terjadi ketidakseimbangan dalam manajemen kinerja tim. Karyawan yang kurang berkontribusi pada perusahaan mendapatkan perlakuan yang sama dengan karyawan yang sesungguhnya berkontribusi. Dampak lebih jauh, karyawan yang berkinerja baik bisa saja merasa tak perlu bekerja keras karena perusahaan akan memberi perlakuan sama, tak ada perbedaan antara kontributor dan non-kontributor.

Andrew Carnegie, seorang industrialis terkenal yang bermigrasi dari Skotlandia ke Amerika mengatakan, kita tidak bisa mendorong karyawan menapaki kariernya kecuali karyawan itu memang ingin kariernya berkembang.

Perusahaan berkewajiban membina karyawan, namun ada batas waktunya untuk memutuskan apakah karyawan itu masih layak ‘dibina’ atau ‘dibinasakan’. Karyawan yang tak memenuhi standar kinerja, yang memang tak bisa dikembangkan, dan bermasalah dalam perilakunya, selayaknya ‘dilepas’ dari perusahaan.