Setelah keriaan ditahbiskan sebagai sarjana usai, mencari pekerjaan menjadi kesibukan sarjana baru. Pengalaman kerja yang minim atau tidak ada, membuat kompetisi antar sarjana baru cukup ketat. Kegesitan mencari informasi tentang lowongan kerja menjadi kunci. Sarjana baru tak bisa duduk menunggu, mereka harus menjemput bola, mencari informasi tentang perusahaan apa dan industri apa yang sedang mencari tenaga kerja.
Management Trainee
Sebagian sarjana baru mengincar kesempatan menjadi Management Trainee di perusahaan. Program Management Trainee ditujukan untuk melahirkan calon pemimpin perusahaan. Mereka mendapat kesempatan mempelajari cara perusahaan beroperasi, alur kerja, strategi perusahaan, produk, dan berbagai hal lainnya yang penting diketahui calon pemimpin perusahaan. Perhatian khusus terhadap Management Trainee membuat karier mereka umumnya berkembang lebih cepat dari karyawan lainnya.
Namun kuota perekrutan Management Trainee terbatas. Biasanya hanya beberapa orang yang direkrut dalam setahun. Sengaja dilakukan sedemikian untuk menjaga fokus program itu: melatih dan mengembangkan pemimpin masa depan perusahaan. Kuota terbatas itu membuat seleksi Management Trainee ketat, perusahaan memilih kandidat terbaik dari sekian banyak pelamar.
Jika tak berhasil menjadi Management Trainee, sarjana baru bisa melamar pekerjaan untuk entry level lainnya. Posisi itu biasanya langsung terkait dengan departemen yang membutuhkan tenaga kerja baru. Pada umumnya karier mereka berkembang menjadi Specialist di bidang departemen itu.
Pembicaraan Dua Mahasiswa
Saat berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, saya biasa ‘nebeng’ mobil seorang teman, berangkat ke kampus dan pulang kuliah.
Hari itu, untuk suatu keperluan, mobil teman kuliah yang saya tumpangi melintasi jalan protokol, jalan Thamrin di Jakarta Pusat. Seperti biasa, perjalanan menuju lokasi tujuan diisi dengan pembicaraan seputar kuliah dan pertemanan di kampus. Perkuliahan sudah masuk ke masa praktik kerja, keharusan magang di perusahaan. Situasi itu mendorong saya bertanya pada teman kuliah tadi, “Mau kerja di mana nanti kalau sudah lulus?”
Dengan ringan ia menjawab, “Pengen kerja di bank”. Jawaban itu sesuatu buat saya, karena saya pikir ia ingin mengikuti jejak ayahnya, menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Maklum, kehidupan keluarga teman itu terlihat sejahtera, ayahnya ASN eselon satu di instansi pemerintah.
“Sepupu dari pihak Ayah kerja di Bank Indonesia. Kayaknya dia senang dengan pekerjaannya, bisa berkenalan dengan banyak orang. Keluarga bangga dengan statusnya sebagai pegawai Bank Indonesia, dipandang terhormat dalam keluarga.” Begitu tambahan penjelasan teman kuliah tadi.
Saya mengagumi teman kuliah yang sudah tahu apa yang diinginkannya setelah lulus kuliah nanti. Sementara saya masih belum terpikir akan bekerja di bidang apa. Tak pernah terlintas bekerja di dunia perbankan. Tak ada anggota keluarga maupun sanak saudara yang bekerja di bank. Ayah saya bekerja di perkebunan negara (yang sekarang disebut PTPN – PT Perkebunan Nusantara). Pekerjaannya membuat ia kerap berpindah tugas setiap dua atau tiga tahun, dari satu kebun ke kebun lainnya. Keadaan itu membuat saya tak tertarik berkarier di bisnis perkebunan.
Dosen
Ketika lulus kuliah, Dekan Fakultas Psikologi menghubungi, menawarkan posisi dosen di almamater. Ketertarikan ada, pekerjaan dosen terhormat, pengabdian pada dunia pendidikan. Tapi, calon pasangan hidup bekerja di perusahaan negara. Ia memberi gambaran, jika bekerja di perusahaan swasta yang memberi gaji lebih dari perusahaan negara, keuangan keluarga yang akan dibina akan terbantu. Pemikiran itu membuat karier sebagai dosen dilupakan.
Walau menjadi lulusan tercepat di kampus, ternyata tak membuat saya gampang mendapat pekerjaan di perusahaan swasta. Tak satu perusahaan pun yang memanggil untuk lowongan Management Trainee.
Usaha kasak kusuk dilakukan, menghubungi teman dan saudara sebanyak mungkin, mencari informasi lowongan pekerjaan. Setelah beberapa bulan menganggur, seorang teman kuliah mengabarkan, ada lowongan di sebuah executive search, agen yang membantu kliennya mencari tenaga kerja sesuai dengan standar perusahaan.
Jaringan informasi dari teman kuliah tadi sangat membantu. Saya diterima bekerja di executive search itu, diangkat sebagai Recruiter. Posisi itu memberi kesempatan melatih kemampuan mewawancara, serta meng-assess kandidat. Kemampuan yang terasah itu ternyata membawa saya pada karier yang tak pernah terlintas sebelumnya.
Recruitment Officer
Suatu hari, seorang kolega berkebangsaan Filipina yang juga bekerja di executive search lainnya, menghubungi. “I have a job for you. One of our clients is looking for Recruitment Officer. I think they will like you.” Jaringan informasi dari relasi kembali berperan dalam peluang karier.
Beberapa hari kemudian, kolega tadi menghubungi lagi. Memberitahu jadwal wawancara dengan Citibank, kliennya yang sedang mencari Recruitment Officer. “It would be fantastic if you could join the bank, a leap in your career,” kolega tadi menyemangati.
Pada masa itu informasi tak gampang ditemukan. Belum ada internet, Google, YouTube, Artificial Intelligence, dan berbagai sarana informasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi. Hanya ada informasi dari kolega yang mengatur wawancara tadi: Citibank perusahaan yang berkantor pusat di New York, merupakan the leading global bank dengan kantor cabang di lebih 150 negara.
Informasi sederhana itu sudah mampu membuat saya mengerti, bank yang akan saya hadapi itu perusahaan besar. Istilah dress for success terngiang di telinga, membuat saya sengaja membeli baju kantor yang terlihat ‘pantas’ beberapa hari sebelum wawancara. Hal sepele, namun membantu menaikkan semangat dan kepercayaan diri menjalani wawancara dengan Citibank.
Wawancara
Pada hari yang telah ditentukan, saya berada di gedung Landmark yang terletak di Jalan Sudirman. Naik ke lantai Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), lalu dibawa masuk ke ruang Direktur SDM.
Hari itu saya menjalani wawancara dengan Direktur SDM Citibank. Wawancara dalam bahasa Inggris berjalan dengan baik. Hingga saat Direktur SDM bertanya, hal apa yang tidak saya sukai dalam pekerjaan?
“Pekerjaan administratif”, saya menjawab dengan lugas.
Direktur SDM itu tertawa, lalu membalikkan badannya yang tadi menghadap lawan bicara. Kini Direktur SDM itu menatap komputernya yang terletak di meja sebelah kanannya, membaca pesan di layar komputer.
Selama beberapa saat ia asyik dengan apa yang dikerjakannya di komputer, mengabaikan saya, seolah-olah saya tak berada dalam ruang kerjanya. Saya duduk diam, salah tingkah karena merasa ada yang salah dengan jawaban yang saya berikan tadi. Walau merasa tak nyaman, saya menunggu hingga proses wawancara dinyatakan selesai oleh Direktur SDM.
Setelah beberapa saat, Direktur SDM itu berpaling lagi ke arah meja, menghadap saya. “Tidak ada pekerjaan yang tak melibatkan administrasi, kecuali posisi level atas.” Kata-kata itu diucapkan Direktur SDM dengan suara ke-bapak-an, seolah beliau mengerti kandidat yang dihadapinya masih ‘hijau’, tak mengerti bagaimana bekerja all round. Posisi yang sedang dipertimbangkan untuk saya Recruitment Officer, tanpa anak buah, dituntut mampu bekerja mandiri. Pekerjaan administratif harus dilakukan sendiri, tak bisa didelegasikan kepada siapa pun.
Jawaban yang ‘salah’ tadi membuat saya tak berharap banyak, wawancara terasa kurang mulus. Karena itu, lumayan terkejut ketika kolega dari executive search menghubungi lagi beberapa hari kemudian. “They want you to meet the CEO.”
Ternyata proses wawancara masih berlanjut. Walau hanya kandidat posisi Recruitment Officer, bawahan langsung Direktur SDM harus diwawancara CEO perusahaan.
Maka, pada hari yang ditentukan, saya bertemu dengan Bob Thornton, CEO Citibank, di ruang kerjanya. Terlihat beliau sudah membaca curriculum vitae yang disediakan executive search, wawancara menjadi efektif, tak berlangsung lama. Di akhir wawancara beliau berpesan, “Please search for talented local talents. I’d like you to hire local talents that are as good as overseas graduates. Citibank is a foreign bank, but we’d like to be a strong local player.”
Pesan sang CEO membuat saya ‘gede rasa’ (ge-er). Seolah saya sudah terpilih menjadi Recruitment Officer Citibank…
A Pleasant Journey
Dan perasaan ‘ge-er’ tadi menjadi kenyataan. Posisi Recruitment Officer itu ditawarkan kepada saya. Berita itu membawa kegembiraan bukan hanya pada saya, tapi juga pada keluarga. Citibank, a global leading bank, memilih saya sebagai karyawannya!
Tanpa pikir panjang, saya terima tawaran pekerjaan itu. Citibank membuka pintunya. Saya tahu, sesuatu hal yang sangat berarti akan terjadi pada karier profesional saya di Citibank. Seperti ucapan dari kolega berkebangsaan Filipina yang menempatkan saya di bank itu, “Congratulation… We wish you a pleasant journey in Citibank. It’s a dream job for many candidates!”
Kemajuan teknologi di masa kini menguntungkan sarjana baru. Informasi tersedia luas, kesempatan menjadi lebih terbuka. Tak heran seorang sarjana baru dari Universitas Indonesia (UI) diterima bekerja di perusahaan teknologi terkemuka, berkedudukan di Singapura. Seorang sarjana baru dari Universitas Brawijaya diterima di perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) besar di Jakarta, ia mengikuti tes masuk secara online. Seorang sarjana baru dari Universitas Sumatera Utara (USU) diterima sebagai Management Trainee di bank pemerintah berskala besar di Jakarta, ia juga mengikuti tes masuk secara online.