Adriani Sukmoro

Inner Critic

Tak semua orang senang mendengar kritik. Namun perlu dipilah antara kritik menjatuhkan dan kritik membangun. Kritik membangun patut didengar. Kritik membangun berisi saran spesifik yang dapat ditindaklanjuti; lebih bersifat umpan balik yang bertujuan membantu orang yang menerima kritik memperbaiki karya atau pekerjaannya.

Tanda Tangan

Ketika kuliah di Fakultas Psikologi, seorang kakak kelas melihat tanda tangan saya di atas kertas. Ia lalu menyuruh saya menorehkan tanda tangan yang sama di kertas kosong, katanya ingin melihat bagaimana cara saya membubuhkan tanda tangan. Setelah selesai, ia bertanya: “Mana bagian akhir dari tanda tanganmu?”

Saya menunjuk bagian paling kanan dari tanda tangan. Agak heran dengan pertanyaan itu, bukankah tanda tangan selalu dimulai dari kiri dan diakhiri di kanan?

“Bukan, itu bukan bagian akhir tanda tanganmu. Lihat garis yang ditarik dari ujung kanan tanda tangan ke bagian bawah, dan berakhir di sebelah kiri? Garis yang ditarik itu seolah memberi penekanan pada tanda tangan di atasnya. Garis itu bagian dari tanda tangan. Kamu justru kembali ke sisi awal tanda tangan, seperti yang ditunjukkan garis yang ditarik ke belakang tadi.”

Kemudian kakak kelas itu menambahkan penjelasannya. Tanda tangan saya menunjukkan kecenderungan berpikir maju, namun pada saat yang sama, tampak kecenderungan menarik diri ke belakang. Kecenderungan itu bisa memperlambat kemajuan saya dalam bertindak.

Mengapa ada kecenderungan seperti itu? Menurut kakak kelas tadi, kemungkinan paling logis adalah ketidakpercayaan diri. Keraguan akan diri sendiri bisa saja muncul saat sudah melangkah maju. Merasa kemampuan diri kurang atau merasa diri bukan siapa-siapa bisa menghambat langkah maju tadi.

Belum pernah ada yang mengulas tanda tangan saya sebelumnya, sehingga komentar kakak kelas cukup menarik perhatian.

Dalam dunia psikologi, memang ada ilmu Grafologi yang mempelajari karakter seseorang melalui pola tulisan tangan, bagaimana orang tersebut menggoreskannya pada secarik kertas, termasuk tanda tangannya.

Grafologi tidak termasuk dalam kurikulum di kampus Universitas Indonesia, tempat saya kuliah. Ilmu Grafologi diperdebatkan oleh para ahli. Sebagian ilmuwan berpendapat, tak ada bukti ilmiah yang menguatkannya. Karena itu Grafologi disebut ilmu semu (pseudoscience). Mungkin kakak kelas tadi tertarik pada Grafologi, dan memuaskan keingintahuannya dengan banyak membaca buku Grafologi.

Walau ilmu semu, tetap saja ulasan kakak kelas tadi mempengaruhi, membuat saya memutuskan mengubah tanda tangan. Tak ada lagi garis yang ditarik ke belakang. Kini tanda tangan saya berakhir di ujung kanan. Berpikir maju, maka perlu bertindak maju ke depan.

Fear of the Unknown

Saya jadi teringat akan ulasan tanda tangan di atas ketika menghadapi karyawan kantor yang menolak ditugaskan ke posisi baru.

Karyawan tersebut berkinerja baik, dianggap mempunyai potensi berkembang dalam perusahaan. Alasan penolakan karyawan tadi: ia merasa nyaman dengan pekerjaannya sekarang, tak ingin pindah ke bagian lain. Walau sudah diberi pandangan tentang kesempatan belajar hal-hal baru di posisi baru dan pengalaman kerjanya akan lebih luas, tetap saja karyawan itu menolak dipindahkan.

Dari hasil pengamatan, situasi karyawan tersebut berhubungan dengan kekhawatirannya menghadapi situasi baru, situasi yang belum dikenalnya. Biasanya kekhawatiran sedemikian timbul karena keraguan atau ketakutan akan hal-hal yang tidak biasa dihadapi atau dilakukan (fear of the unknown).

Ketika seorang karyawan diberi tugas baru di unit berbeda, ia harus melangkah keluar dari zona nyaman dan masuk ke wilayah baru. Karyawan itu bisa merasakan ketidakpastian: pekerjaan baru yang harus dipelajari, atasan baru, rekan kerja baru, hingga kebiasaan-kebiasaan di unit baru. Ketidakpastian itu bisa menakutkan. Suara-suara di dalam kepala karyawan tadi bisa saja mengatakan, ia akan gagal atau ia tak akan mampu melaksanakan tugas baru, karena pengalamannya di bidang pekerjaan baru kurang.

Rasa tidak percaya diri juga bisa membuat langkah mundur. Suara-suara di kepala karyawan tadi bisa mengatakan, ia akan gagal dalam pekerjaan baru karena ia bukan karyawan andal. Untuk apa pindah dari pekerjaan lama yang telah dikuasainya? Yang jelas-jelas memberinya kenyamanan dan kepastian hasil kerja yang baik?

Suara-suara di kepala yang cenderung mengkritik atau memberi komentar negatif terhadap diri sendiri itu disebut inner critic. Kritik dari dalam diri ini biasanya timbul karena ingin melindungi diri dari rasa malu atau dari akibat yang tak diinginkan.

Pandangan Dari Luar Diri

Inner critic dalam kepala seseorang bisa muncul ketika ia harus mengambil keputusan atau merencanakan sesuatu yang menyangkut dirinya. ‘Pembicaraan’ dalam kepala terjadi, menimbang sisi baik dan buruk, serta mengulas hal-hal yang berdampak bagi orang tersebut. Inner critic cenderung mengarah pada sisi buruk, sehingga membuat orang itu tak berani mengambil risiko.

Jika orang tersebut mendengarkan inner critic sepenuhnya, ia akan terperangkap dalam suara-suara yang mendorongnya untuk mundur dari kesempatan yang ada. Karena itu, penting untuk mendengarkan pandangan dari luar diri sendiri: pandangan dari teman dekat yang obyektif, pandangan dari orangtua atau anggota keluarga yang netral, atau pandangan dari atasan yang mempunyai paradigma lebih luas.

Inner critic bisa membawa dampak buruk bagi orang yang cenderung mendengarkan kritik negatif di dalam kepalanya. Ia bisa menjadi kurang percaya diri, bahkan bisa menarik diri karena harga diri yang rendah. Jika dibiarkan berlarut-larut, situasi ini bisa mengganggu kesehatan mental orang tersebut.

Beberapa buku tentang inner critic telah ditulis oleh para ahli. Membaca buku-buku itu bisa menjadi alat bantu dalam menghadapi inner critic yang berlebihan. Pandangan para ahli itu bersifat netral, tak menghakimi; membangun semangat untuk memahami inner critic.