Adriani Sukmoro

Jordania

Keingintahuan tentang Timur Tengah membuat saya membaca beberapa buku yang menceritakan kehidupan di berbagai negara Timur Tengah. Mulai dari buku Not Without My Daughter yang ditulis Betty Mahmoody tahun 1987 tentang pengalamannya melarikan diri bersama putrinya Mahtob dari kekejaman suaminya yang memaksa mereka tinggal di Iran; My Forbidden Face yang ditulis Latifa tahun 2001 tentang kehidupannya sebagai remaja Afganistan sebelum dan setelah dikuasai Taliban; Inside The Kingdom yang ditulis Carmen Bin Ladin tahun 2004 yang menggambarkan kehidupan patriarkal dalam keluarga Bin Laden di Arab Saudi; Kedai 1001 Mimpi yang ditulis Valiant Budi tahun 2011 menceritakan pengalamannya sebagai TKI di Arab Saudi, dan beberapa buku lainnya termasuk I Am Malala yang ditulis Malala Yousafzai tahun 2013.

Amman

Merasa beruntung sekali ketika kesempatan mengunjungi negara Jordania muncul. Kesempatan itu memuaskan keingintahuan tentang kehidupan di negara Timur Tengah, diwakili Jordania.

Jordania terkenal sebagai negara yang memiliki berbagai tempat bersejarah. Perjalanan di negeri ini dimulai di Amman, ibukotanya. Untuk menyingkat waktu, perjalanan saya dan keluarga hanya mampir di situs bersejarah Amman Citadel (Benteng Amman). Benteng itu terletak di bukit al-Qala’a, salah satu dari tujuh bukit di wilayah Amman.

Reruntuhan Kuil Hercules dan patung tangan Hercules ditemukan di Amman Citadel. Terdapat juga istana dan masjid peninggalan Bani Umayyah, gereja Bizantium, dan Roman Theatre bekas peninggalan Kerajaan Romawi. Kerajaan Romawi memang pernah menduduki Amman Citadel di abad 1 sebelum Masehi.

Amman Citadel ramai dikunjungi turis saat itu, maklum sedang musim liburan sekolah. Selama beberapa saat saya dan keluarga menikmati pemandangan kota Amman dari bukit tempat Amman Citadel.

Petra

Hari kedua di Jordania diisi dengan kunjungan ke Petra, kota batu yang spektakuler. Di masa lampau Petra menjadi ibukota Kerajaan Nabataean. Peninggalan sejarah yang ada di sana membuat UNESCO memutuskan Petra sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites) tahun 1985.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, bus tiba di gerbang kawasan wisata Petra. Di kota Petra itu terdapat The Treasury (Al-Khazneh), yang dulu berfungsi sebagai tempat makam dan ruang penyimpanan bawah tanah.

Saya dan keluarga harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer menuju Al-Khazneh. Perjalanan dilakukan dengan santai agar tak melelahkan. Saya menikmati setiap langkah menuju The Treasury. Serasa berjalan kaki di lorong panjang, lorong yang diapit bebatuan besar dan tinggi di sisi kiri dan kanannya. Suara bergema jika berteriak di lorong jalan itu. Saking besar dan tinggi, manusia yang berfoto di bebatuan itu terlihat kecil. Tanah dan bebatuan berwarna merah muda kekuningan, berdiri kokoh menyuguhkan pemandangan yang luar biasa.

Tak sia-sia berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk melihat Al-Khazneh. Saya menemukan bangunan batu dengan pahatan yang sungguh memukau. Al-Khazneh dibangun dengan memahat ke dalam sebuah tebing. Pilar-pilarnya menunjukkan pengaruh arsitektur Yunani kuno.

Petra diperkirakan didirikan di abad kelima sebelum Masehi. Petra mengalami masa jaya ketika Kerajaan Nabataean menguasai alur perdagangan dan menjadi pusat perdagangan di wilayah itu. Para pedagang meninggalkan Petra ketika alur perdagangan beralih ke arah laut. Diperparah oleh gempa bumi dahsyat yang melanda Petra di abad keempat, membuat kerusakan kota. Banyak penghuninya meninggalkan kota itu, secara perlahan Petra tertimbun pasir dan ‘hilang’. Suatu peradaban hilang seiring hilangnya kota Petra. Berkat jasa Johann Ludwig Burckhardt, seorang penjelajah berkebangsaan Swiss, Petra dan Al-Khazneh ditemukan kembali tahun 1812.

Sebelum mengunjungi Jordania, film Indiana Jones and the Last Crusade yang mengambil lokasi shooting di sana membuat saya mengenali tempat itu. Harrison Ford yang memerankan Indiana Jones bersama Sean Connery tampak duduk di atas sadel kuda, dengan latar belakang Al-Khazneh. Adegan berikutnya menunjukkan mereka berkejaran sambil menunggangi kuda, melintasi lorong-lorong jalan di Petra.

Suku Bedouin

Saya baru mengenal suku Bedouin (Badawi) dan kehidupan mereka dalam kunjungan ke Jordania. Rumah-rumah suku Bedouin terlihat bertebaran saat bus yang ditumpangi melintasi Desert Highway, jalan raya yang menghubungkan bagian Selatan dan Utara Jordania. Suku Bedouin di Jordania menetap di lahan kosong dan luas, gurun pasir sepanjang Desert Highway.

Selain Jordania, suku Bedouin yang dikenal sebagai suku pengembara itu terdapat di negara-negara Jazirah Arab. Suku Bedouin di bagian Timur Jordania mencari nafkah sebagai peternak dan penggembala unta, sementara suku Bedouin di bagian Barat bekerja sebagai penggembala domba dan kambing.

Pengetahuan baru tentang suku Bedouin cukup menarik, mereka pengembara yang hidup nomaden. Pikiran menggelitik muncul: mengapa suku Bedouin suka berpindah-pindah tempat? Ternyata, menurut penjelasan tour guide, alasan berpindah tempat itu untuk memastikan kecukupan sumber makanan bagi unta, domba, dan kambing yang dipelihara.

Pemerintah Jordania membantu kehidupan suku Bedouin dengan menyediakan pendidikan, klinik kesehatan, hingga perumahan. Namun suku Bedouin umumnya lebih suka mempertahankan gaya hidup tradisional, hidup nomaden.

Di satu titik bus berhenti untuk memberi kesempatan pada penumpang ke toilet. Banyak kios cinderamata berdiri di area itu. Saya pun segera menelusuri kios-kios, perlu membeli kenang-kenangan dari negara Jordania. Di salah satu kios cinderamata saya menemukan sebuah buku menarik: Married to a Bedouin. Buku itu ditulis Marguerite van Geldermalsen, seorang perempuan warga negara Selandia Baru. Buku dipajang di tempat yang gampang terlihat turis.

Kios itu dijaga seorang perempuan. Rambutnya ditutupi kain seperti scarf, hanya poni rambut yang terlihat. Ia memakai baju ala long dress berlengan panjang. Selain buku Married to a Bedouin, saya membeli cinderamata hasil kerajinan suku Bedouin dari kios itu. Perempuan penjaga kios terlihat senang, walau tak mengajak berbicara.

Saya membaca kilat beberapa halaman buku Married to a Bedouin di dalam bus yang beranjak meninggalkan area tadi. Buku itu menceritakan Marguerite dan temannya Elizabeth berlibur ke Jordania tahun 1978. Mereka mengunjungi beberapa kota, termasuk Petra. Entah kenapa, Marguerite langsung jatuh cinta kepada Mohammad Abdallah Othman saat mereka bertemu di Petra. Pria itu seorang pengrajin Bedouin yang getol belajar bahasa Inggris, kerap menyapa turis yang datang untuk mempraktikkan bahasa Inggrisnya.

Tahun 1978 itu juga mereka menikah. Perubahan besar terjadi dalam kehidupan Marguerite. Ia mengikuti cara hidup kaum Bedouin: tinggal di dalam ruang bawah tanah yang berongga (cave), memanggang roti shrak (roti ala Bedouin) di tungku api, mengambil air dari mata air yang lumayan jauh, dan berbagai hal yang tak pernah dilakukan dalam hidupnya sebelumnya. Marguerite beradaptasi dengan cara hidup suku Bedouin.

Setelah beberapa saat membolak-balik buku itu, tiba-tiba muncul pertanyaan dalam kepala: apakah perempuan penjaga kios itu Marguerite van Geldermalsen? Waaaah… sangat mungkin. Pekerjaan Marguerite berjualan cinderamata!

Dinasti Kerajaan Jordania

Keluarga Hashemite menjadi keluarga Kerajaan Jordania sejak tahun 1946. Keluarga Kerajaan Jordania dianggap sebagai dinasti yang cukup stabil kepemimpinannya.

Raja Hussein diangkat menjadi Raja ketiga Jordania tahun 1953, menggantikan ayahnya yang menderita gangguan mental.

Raja Hussein memiliki empat istri. Ia bercerai dengan istri pertama yang memberinya seorang putri, bercerai juga dengan istri kedua yang memberinya dua putra dan dua putri. Istri ketiganya meninggal dalam kecelakaan pesawat, seorang putra dan seorang putri dilahirkan dari pernikahan ketiga ini. Istri keempatnya, Ratu Noor, dinikahi tahun 1978 dan melahirkan dua putra dan dua putri.

Raja Hussein menderita kanker tahun 1998. Ketika kondisi kesehatan Raja Hussein semakin menurun, ia menetapkan Abdullah II, putra sulung dari istri keduanya, sebagai pewaris tahta kerajaan. Sementara Hamzah, putra sulung dari Ratu Noor, istri keempat, ditetapkan sebagai Crown Prince. Saat itu Hamzah berusia 19 tahun. Posisi Crown Prince cukup tinggi, posisi itu membuat Hamzah berada di urutan pertama sebagai Raja  pengganti jika Raja Abdullah II mangkat, atau jika Raja Abdullah II tak mampu lagi melaksanakan tugasnya.

Raja Hussein meninggal dunia tahun 1999, ia mengemban posisi Raja Jordania selama 47 tahun. Abdullah II pun ditahbiskan menjadi Raja Jordania, menggantikan ayahnya.

Drama keluarga dimulai ketika Raja Abdullah II mencabut gelar Crown Prince dari Hamzah tahun 2004, lima tahun setelah Raja Hussein meninggal dunia. Kemudian Raja Abdullah II menetapkan putra sulungnya sebagai Crown Prince tahun 2009. Banyak yang menduga, Hamzah kecewa dengan keputusan saudara tirinya itu. Keputusan itu membuat harapan Hamzah menjadi Raja pupus.

Berita tentang keretakan keluarga kerajaan Jordania muncul ketika Hamzah dituduh berencana melakukan kudeta kerajaan tahun 2021. Saat itu Hamzah berusia 41 tahun. Hamzah dijadikan tahanan rumah, dianggap berbahaya terhadap monarki kerejaan. Ia tetap menjadi tahanan rumah hingga kini.