Adriani Sukmoro

City of Angels

Los Angeles, kota terbesar kedua di Amerika Serikat yang dijuluki City of Angels, mempunyai daya tarik bagi warga lokal maupun pendatang. Kota yang dipadati orang-orang dari berbagai latar budaya (multiculture) itu terbiasa menerima insan berbagai bangsa. University of California Los Angeles (UCLA) dan University of Southern California (USC), universitas terkenal yang berlokasi di Los Angeles, diminati banyak pelajar Indonesia.

Penggemar Film

Saya penggemar film Hollywood. Dimulai dari menonton film televisi produksi Hollywood di masa kecil. Setelah bekerja menghasilkan uang sendiri, menonton film di bioskop menjadi salah satu kegiatan hiburan. Duduk santai di dalam bioskop, menikmati cerita yang disuguhkan film, tak memikirkan hal-hal lain.

Saya bisa menikmati beragam film yang diramu dengan bagus; mulai dari film komedi yang membuat tertawa, film romantik yang membuat suasana hati hanyut dalam cerita, hingga film kriminal yang mendebarkan.

Saya ikut menari dalam pikiran ketika menonton John Travolta dan Olivia Newton John dalam film Grease di masa remaja. Ikut ‘geregetan’ ketika para agen Federal Bureau of Investigation (FBI) mengejar Al Capone, si raja gangster di Chicago, dalam film The Untouchables. Ikut berdebar ketika Glenn Close melakukan teror kepada Michael Douglas dan keluarganya dalam film Fatal Attraction. Ikut tertawa melihat tingkah Whoopi Goldberg sebagai dukun palsu di film Ghost. Dan banyak film lainnya yang saya tonton, selalu ada waktu yang dialokasikan untuk menonton film-film box office Hollywood.

Maka, ketika ada waktu dan kesempatan, saya dan keluarga mengagendakan liburan ke Los Angeles. Di kota itu bisa mengikuti wisata Hollywood.

The Big Five Studios

Hollywood mendominasi industri perfilman dunia. Hollywood dikenal sebagai industri film tertua di dunia, film-film produksi Hollywood telah lahir sejak lebih dari seratus tahun lalu.

Warga dunia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, membantu film-film Hollywood, menjadi relatif lebih mudah dipasarkan ke mancanegara karena menggunakan bahasa internasional. Keberadaan perusahaan media multinasional Amerika juga membantu pemasaran film-film beranggaran besar yang memenuhi selera penonton di berbagai negara dengan latar budaya yang beragam.

Dalam perjalanan waktu, Hollywood mengalami masa jaya, film-film yang diproduksi Hollywood tahun 1915 hingga 1965 menguasai dunia hiburan. Orang pergi ke bioskop menonton dan menikmati film-film Hollywood. Hingga muncul disrupsi, hadirnya televisi di rumah. Televisi menyuguhkan hiburan yang mudah diakses. Tak perlu ke luar rumah, hadir setiap hari.

Ada lima produsen dan distributor film terbesar di Hollywood, dijuluki The Big Five Studios: Universal Studios, Warner Bros., Paramount Pictures Corporation, Walt Disney Pictures, Sony Pictures Entertainment. Kelima perusahaan produksi dan distributor film itu menghasilkan jumlah film yang lumayan banyak dalam setahun, pada umumnya film-film yang dihasilkan menjadi box office.

Universal Studios

Saat berada di Los Angeles, saya dan keluarga memasukkan kegiatan mengunjungi Universal Studios yang terkenal dan salah satu dari The Big Five Studios. Bagi saya pribadi, kunjungan ke Universal Studios itu merupakan kunjungan kedua, namun antusiasme tetap tinggi, maklum kunjungan pertama sudah lebih dari dua puluh tahun lampau.

Cukup kagum melihat bagaimana Universal Studios mempertahankan kebersihan, kerapian, keindahan, dan keutuhan berbagai atraksi turisme. Turis menaiki semacam trem (kereta) dengan jendela terbuka dan berjalan di rel khusus; dibawa berkeliling selama kurang lebih sejam. Selama berkeliling itu, turis diberi penjelasan tentang beberapa teknik pembuatan film.

Dari sekian teknik film yang ditunjukkan, ada beberapa yang melekat di kepala. Ketika melewati satu titik tertentu, tiba-tiba turis melihat banjir melanda turun dari lereng. Tapi tak lama kemudian, banjir itu lenyap sendiri, seolah-olah terisap ke tempat semula dengan cepat, dan tanah bekas banjir tidak basah!

Di titik lainnya, trem turis memasuki dermaga sungai (sungai buatan tentunya). Tiba-tiba dermaga menjadi miring, turis-turis yang duduk dalam trem pun terkejut, khawatir jatuh ke dalam air. Sensasi tour Universal Studios semakin terasa ketika seekor hiu besar datang mendekati dan hendak menyerang trem. Turis-turis tertawa ketika trem berhasil melaju melewati dermaga yang miring dan hiu ganas tadi. Tour guide trem menjelaskan, tampilan hiu itu diambil dari teknik film Jaws, film box office tahun 1975.

Karakter Norman Bates, si pembunuh dalam film box office Psycho tahun 1960, tampil saat trem melewati rumah yang berbentuk seperti The Bates Motel. Motel itu dimiliki Norman Bates. Pria yang memerankan Norman Bates menghunus pisau di tangannya, melangkah dengan pasti menuju trem. Penumpang berteriak ketakutan, dan tentu saja trem berhasil berlalu sebelum Norman Bates menggapai turis dalam trem.

Walk of Fame

Turis lokal maupun internasional yang mengunjungi Los Angeles, pasti menyempatkan waktu jalan-jalan seputar The Hollywood Walk of Fame. Sisi jalan Hollywood Boulevard sepanjang 15 blok dan Vine Street sepanjang 3 blok dipenuhi taburan bintang  segi lima yang tertera di atas lantai terrazzo. Setiap bintang berisi nama celebrity yang telah memberi kontribusi berarti pada industri hiburan Amerika Serikat. Suatu prestise bagi mereka yang namanya tercantum di Walk of Fame, mereka diabadikan sebagai bagian sejarah industri hiburan.

Namun, ada saja yang tak bersedia namanya dicantumkan dalam Hollywood Walk of Fame. Menurut berita, Julia Roberts tak mau namanya diinjak orang yang berjalan-jalan di Hollywood Walk of Fame. Leonardo Dicaprio tak mau membayar proses pembuatan bintangnya, serta pemeliharaan bintang itu. Denzel Washington tak berminat dikenali melalui ‘bintang’, dan George Clooney tak mau repot mengisi formulir permohonan, apalagi harus berjanji akan hadir pada saat peresmian namanya diabadikan di Hollywood Walk of Fame.

Saya dan keluarga menaiki subway untuk mencapai lokasi Walk of Fame. Banyak turis yang berada di sana, mereka terlihat sibuk mencari nama idolanya di lantai itu, lalu mengabadikan dalam foto. Foto-foto di Hollywood Walk of Fame menjadi bukti, seolah mengesahkan bahwa orang itu telah menginjakkan kaki di Hollywood.

Lebih dari dua ribu nama celebrity yang ada di Walk of Fame. Saking banyaknya bintang yang bertaburan di lantai, saya hanya berfoto di dekat nama yang dikenal. Saat itu musim panas. Lumayan lelah jika harus mendapatkan nama bintang idola yang sesungguhnya.

Staples Center

Selama di Los Angeles, saya dan keluarga menginap di hotel yang berlokasi di jalan Hope. Setelah sarapan, waktu dihabiskan berkeliling seputar hotel. Staples Center, gedung mencolok di jalan St Figueroa, salah satu gedung yang ingin dilihat. Gedung itu bisa dicapai dengan berjalan kaki dari hotel, hanya sekitar lima belas menit.

Acara Memorial Service bintang pop Michael Jackson tahun 2009 diadakan dua minggu setelah kematiannya di Staples Center. Acara mengenang Michael Jackson itu diisi bintang Hollywood lainnya: Brooke Shields, Mariah Carey, Usher, John Meyer, Elizabeth Taylor, Berry Gordy, Lionel Ritchie, Macaulay Culkin, dan lain-lain. Karena acara itu saya mengenal nama gedung Staples Center.

Staples Center tutup ketika saya dan keluarga mampir di sana. Gedung berkapasitas sekitar 20.000 penonton itu terlihat besar dengan halaman luas. Gedung itu telah menjadi tempat ajang pertandingan tim bola basket Lakers yang berbasis di Los Angeles. Selain pertandingan olahraga, Staples Center juga menjadi tempat konser musik. Elton John dan Eminem pernah tampil bersama di sana, begitu pula Beyonce dan Prince, Barbra Streisand, The Rolling Stone, dan grup musik K-Pop Korea BTS.

Nama Staples Center sudah tak ada lagi sekarang walau gedungnya masih utuh. Sejak 25 Desember 2021 gedung itu sudah berganti nama menjadi Crypto.com Arena. Perusahaan Crypto.com melakukan perjanjian bisnis yang membuatnya memiliki hak memasang nama perusahaan itu selama dua puluh tahun sejak persetujuan bisnis.

Medan Kitchen

Saya dan suami mengunjungi Los Angeles lagi tahun 2022 lalu, saat pandemi Covid-19 mulai mereda. Beberapa diaspora Indonesia yang menetap di Los Angeles membagi informasi, ada toko bernama Medan Kitchen yang dimiliki orang Indonesia yang sudah bermukim di Los Angeles. Saya pun sengaja keluangkan waktu mengunjungi Medan Kitchen, toko penjual makanan Indonesia tersebut.

Pemiliknya Ibu Siew Chen. Walau sudah berumur lebih dari tujuh puluh tahun, ia tak bisa diam. Ia memutuskan membuka restoran bersama anak-anaknya. Ia memasak sendiri semua makanan yang dijual. Menurut ceritanya, ia bisa memasak dua puluh hingga tiga puluh jenis makanan dalam sehari, seperti nasi kuning, nasi uduk, mie ayam bakso, dan camilan khas tanah air lainnya.

Suara-suara berbahasa Indonesia memenuhi Medan Kitchen saat saya mengunjungi toko itu. Rasanya seperti berada di toko makanan di tanah air. Di sudut toko saya menemukan koran berisi berita seputar Indonesia, ditulis oleh diaspora yang mungkin haus akan berita tentang tanah air. Walau sudah bertahun-tahun hidup dan bahkan menjadi warga negara di negara asing, para diaspora pasti tetap mengingat negara asalnya. Seperti pepatah yang mengatakan, no matter where life takes you, you won’t forget where you come from.