Di masa saya duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA), berita tentang kemegahan Marching Band Tarakanita kerap muncul di media cetak. Salah satunya muncul di majalah Gadis, majalah remaja yang populer saat itu. Saya pelanggan majalah itu. Marching Band Tarakanita sering memenangkan lomba marching band tingkat nasional, ikut memeriahkan upacara hari kemerdekaan Indonesia di istana negara, juga tampil dalam perhelatan pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games). Nama sekolah Tarakanita pun jadi familiar, selalu ada rasa ingin tahu tentang marching band sekolah itu.
Sekolah Pilihan
Walau kesempatan mengenal sekolah Tarakanita lebih karena kegiatan marching band-nya, gambaran sekolah Tarakanita sebagai sekolah yang mendorong perkembangan karakter anak didik terbentuk di kepala. Karena itu, ketika tiba saatnya memasukkan kedua putri dalam keluarga ke pendidikan formal di sekolah, saya pun tak ragu memasukkan mereka ke sekolah Tarakanita.
Kedua putri dalam keluarga merupakan produk sekolah Tarakanita. Mereka menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Tarakanita. Sebagai ibu bekerja, ada rasa nyaman menempatkan anak-anak di sekolah itu. Tak ada kekhawatiran mereka terbawa arus pergaulan yang tak sesuai harapan. Mungkin karena ada kegiatan ekstrakurikuler yang harus diikuti siswa sekolah Tarakanita. Waktu di sekolah tak hanya diisi kegiatan belajar, mereka juga diberi kesempatan mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakuriler itu juga membuat siswa mempunyai tujuan dalam mengisi waktunya.
Korps Putri Tarakanita
Ketika menginjak SMA, putri sulung pun menimbang-nimbang kegiatan ekstrakurikuler yang ingin diikutinya di SMA Tarakanita 1. Ada dua kegiatan ekstrakurikuler sekolah itu yang dikenal khalayak luas: marching band dan teater. Kelompok teater SMA Tarakanita 1 selalu tampil di pentas besar minimum sekali dalam setahun, menyuguhkan keberhasilan murid-murid yang mengikuti kegiatan teater. Pentas besar yang ditangani secara serius, mereka tampil di atas panggung sekelas Gedung Kesenian Jakarta, Gedung Perfilman Usmar Ismail, dan lain-lain.
Putri sulung memutuskan masuk dalam kelompok marching band yang disebut Korps Putri Tarakanita (KPT). Mungkin terpengaruh oleh cerita saya tentang kehebatan kegiatan itu, mungkin juga karena marching band mengandung unsur harmoni musik. Ia memang belajar memainkan alat musik piano sejak kecil, hal ini membantunya dalam proses belajar kegiatan marching band.
Setiap anggota KPT ditempatkan dalam kelompok alat musik, pelatih yang menentukan alat musik yang dipegang masing-masing anggota: barisan pemain alat tiup (hornline), barisan pemain alat pukul atau perkusi (percussion line), dan barisan pembawa alat efek visual (color guard).
Pelatih pasti memiliki penilaian teknis saat menempatkan anggota pada kelompok alat musik tersebut. Barisan pemain alat tiup dibagi ke dalam kelompok trompet, trombone, mellopohone, baritone, dan tuba. Barisan pemain perkusi dibagi ke dalam kelompok pemukul quarto, pemukul pits, dan pemukul marimba. Hanya kelompok color guard yang tak dibebani kemampuan memainkan alat musik; mereka fokus memainkan berbagai alat yang memberi efek visual, seperti bendera, senapan kayu atau plastik, pedang, serta alat peraga lainnya.
Kegiatan ekstrakurikuler marching band tidak main-main. Latihan dilakukan secara teratur dan penuh kedisiplinan, membuat setiap anggota harus menjaga stamina.
Putri sulung ditempatkan di kelompok trombone. Maka sibuklah ia berlatih di rumah, meniup trombone, menghasilkan suara dengan nada lagu sesuai partitur yang dipelajari. Ia juga rajin membersihkan alat musik trombone itu. Setiap anggota KPT bertanggung jawab atas alat musik yang dipegangnya. Jangan sampai alat musik itu tak mengeluarkan bunyi, karatan, hilang, dan berbagai kemungkinan buruk akibat kurang perawatan.
Melihat keseriusan putri sulung merawat alat musik yang ditugaskan padanya, beberapa pembelajaran bermanfaat terkandung dalam proses itu: belajar tentang tanggung jawab memelihara, merawat, dan menjaga; melatih perhatian pada hal-hal kecil (attention to detail), membangun kebanggaan atas alat musik yang ditugaskan.
Girl Power
Selalu menyenangkan melihat kelompok marching band Tarakanita latihan. Latihan intensif dilakukan menjelang penampilan, baik penampilan atas permintaan korporasi, badan pemerintah, yayasan, atau organisasi tertentu. Latihan semakin intensif menjelang kepesertaan dalam Grand Prix Marching Band (GPMB), perlombaan marching band berskala nasional yang selalu diadakan menjelang akhir tahun, di bulan Desember. Latihan dilakukan selama beberapa bulan lamanya sebelum jadwal GPMB.
SMA Tarakanita 1 sekolah khusus untuk murid perempuan. Karena itu, KPT yang diikuti putri sulung, kesemuanya beranggotakan murid perempuan. Saat menonton mereka latihan, tampak gambaran tentang kekuatan kerja sama murid-murid perempuan dalam berkoordinasi memainkan harmoni musik dan memadukan gerakan. Kekompakan permainan KPT itu sering disebut girl power.
Ada koreografi yang ditampilkan KPT sesuai dengan tema yang dipilih. Sembari memainkan alat musik, setiap anggota wajib mengingat gerakan koreografi yang harus mereka lakukan. Kesalahan satu orang bisa merusak tampilan koreografi marching band. Karena itu tak ada yang luput dari tanggung jawab untuk menguasai alat musik dan sinkronisasi gerakan tubuh.
Field Commander
Ketika murid diterima dalam keanggotaan marching band, mereka mulai latihan secara bersama-sama, belajar memainkan alat musik yang ditugaskan pada mereka dari tahap awal.
Marching band Tarakanita beranggotakan lebih dari seratus orang. Dibutuhkan seorang pemimpin untuk mengarahkan penampilan mereka. Pemimpin itu dinamakan Field Commander.
Tugas Field Commander tidak gampang. Selain secara teknis ia perlu mengerti musik dan harmoni musik, ia juga bertugas memimpin seratus lebih anggota yang kesemuanya berstatus teman sekolah, dalam rentang usia yang sama. Kondisi itu bisa menjadi tantangan: rasa sungkan menegur, menegakkan wibawa, tingkat toleransi terhadap kesalahan sesama teman, dan lain-lain. Biasanya Field Commander dipilih tim pelatih dari anggota marching band yang ada setelah beberapa waktu latihan lamanya. Dari proses latihan pelatih berkesempatan menilai siapa yang berpotensi menjadi Field Commander.
Kita cenderung tak menyadari kualitas anggota keluarga sendiri hingga orang lain menunjukkannya. Hal itu yang terjadi pada putri sulung. Ketika ia terpilih menjadi Field Commander marching band Tarakanita, saya terkesima. Ternyata ia memiliki kualitas seorang pemimpin: memiliki tingkat percaya diri yang baik; menyampaikan instruksi, tanda-tanda, dan umpan balik dengan efektif; mempunyai kemampuan memperhatikan detail semua unsur marching band; mampu mencari jalan keluar permasalahan penampilan seperti keadaan cuaca atau perubahan mendadak dari panitia pertunjukan karena sesuatu dan lain hal.
Dalam konteks marching band, putri sulung juga dianggap memiliki kecakapan dalam musik (musical proficiency). Saat pelatih membutuhkan contoh nada-nada tertentu dari alat musik, putri sulung bisa membunyikan nada yang benar walau permintaan dilakukan secara mendadak.
Hal yang tak kalah pentingnya, ia dianggap mempunyai kemampuan menguasai panggung (stage presence), serta mampu mengendalikan tekanan saat tampil. Field Commander berada di bagian paling depan, seluruh mata anggota marching band tertuju padanya untuk mendapatkan aba-aba atau instruksi. Keteguhan seorang Field Commander menguatkan rasa percaya diri anggota, membuat mereka bisa memainkan alat musik dan melakukan gerakan dengan benar.
Menjadi Keluarga
Kegiatan latihan dan berbagai penampilan KPT membuat anggotanya menjadi suatu kelompok “keluarga”. Selama tiga tahun mereka fokus latihan, menguatkan pertemanan, rasa kebersamaan dan saling menyayangi. Marching band tidak hanya jadi sekadar kegiatan ekstrakurikuler, wadah itu membuat anggotanya mendapatkan berbagai kemampuan baru yang pasti bermanfaat dalam kehidupan mereka selanjutnya:
- Kemampuan melakukan beberapa tugas secara bersamaan (multi task) – memainkan instrumen musik sambil menampilkan gerakan koreografi, sekaligus dituntut berhasil dalam tugas-tugas akademis sekolah.
- Kemampuan bertanggung jawab dan mandiri – tak ada alasan untuk melakukan kesalahan yang merugikan penampilan kelompok, dan merugikan diri sendiri dalam studi akademis.
- Belajar disiplin – jadwal latihan ketat, berbagai program penampilan yang diikuti, serta jadwal ulangan sekolah disiasati melalui kedisiplinan.
- Kemampuan kerja sama – tak ada individu atau unit alat musik tertentu yang menonjol sendiri; kelompok marching band menonjol karena kerja sama keseluruhan anggotanya melalui paduan musik dan gerak.
- Belajar tentang komitmen – kegiatan marching band memakan waktu dan tenaga untuk latihan dan penampilan. Dibutuhkan komitmen setiap anggotanya untuk menghasilkan penampilan terbaik mereka.
- Belajar tentang manajemen waktu – anggota KPT dilatih untuk membagi waktu sedemikian rupa, memenuhi jadwal latihan yang ketat tapi tetap mampu menyelesaikan tugas akademis.
- Belajar menerima kekalahan – ada pemenang dan ada yang kalah dalam perlombaan. Walau sudah berlatih keras, selalu ada kemungkinan kalah dalam perlombaan. Melalui perlombaan marching band, anggota KPT dilatih untuk merayakan kemenangan, pada saat yang sama dilatih untuk menerima kekalahan dari kelompok yang tampil lebih baik.
- Belajar tentang kepemimpinan, baik sebagai Field Commander, atau kepala unit alat musik, atau sebagai diri sendiri. Memimpin diri sendiri membawa seseorang bertanggung jawab. Tanggung jawab yang disadari seseorang membawanya untuk bertindak. Tindakan itu akan membawa hasil.