Adriani Sukmoro

Mendaki

Dalam beberapa kesempatan berbeda, saya terlibat dalam pendakian gunung dan tempat ketinggian, walau sebenarnya saya bukan pendaki gunung. Ternyata banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman mendaki. Salah satunya seperti apa yang dikatakan penulis Barry Finlay, setiap gunung tinggi ada dalam jangkauan kita jika kita terus melangkah dan mendaki.

Bromo

Di tahun pertama kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, seluruh mahasiswa angkatan saya ditugaskan melakukan observasi di desa suku Tengger yang berlokasi di seputar Gunung Bromo, Jawa Timur. Suku Tengger yang memeluk agama Hindu menjadi obyek penelitian. Mahasiswa bertugas mengobservasi sistem kekerabatan dan sistem keluarga melalui perilaku warga desa. Tugas ini bagian dari mata kuliah Sosiologi

Selesai mengerjakan tugas tersebut, mahasiswa tak melewatkan kesempatan mendaki Gunung Bromo, untuk melihat matahari terbit dari puncaknya. Pengalaman mendaki gunung itu menjadi pengalaman pertama saya. Gunung Bromo gunung api aktif, pernah meletus beberapa kali di masa lampau. Letusan terbesar terjadi tahun 1974.

Subuh pukul 03.00 pagi rombongan mahasiswa yang menginap di penginapan dekat Gunung Bromo dibangunkan. Lalu rombongan berangkat beramai-ramai, berjalan kaki menelusuri padang pasir. Baju yang dikenakan lengkap dengan jaket dan topi kupluk penahan dingin. Cukup lama berjalan di padang pasir menuju kaki Gunung Bromo. Saat angin bertiup agak kencang, angin membawa butiran pasir yang seolah sedang berbisik. Rombongan yang semula berjalan beramai-ramai, mulai terpecah ke dalam beberapa kelompok, seiring tempo langkah yang berbeda. Tapi tak ada yang berjalan sendirian, karena setiap mahasiswa membutuhkan orang lain untuk berjalan dalam gelap di padang pasir. Jangan sampai kesasar…

Rombongan tiba di kaki Gunung Bromo sebelum matahari terbit, lalu menapaki 250 anak tangga untuk sampai ke puncak. Setiap beberapa langkah perlu berhenti untuk menarik napas sejenak, sambil menikmati pemandangan dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas. Lelahnya berjalan di padang pasir dan menapaki beratus anak tangga segera sirna begitu kaki mencapai puncak Gunung Bromo. Tak rugi bangun pagi. Semua mahasiswa menyambut pagi dan merekam peristiwa dengan kameranya.

Saya berkesempatan mendaki Gunung Bromo lagi saat bekerja di Citibank. Bank itu mengadakan kegiatan Staff Outing dengan pendakian Gunung Bromo. Jika dulu semua rombongan mahasiswa mampu melakukan perjalanan padang pasir yang panjang, seorang rekan kerja Citibank merasa sesak napas, tak sanggup berjalan. Ia terpaksa menaiki kuda, tak melanjutkan perjalanan, pulang kembali ke tempat penginapan. Ternyata beliau perokok berat yang jarang berolahraga. Walau usianya masih di bawah 40 tahun, tubuhnya tak sanggup menerima tantangan berjalan jauh.

Anak Krakatau

Saat berlibur berlibur di Tanjung Lesung di ujung paling barat Pulau Jawa, seorang penyewa speedboat mendekati dan menawarkan trip mendaki ke Gunung Anak Krakatau. Walau bukan pendaki gunung, tawaran itu cukup menarik perhatian. Mengapa tidak? Letusan Gunung Krakatau yang maha dahsyat menjadikannya sangat terkenal. Gunung itu meletus selama dua hari berturut-turut, 26-27 Agustus 1883. Letusannya mengeluarkan jutaan ton batu, debu dan magma; disusul gelombang besar tsunami yang mencampakkan magma dan batu panas hingga ke pesisir Lampung dan Banten.

Letusan vulkanik Gunung Krakatau menyisakan tiga pulau kecil: Rakata, Sertung, dan Panjang. Empat puluh tahun kemudian muncul gunung api di antara ketiga pulau itu, yang diduga berasal dari kaldera yang masih aktif di bawah laut. Gunung itulah yang disebut Anak Krakatau.

Biaya trip dengan speedboat itu mahal, membuat tawaran penyewa speedboat tak diterima. Ternyata ada keluarga dari Singapura yang terdiri dari bapak, ibu, dan tiga orang anak perempuannya yang masih di usia Sekolah Dasar, tertarik mendaki Anak Krakatau. Penyewa speedboat memberi ide, keluarga Singapura itu bisa berbagi biaya dengan saya dan suami agar biaya yang ditanggung per orang lebih ringan. Kesepakatan pun dicapai, total enam orang penumpang menyewa speedboat menuju Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.

Perjalanan dengan speedboat membelah Selat Sunda agak mengintimidasi. Warna laut yang dalam membuat rasa was-was, bagaimana jika speedboat mogok atau terbalik digempur ombak yang lumayan besar. Kekhawatiran segera sirna setelah speedboat mencapai Pulau Rakata. Dari sini lah perjalanan mendaki Gunung Anak Krakatau dimulai. Perlu stamina tubuh karena bukit yang didaki tandus, berpasir dan berbatu, udara cukup panas, serta kecuraman gunung yang cukup miring. Langkah perlu diatur guna menarik napas. Saat jeda langkah, mata bisa menikmati pemandangan di sekeliling. Sangat indah, pemandangan laut nan biru, dipadu dengan langit biru yang cerah, dan pasir pantai berwarna hitam.

Walau berhasil mencapai puncak batas pendaki diijinkan mendaki, terlihat seorang pria berumur empat puluh tahunan berbicara ketus dan mengomel pada istrinya. Pria itu duduk kepayahan, berat badannya memang agak berlebih. Pemandangan indah dari atas Gunung Anak Krakatau belum berhasil menarik perhatiannya. Mendaki Anak Krakatau dengan beberapa tantangan sepertinya kurang dinikmati pria itu.

Sinai

Mendaki Gunung Sinai di Mesir menjadi bagian tur Holyland. Peserta tur yang muda langsung mendaftar ikut pendakian, sementara hanya beberapa orangtua, termasuk saya, yang ikut serta. Perjalanan harus dimulai dini hari, bukan untuk melihat terbitnya matahari di puncak gunung, tapi lebih karena menghindari cuaca terik saat cahaya matahari muncul.

Pendaki menaiki unta dari tempat awal mendaki hingga titik tertentu. Penuntun unta mengikuti sambil menuntun untanya. Tak ada lampu penerangan, penglihatan hanya dituntun cahaya bulan di malam hari. Cukup deg-degan saat melihat ke sebelah kiri, jurang yang dalam menganga sementara jalan menuju puncak tidak lebar, hanya bisa memuat langkah unta dan penuntunnya.

Unta tak dapat naik setelah titik tertentu. Pendaki harus berjalan kaki. Cukup jauh jaraknya, semua berjalan hati-hati karena tak ada penerangan lampu. Jalanan dibangun dari batu-batu besar sedemikian rupa, seperti tangga batu menuju atas. Ada jarak antar batu yang membuat pendaki harus mengeluarkan energi melangkah ke atas, menggapai batu berikutnya.

Pendaki tak lupa menikmati pemandangan remang-remang, terlihat gunung penuh bebatuan. Di satu titik rombongan sempat mengabadikan situasi menjelang puncak Gunung Sinai, menjadi dokumen penting yang mengingatkan gunung itu sebagai bagian hidup pengunjungnya.

Gunung Sinai mengakomodir mereka-mereka yang ingin mengucap syukur di puncaknya. Kaum nasrani dapat bersembahyang di sini, kaum muslim juga dapat menemukan sajadah untuk bersembahyang di sini. Mencapai puncak Gunung Sinai menjadi kenangan tersendiri, gunung itu menyimpan cerita sejarah religius.

Ijen

Silaturahmi alumni SMA diperkuat dengan mengadakan perjalanan bersama setiap tahun. Destinasi perjalanan yang dipilih selalu menarik minat anggota alumni. Seperti ketika Gunung Ijen dipilih, sekitar tiga puluh orang alumni mendaftar ikut serta. Gunung Ijen memang terkenal dengan kawahnya yang memiliki api biru (blue fire). Api biru berasal dari cairan belerang, yang kemudian mengering dan menjadi bahan tambang. Gunung Ijen gunung api yang masih aktif, sudah pernah meletus empat kali dalam sejarahnya, masing-masing di tahun 1796, 1817, 1913, 1936.

Perjalanan alumni dimulai dengan penerbangan ke Banyuwangi, kota di ujung Timur Pulau Jawa. Alumni rela bangun tengah malam, sudah harus berada di Pos Paltuding pukul 01.00 dini hari. Api biru hanya bisa dilihat dalam gelap, biasanya muncul sekitar pukul 02.00-03.00 dini hari. Perlu izin dari pengawas gunung untuk bisa naik ke atas Gunung Ijen. Gas beracun CO2 dari kawah gunung bisa mematikan jika dihirup pengunjung, karena itu pengawas perlu memastikan ketiadaan ancaman gas beracun.

Tanjakan menuju Puncak Ijen ternyata cukup berat. Walau jarak yang ditempuh dari Pos Paltuding ke puncak hanya sekitar 3.8 km dan jalannya cukup lebar, tapi kemiringan jalannya 45 derajat, sungguh melelahkan! Saya hanya sanggup berjalan kaki sampai titik tertentu, dan menyerah dengan menyewa ojek gerobak, seperti banyak pengunjung lainnya yang melakukan hal sama. Penumpang naik ke dalam gerobak, tukang ojek mendorong gerobak hingga ke puncak Gunung Ijen. Dua orang tukang ojek bekerja sama, satu orang menarik dari depan, satu orang lagi mendorong dari belakang. Sungguh luar biasa tenaga mereka! Bahkan dibutuhkan tiga sampai empat orang untuk menarik gerobak dengan penumpang yang berat badannya berlebih.

Memakan waktu beberapa jam lamanya duduk dalam gerobak kayu yang tidak nyaman itu. Akhirnya tiba juga di puncak Gunung Ijen, terbayar semua keletihan pendakian. Walau belum beruntung melihat api biru karena kabut yang menutup, namun keberadaan di puncak Gunung Ijen menjadi bagian hidup yang tak terlupakan.

Kelimutu

Setelah terkungkung dua tahun lebih selama pandemi Covid-19, langsung saja keputusan berlibur diambil setelah aturan bepergian diperlonggar dan tempat-tempat wisata dibuka kembali. Pulau Flores di Nusa Tengara Timur (NTT) dipilih menjadi destinasi liburan keluarga. Kegiatan mendaki Gunung Kelimutu yang terdapat di Pulau Flores masuk dalam itinerary perjalanan liburan.

Tak perlu bangun terlalu pagi untuk melihat terbitnya matahari di puncak Gunung Kelimutu. Jarak tempuh dari bawah hingga ke puncak gunung hanya sekitar 600 meter. Disamping itu jalan menuju puncak cukup nyaman. Bisa berangkat pukul 04.00 pagi dari penginapan di Moni, desa di bawah Gunung Kelimutu.

Pendakian Gunung Kelimutu tidak berat jika dibandingkan pendakian Gunung Ijen. Dari puncak Gunung Kelimutu, gunung api yang aktif, pengunjung dihadapkan pada keindahan alam yang luar biasa. Tiga danau di kawah gunung dengan tiga warna berbeda terpampang jelas. Warna danau itu berubah-ubah seiring perjalanan waktu. Perubahan warna dimulai sejak letusan Gunung Kelimutu tahun 1886. Danau itu pernah berwarna merah, biru, dan putih. Namun saat saya di sana, danau berwarna hijau tosca, biru dan hitam. Danau berwarna hijau tosca dan biru berdampingan letaknya, sementara danau berwarna hitam agak terpisah.

Hutan dan pohon-pohon, serta burung dan binatang lainnya yang hidup di area Gunung Kelimutu membuat pemerintah menetapkan kawasan itu sebagai Taman Nasional Kelimutu guna menjamin kelestariannya. Sungguh bahagia pernah merasakan berada di puncak Gunung Kelimutu dan melihat danau tiga warna dari dekat, bukan hanya dari pelajaran di sekolah dulu.

Wae Rebo

Wae Rebo bukan gunung. Wae Rebo adalah desa adat di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores. Lokasinya berada di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, menjadikannya desa tertinggi di luar Pulau Jawa. Letaknya yang terpencil membuat penduduk desa Wae Rebo menyatu dengan alam. Hawa dingin membuat desa adat ini nyaman dikunjungi.

Wae Rebo menjadi semakin dikenal di zaman teknologi maju, informasi akan keunikannya tersebar luas. Desain arsitektur rumah adat Wae Rebo memiliki daya tarik tinggi. Rumah adat itu berbentuk lumbung kerucut, atapnya terbuat dari daun lontar. Warga desa ini mengatakan leluhurnya berasal dari Minangkabau, dan bentuk rumah adat mereka mengadopsi rumah gadang di tanah Minang.

Desa adat Wae Rebo mendapat penghargaan Unesco Asia Pacific Awards for Culrural Heritage Conservation tahun 2012. Dan di tahun 2021 lalu, Wae Rebo meraih juara I Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) untuk kategori Daya Tarik Wisata. Karena itu Wae Rebo masuk dalam itinerary perjalanan saat berlibur ke Pulau Flores, NTT.

Perlu perjuangan untuk mencapai desa adat Wae Rebo. Perjalanan dimulai dari Dintor, menggunakan mobil melalui jalan yang tak terurus. Di satu titik perjalanan harus dilanjutkan dengan ojek motor. Lalu perjalanan mendaki pun dimulai. Pengunjung harus berjalan kaki, mendaki sepanjang 4.8 kilometer untuk mencapai Wae Rebo. Secara umum pengunjung mendaki selama tiga jam, tapi bisa menghabiskan empat jam bagi mereka yang bermasalah dengan keluwesan kaki. Yang penting bukan lama waktu tempuh, tapi keberhasilan mencapai adat desa Wae Rebo. Keunikan rumah adat, keindahan pemandangan dari ketinggian, tata cara kehidupan warga desa adat, dan suara anak-anak bermain di lapangan luas, segera menghilangkan rasa penat dan tegangnya kaki berjalan mendaki beberapa jam.

Belajar Dari Mendaki

  • Mendaki terasa berat jika pikiran terpusat pada beratnya mendaki, jauhnya jarak yang ditempuh. Seperti dalam hidup, jika pikiran terperangkap dalam ketakutan akan tantangan atau masalah yang dihadapi, tantangan menjadi beban berat, dan bisa membuat manusia menyerah.
  • Selama kaki tetap melangkah, pendakian akan mencapai tujuan. Selama tantangan hidup dijalani, tantangan itu akan berlalu. Saat sudah berada di puncak/tujuan, mungkin kita terhenyak akan kemampuan diri yang ternyata bisa melalui tantangan itu.
  • Ambil waktu untuk menikmati pemandangan yang ada, beri kesempatan jeda pada kaki dan mengatur napas dalam mendaki. Nikmati pemandangan saat jeda, pemandangan sepanjang pendakian memberi kesadaran akan indahnya alam semesta. Dalam perjalanan hidup, perlu untuk mengambil waktu melihat pencapaian diri, mensyukuri kesempatan dan kemampuan yang diberikan.
  • Di saat lelah berjalan mendaki, tubuh penuh keringat, udara panas dan merasa tidak nyaman, seseorang bisa saja menjadi kurang bisa mengontrol emosi. Lalu mengarahkan kekesalannya pada orang lain di sekitarnya. Keadaan yang sama bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penting untuk mengontrol emosi, mengarahkan pikiran pada keuntungan memiliki orang-orang di sekitar. Orang-orang di sekitar mungkin bisa berperan membantu dan mendorong dalam perjalanan hidup.
  • Di puncak gunung dan tempat tinggi, biasanya sinyal telepon tidak ada. Keadaan ini sebenarnya membantu manusia lebih memperhatian dan menghargai alam sepenuhnya, berkomunikasi dengan penduduk setempat, menikmati menit demi menit tanpa gangguan alat elektronik. Dalam kehidupan, pekerjaan bisa begitu mengikat manusia, hingga melupakan keluarga, atau melupakan diri sendiri. Perlu untuk mengambil waktu lepas dari pekerjaan rutin, sediakan waktu untuk keluarga dan diri sendiri.
  • Kebiasaan berjalan kaki atau olahraga membantu kegiatan mendaki. Stamina tubuh lebih terlatih. Perlu mempersiapkan diri sebelum mendaki, termasuk menyiapkan minuman dan makanan ringan yang membantu saat tubuh membutuhkan asupan makanan di tengah mendaki. Dalam kehidupan diperlukan perencanaan, kegiatan yang terencana biasanya membuahkan hasil sesuai harapan.
  • Sesampai di puncak gunung atau tempat ketinggian, panorama indah membuat lelah dan penat sirna. Rasa syukur menguasai pikiran dan hati, bersyukur bisa mendapat pengalaman berharga itu. Dalam kehidupan manusia, kerja keras akan membuahkan hasil. Skala keberhasilan berbeda-beda, tapi kerja keras akan terbayarkan.
  • Saat mendaki gunung dan menikmati keindahan alam semesta, kita menyadari dunia luas, manusia adalah mahluk kecil yang berada di alam semesta. Dalam kehidupan manusia tidak boleh lupa akan kekuatan alam dan hal-hal yang lebih besar dari dirinya. Hal ini akan membantu manusia menghargai kehidupan dan kesempatan yang dimilikinya.
  • Mendaki gunung dan tempat di ketinggian mengenalkan berbagai tempat dengan sejarah dan keunikannya. Tempat-tempat itu menjadi bagian dari diri, pernah berkunjung dan mendapatkan pengalaman di sana. Dalam perjalanan hidup manusia melintasi berbagai peristiwa dan situasi, kesemuanya menjadi bagian dari hidupnya yang tak terhapuskan.