Selalu ada dorongan yang membuat seseorang menulis. Buku fiksi pertama saya, kumpulan cerita pendek Riverdance, ditulis ketika terdorong membantu pendanaan marching band SMA Tarakanita 1 yang akan mengikuti Grand Prix Marching Band. Buku kedua saya, Mardi Gras, ditulis ketika ingin berbagi pengalaman hidup di negeri nan jauh, Amerika Serikat. Kedua buku itu ditulis dalam kurun waktu berdekatan, tahun 2009 dan 2011.
Produktif di Masa Covid-19?
Ternyata saya membutuhkan lebih dari sepuluh tahun kemudian untuk menerbitkan buku fiksi ketiga. Kesibukan bekerja di perusahaan tak memungkinkan untuk melahirkan karya fiksi maupun non-fiksi, kreativitas menulis seperti terpendam bersama tumpukan pekerjaan kantor yang bisa menyita dua belas jam setiap hari. Menulis fiksi memang membutuhkan konsentrasi, pikiran dan hati perlu berada bersama karakter-karakter yang dibangun dalam cerita. Ada yang mengatakan konsentrasi itu mood atau suasana hati saat menulis. Tulisan tak bisa dihentikan ketika mood menulis sedang berjalan. Sebaliknya mood tidak muncul jika hari dimulai dengan tugas-tugas yang harus diselesaikan di kantor.
Virus Corona yang mewabah membuat keterbatasan ruang gerak bagi siapa saja. Sungguh menyusahkan, terutama di tahun pertama wabah ini menjadi pandemi Covid-19 yang berbahaya. Wabah virus Corona tak kunjung sirna. Manusia pun menyesuaikan diri dengan kondisi, dan menjadi terbiasa. Lamanya proses pemulihan Covid-19 dan ruang gerak yang terbatas membangkitkan keinginan untuk menulis lagi.
Keinginan itu dipicu saat menata file yang tersimpan dalam komputer. Beberapa di antaranya perlu dihapus karena sudah tak diperlukan dan bisa mengurangi beban penyimpanan data. Sebuah gambar burung merak ada dalam file. Gambar itu cukup menarik, alangkah bagusnya jika dijadikan cover buku. Mulailah pikiran melayang, meraba apa yang bisa ditulis dengan ilustrasi burung merak.
Secara perlahan cerita pendek Burung Merak pun diselesaikan, menyuguhkan sosok Prita yang cantik, yang berada di antara dua karakter berbeda, abang beradik Dirga dan Awang. Cerita pendek lainnya pun mulai terangkai. Bayu terpaksa mengambil alih tugas ayahnya ketika situasi tak diharapkan terjadi, Reno akhirnya berhasil diterima bekerja di perusahaan besar setelah berkali-kali gagal mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, seorang putri bungsu menikah dengan pemuda pilihannya yang mengakibatkan nama keluarga tercoreng, pertemanan di kantor yang berhasil mengungkap kasus, dan Nina yang terombang-ambing pada masa lalu dan masa kini.
Ide menulis pun meluas ketika hujan deras mengguyur di luar rumah di suatu malam, hujan deras Jakarta yang selalu berisi ancaman banjir. Lahirlah cerita pendek tentang kejadian di suatu hari sial dalam kehidupan Rio. Mobilnya diserempet, buang waktu setengah hari mengikuti seminar yang kurang bermutu, harus membuat laporan di kantor sampai malam hari karena rekan kerja absen, hingga akhirnya terjebak dalam banjir Jakarta.
Lalu bagaimana menutup buku itu? Cerita apa yang perlu ditulis lagi? Jalan-jalan ke Alaska, tempat yang jauh, menarik untuk diceritakan. Muncullah Nina, teman kuliah, yang menikah dengan Smith dan tinggal di Skagway, Alaska.
Buku Burung Merak menjadi hasil karya selama penantian pemulihan virus Corona. Karya tulis dalam buku itu menjadi bagian usaha untuk tetap produktif di masa pembatasan sosialisasi manusia. Buku itu menjadi karya fiksi ketiga saya yang diterbitkan.
Penulis dan Pembaca
Di satu kesempatan, saya bertemu degan Henny Kartanata, seorang teman dari negeri Paman Sam yang sedang berlibur di Jakarta. Saya menghadiahkan buku Burung Merak saat berpisah, sekadar kenang-kenangan. Henny berkata, “Terima kasih untuk bukunya. Nanti saya baca di pesawat saat pulang ke Amrik.”
Beberapa hari kemudian ada pesan masuk dari Henny di jaringan pribadi WhatsApp. “Hari ini ada waktu senggang, jadi saya sempatkan baca buku karyamu. Wah, sangat menyenangkan. Nggak terasa sampai habis satu buku! Jangan bosan menulis. Terima kasih ya.”
Seorang penulis menerbitkan bukunya untuk berbagi. Seorang penulis pasti berharap bukunya dibaca. Henny tak mengulas isi buku Burung Merak, tapi kenyataan bahwa Henny menghabiskan seluruh isi buku itu dalam satu hari menjadi pendorong kuat bagi penulis. Kesan yang tersirat dari pesan Henny, buku Burung Merak tak membosankan.
Effendi Ibnoe, kakak kelas saat kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, juga membaca buku Burung Merak. Di Sabtu siang lalu, beliau mengirim pesan di grup WhatsApp, “Adriani!!! Aku baru selesai baca cerita pertama… berkaca-kaca… Novel yang berdasarkan kejadian sebenarnya… somewhere, sometime, someone…”
Effendi mengomentari satu dari sekumpulan cerita dalam buku Burung Merak, tanggapannya yang dikirim spontan menjadi pendorong bagi penulis. Karakter yang dibangun dan emosi yang dikembangkan dalam cerita itu berhasil menghubungkan pembaca dengan cerita yang dikisahkan.
Josef Bataona, seorang kolega yang sudah dikenal luas di kalangan profesional sumber daya manusia, turut membaca buku Burung Merak. Beliau mengulas Seperti Ayah, cerita pertama dalam buku itu: “Membaca awal kisah berjudul Seperti Ayah, saya membayangkan keluarga bahagia dengan peran seorang ayah sebagai role model, dibanggakan oleh keluarga. Di titik ini, saya membayangkan sebuah happy ending. Saat selingan dengan kehadiran Intan yang ditaksir Bayu, kita dibawa ke alur pemikiran tentang kemungkinan happy ending dengan kisah Bayu dan Intan. Dan sebuah kejutan mendadak dimunculkan, yang mementahkan sama sekali dugaan di awal tentang alur ceritanya. Kekuatan cerita ini terletak pada alur yang tidak terduga. Namun dalam situasi sulit di akhir cerita, dimunculkan pembelajaran, tanpa mengajari: anak tertua harus berani mengambil peran menggantikan ayahnya, saat dia tidak ada. Dan tidak kalah pentingnya adalah kehadiran keluarga besar di saat sulit.”
Penulis dan pembaca memang saling membutuhkan. Ketika pembaca meluangkan waktu mengulas hasil karya tulis seperti di atas, penulis belajar dari pembacanya. Pembaca sendiri bisa menarik pembelajaran dari kisah yang diceritakan, dari buku yang dibaca.
Jessie Winterspring, penulis time-travel dari Filipina, mendorong penulis untuk tak terlalu memikirkan apa yang ingin dibaca orang. “Kesalahan terbesar seorang penulis saat menulis adalah ketika ia bertanya-tanya, apa yang ingin didengar pembacanya? Karena karakter dan dunia yang unik itu dibangun dalam pikiran seorang penulis. Lagipula pembaca tak akan tahu apa yang ingin mereka baca sampai mereka akhirnya membaca bukumu.”
Buku Burung Merak sudah hadir di toko buku Gramedia. Buku itu ditulis tanpa dibayangi kekhawatiran cerita seperti apa yang ingin didengar pembaca. Karena cerita-cerita dalam buku Burung Merak tumbuh dan berkembang bersama karakter yang dibangun. Karena cerita-cerita dalam buku Burung Merak bagian dari kisah hidup manusia sehari-hari. Selamat membaca!