Kota New Orleans di bagian Selatan negara Amerika Serikat menempati ruang tersendiri di hati dan pikiran. Tak pernah terpikirkan di tahun 1987 ada kesempatan bepergian ke luar negeri. Apalagi kesempatan untuk tinggal di negeri Paman Sam. Kesempatan bepergian ke luar negeri dan bermukim di benua lain muncul ketika teman yang menjadi pasangan hidup mendapat penugasan bekerja di Louisiana Power & Light di kota New Orleans. Kesempatan yang masih langka saat itu, terbang dengan pesawat mahal, belum zamannya kemudahan teknologi dan persaingan bisnis menghadirkan maskapai penerbangan bertarif rendah (low-cost carrier).
Setiap Detik Bermakna
Pengalaman hidup di negeri Paman Sam membuka wawasan dan memberi banyak pembelajaran. Belajar tentang berpikir secara terbuka, cara pandang yang mempertimbangkan sebab akibat serta tindakan dan dampak, menghargai dan melestarikan alam dan lingkungan, memanfaatkan kesempatan lebar termasuk fasilitas gratis untuk proses belajar dan pengembangan manusia, serta banyak hal lain yang saat itu belum ditemukan di tanah air.
Beberapa keluarga Indonesia tinggal sementara di New Orleans. Mayoritas dikirim belajar program S2 oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Ada yang kuliah di Tulane University, ada yang memilih University of New Orleans. Sebagian kecil lainnya dikirim bertugas oleh perusahaannya selama beberapa tahun di kota itu. Kumpul keluarga Indonesia menjadi kerap dilakukan, kebersamaan di negeri orang merekatkan hubungan silaturahmi. Upacara kemerdekaan 17 Agustus yang menjadi kegiatan rutin tahunan di tanah air, dirasakan berbeda ketika peringatan hari kemerdekaan itu dilakukan warga Indonesia di tepi Danau Ponchartrain, bagian Utara New Orleans. Penghormatan pada sang saka merah putih yang dikibarkan menjadi sangat khidmat.
Walau hanya berstatus istri pendamping, saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan menjelajahi sudut kota New Orleans, bahkan hingga ke Houston, New York, Washington DC, Chicago, hingga menyeberang ke provinsi Ontario di Kanada. Setiap detik menjadi bermakna, karena saya tahu pengalaman hidup di negeri Paman Sam ini hanya sementara. Setiap detik dimanfaatkan, karena mungkin tak pernah bisa kembali ke negeri jauh itu.
Napak Tilas
Tahun 2010 saya beruntung berkesempatan mengunjungi San Fransisco untuk suatu keperluan. Menginjak tanah negeri Paman Sam membuat pikiran melayang ke kota New Orleans. Sudah dua puluh tiga tahun berlalu ketika terbersit rasa sedih harus meninggalkan kota itu, kembali ke tanah air karena masa dinas suami telah berakhir. Saya ingin mengunjungi New Orleans lagi. Dorongan kuat membuat saya memutuskan melakukan napak tilas mumpung sedang berkunjung ke Amerika Serikat.
Dengan pesawat Delta Airlines saya terbang dari bandara San Fransiscoa International Airport ke New Orleans tanggal 18 Agustus 2010. Penerbangan selama kurang lebih lima jam mendaratkan pesawat di Louis Armstrong New Orleans International Airport di malam hari. Kulit langsung merasakan perubahan suhu udara yang mencolok, dari San Fransisco yang berangin sejuk ke kelembaban tinggi udara New Orleans.
Saya mengunjungi sudut-sudut yang dulu menjadi bagian hidup saat bermukim di New Orleans. Pusat kota dipertahankan seperti dua puluh tiga tahun lalu, walau ada gedung baru yang megah bernama Harrah, tempat kasino sekaligus hotel. Letaknya strategis, di tepi Sungai Mississippi. Beberapa saat lamanya saya duduk di pinggir Sungai Mississippi, memandangi Greater New Orleans Bridge, jembatan yang menghubungkan Westbank, bagian barat sungai, dengan pusat kota (downtown). Jembatan ini sekarang berganti nama menjadi The Crescent City Connection Bridge.
Tujuan pertama perjalanan napak tilas itu adalah mengunjungi apartemen Maple Leaf, tempat saya tinggal dulu. Letaknya di Westbank, sebelah barat Sungai Mississippi. Saat duduk di dalam bus, mata menangkap gedung Our Lady of Holy Cross College dengan hamparan halaman rumput yang luas. Saya sadar bus telah sampai di jalan Woodland Drive.
Apartemen Maple Leaf berada di jalan yang sama, letaknya berseberangan dengan college itu. Walau sadar sudah berada di titik yang benar, terjadi kebingungan melihat tak ada wujud apartemen tempat bermukim dulu.
Membutuhkan beberapa menit untuk menyadari bahwa apartemen Maple Leaf sudah tak ada. Namanya berganti menjadi Audubon Pointe of Algiers. Dinding yang dulu dibiarkan hanya dibalut bata merah, sekarang diganti menjadi dinding berwarna kuning halus. Pemandangan dalam kompleks apartemen juga sudah berubah, penghuni yang berkeliaran semua kulit hitam. Saat saya menjadi penghuni di situ, apartemen dihuni warga kulit putih kelas menengah, hampir tak ada warga kulit berwarna.
Waktu yang lama memang membawa perubahan. Apalagi New Orleans mengalami musibah besar tahun 2005. Peringatan akan datangnya badai Katrina disiarkan kepada warga New Orleans beberapa hari sebelum mala petaka terjadi. Namun banyak warga memutuskan tetap tinggal di kotanya dan berjaga-jaga saja dalam rumah.
Hari Sabtu 27 Agustus 2005 badan yang mengurus keadaan darurat mengumumkan lagi kemungkinan datangnya badai Katrina kategori 5 yang sangat berbahaya. Gedung olahraga Superdome yang besar dibuka untuk tempat berlindung bagi warga yang tak sempat mengungsi ke luar kota. Apa yang ditakutkan menjadi kenyataan di hari Minggu 28 Agustus 2005. Badai Katrina menghantam tanggul Sungai Mississippi, menyebabkan tekanan air yang sangat tinggi pada tembok penahan banjir, mengakibatkan beberapa bagian tembok runtuh. Air pun membludak membanjiri kota New Orleans, volumenya sangat dahsyat, menjadi bencana alam terburuk dalam sejarah Amerika.
Kekacauan terjadi, sebagian karena ketidaksiapan tim penyelamat, sebagian lagi karena warga memilih bertahan di dalam kota walau pengumuman badai mengancam telah dikeluarkan. Beribu warga terjebak di dalam Superdome hingga seminggu lamanya, tanpa makanan, minuman, penerangan lampu, dan nihil bantuan.
Sekilas terlihat seolah-olah New Orleans tak lepas dirundung masalah. Setelah badai Katrina, terjadi pencemaran minyak di bulan April 2010, yang membuat warga dilarang memakan ikan dari laut hingga waktu yang ditentukan kemudian. Kebocoran terjadi akibat ledakan saat pemboran minyak yang dilakukan British Petroleum di Teluk Meksiko. Sebelas orang meninggal, beberapa orang terluka, habitat kelautan rusak berat. Dampak lebih jauh, turisme menurun di daerah sekitarnya, termasuk New Orleans.
Fleur de Lis
Di malam terakhir napak tilas di New Orleans, saya menelusuri jalan-jalan utama: Canal Street, St Charles Avenue, Poydras Street, Royal Street, Magazine Street, dan pastinya Bourbon Street yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Suasana ramai seperti dulu, tak ada sisa-sisa badai Katrina di area turisme itu.
Di bagian jalan lain saya menemukan arus rombongan orang yang mengenakan kaus berlambang Fleur de Lis, lambang tim The Saints, tim sepakbola ala Amerika yang dimiliki kota New Orleans. Hari itu ada pertandingan pemanasan sebelum musim kompetisi Super Bowl. Suara ramai fans mengelu-elukan tim The Saints memenuhi jalan raya. Di bulan Februari 2010, tahun saya melakukan napak tilas, tim The Saints mengukir sejarah, berhasil menjadi juara Super Bowl XLIV untuk pertama kalinya. Kemenangan mereka dijadikan kemenangan Amerika karena mewakili kebangkitan kota yang sempat hancur. Walikota New Orleans saat itu, Ray Nagin, menggambarkan kemenangan tim The Saints sebagai simbol spirit New Orleans yang tak pernah menyerah, tetap berkomitmen dan percaya.
Mardi Gras
Empat hari napak tilas berhasil melepas rindu dan keingintahuan. Perasaan yang sama, rasa sedih, muncul saat berada di bandara, menunggu pesawat yang akan membawa kembali ke San Fransisco. Di saat itulah saya memutuskan, harus menghidupkan kenangan dengan menuliskan kisah kehidupan di New Orleans, dan menerbitkannya dalam bentuk buku.
Tangan segera tergerak setelah tiba di tanah air, menulis bab demi bab. Tinggal memilih judul, proses yang penuh pertimbangan. Karnaval tahunan Mardi Gras terpilih menjadi judul. Mardi Gras memang ciri khas New Orleans. Di saat udara masih dingin di bulan Februari, di satu tanggal puncak perayaan masa puasa kristiani dan sebelum Rabu Abu, sehari penuh kota itu dipenuhi perayaan. Mulai dari karnaval di jalan-jalan utama dari pagi hingga siang hari, disambung program perayaan di berbagai tempat dengan beragam penyelenggara dari sore hingga malam hari.
Pengalaman menerbitkan buku Riverdance membuat rencana penerbitan buku Mardi Gras berjalan lancar. Buku Mardi Gras diterbitkan tahun 2011. Pembaca buku bisa menelusuri pojok-pojok New Orleans, mulai dari lingkungan perumahan yang dikelilingi warga kulit putih, kebiasaan yang menunjukkan peradaban tinggi, latar belakang perbudakan di masa jaya pertanian di Louisiana, streetcar yang membawa New Orleans ke Hollywood, Louis Armstrong yang membawa jazz ke skala internasional, Sungai Mississippi yang mengarungi sepuluh negara bagian, Voodoo Queen yang pernah berjaya di masanya, badai Katrina yang meluluhlantakkan New Orleans, hingga festival tahunan Mardi Gras yang meriah.
Gail Carson Levine, penulis buku terkenal Ella Enchanted, mengatakan, “If I couldn’t sleep, I could read.” Saya hanya ingin menambahkan, “Jika saya tak bisa tidur, saya diberi waktu untuk menulis.”