Sebelum era disrupsi teknologi, majalah Femina menjadi majalah andalan. Majalah ini memposisikan diri sebagai majalah wanita moderen Indonesia. Femina berhasil membangun segment tersendiri, menjadi majalah kesayangan wanita karier, pengusaha, maupun ibu rumah tangga yang berusia di antara 25-35 tahun. Menilik isinya, pembaca majalah ini umumnya berpendidikan sarjana dan berada pada status ekonomi sosial menengah ke atas. Motonya sangat mendukung, “Gaya Hidup Masa Kini”, menggambarkan pembacanya yang aktif bergerak dan suka membaca. Di antara beberapa majalah wanita yang ada pada waktu itu, saya memilih berlangganan Femina. Topik yang diangkat bersifat menambah wawasan dan pengetahuan, tidak mendramatisir kejadian yang menimpa seseorang.
Mengasah Imajinasi
Setiap tahun Femina menyelenggarakan Lomba Cerita Pendek dan Lomba Cerita Bersambung. Kegiatan positif yang mendorong pembacanya, terutama yang suka menulis, untuk mengasah kemampuan menulisnya. Tak main-main, nama-nama yang dipilih sebagai juri bukan sembarangan. Tokoh sastra seperti HB Jassin dan Sapardi Djoko Damono pernah menjadi anggota juri lomba menulis cerita Femina.
Saya mengalami tantangan di awal kehamilan anak pertama. Mabuk berat, tak berdaya di kantor, membuat saya harus berhenti bekerja dan istirahat di rumah. Saya mengisi waktu dengan membaca dan tiduran. Femina termasuk bacaan yang menemani. Di suatu saat, ketika membalik halaman majalah, saya menemukan pengumuman lomba menulis cerita pendek (cerpen) Femina. Kekosongan kegiatan membuat saya teringat masa SMA, masa di mana saya memenangkan lomba menulis cerita pendek di sekolah.
Ketertarikan muncul. Keinginan ikut lomba menulis cerpen bersemi. Dimulailah proses menulis perlahan-lahan. Cerita di kepala belum terangkai sepenuhnya, hanya tema cerita. Tantangannya, bagaimana memulai? Halaman pertama terasa berat, bayangan tentang apa reaksi pembaca jika ditulis begini atau begitu ada di kepala.
Jalan Mentok
Jalan di depan rumah kosong, tak ada lalu lintas. Maklum, rumah berada di paling ujung. Rumah tetangga lainnya ada di sebelah kanan, sementara di sisi sebelah kiri berdiri tembok tinggi yang tak terhubung dengan dunia sebelah, tanah penduduk lainnya. Jalan mentok, jalan berakhir di depan rumah saya.
Ternyata jalan kosong itu membantu pikiran menjadi fokus berimajinasi. Mulailah proses membangun tokoh cerita. Tokoh bos perempuan dihidupkan. Sosok Maria Diaz muncul, seorang bos berkebangsaan Filipina, yang bertahan menggunakan mesin ketik jika ingin menulis. Komputer di dalam ruang kerjanya yang lumayan besar lebih banyak menganggur. Seperti melawan kemajuan zaman, tak mau memanfaatkan teknologi. Ia memupuk karier dari pekerjaan sekretaris hingga menjabat posisi Direktur.
Sebagai pekerja asing (expatriate), posisi Maria Diaz sebagai Direktur tentu mendapatkan kesejahteraan pegawai yang lebih dari memadai. Apalagi posisi bos tersebut di perusahaan induk konglomerat, membawahi beberapa grup perusahaan multi-industri.
Cerita membutuhkan tokoh yang berwatak kurang patut ditiru, ada yang menyebutnya tokoh antagonis. Bos Filipina menjadi tokoh tersebut. Ia pemimpin temperamental, yang lancar berbahasa Inggris, suka mengkritik hal-hal kecil. Bos itu suka membandingkan kehebatan negerinya dengan negeri tempat ia mencari nafkah, Indonesia. Dan tantangan terberat yang dihadapi karyawannya, bos itu suka mengumpat sambil menyebut nenek moyang menurut teori Charles Darwin.
Sudut Pandang
Cerita memerlukan tokoh utama. Sudut pandang cerita dibangun dari tokoh utama itu. Pertanyaan siapa dan bagaimana karakter tokoh utama, menjadi penghambat lainnya untuk mulai menulis. Bahkan menemukan nama tokoh memakan waktu.
Dengan memaksakan diri, jari mulai mengetik di atas keyboard. Cerita dimulai dengan keberuntungan, tokoh utama beruntung mendapat kesempatan bekerja di perusahaan konglomerat. Maria Diaz yang memberikan surat penawaran kerja.
Begitu cerita dimulai, begitu halaman pertama berhasil diselesaikan, cerita di halaman-halaman selanjutnya mengalir. Siapa pun pasti tak suka mendengar orang asing mengkritik negerinya, apalagi mendengar kebiasaan membandingkan negeri asal dengan negeri tempat menumpang kerja. Bagian ini dibangun menjadi bagian puncak kemelut situasi kantor dalam cerita. Akhir cerita muncul dalam kepala seiring perjalanan halaman demi halaman. ‘Ponyeta’, kata dalam bahasa Filipina yang mengandung arti kurang baik jika diucapkan dalam konteks emosional, menjadi pemicu keputusan. Ada batas perlakuan atasan pada bawahan.
Dibutuhkan seminggu lamanya menyelesaikan cerita pendek, disambung dengan proses memeriksa dan memeriksa tulisan beberapa kali. Jumlah halaman tak melewati batas maksimum, jenis font dan spasi tulisan sudah sesuai. Tapi karya tulis itu belum memiliki judul. Sebaiknya cerita situasi kantor dengan bos temperamental dan anak buah yang tertekan itu diberi judul apa? Pilihan jatuh pada ‘Wanita Karier’, sesuai dengan target segment pembaca Femina.
Akhirnya tulisan siap dikirim, dikirim sebelum tenggat waktu yang ditetapkan Femina.
Seminggu Penuh Keingintahuan
Selalu ada waktu membaca Femina di akhir pekan. Kehadirannya yang seminggu sekali itu membuat Femina menjadi teman di akhir pekan. Dan di suatu akhir pekan keingintahuan meningkat. Di halaman belakang, tampil teaser tentang edisi Femina minggu berikutnya. Akan ada pengumuman pemenang lomba menulis cerita pendek. Walau tak berharap banyak, merasa diri bukan siapa-siapa, rasanya ingin tahu nama-nama pemenang lomba menulis itu.
Hingga tiba saatnya Femina edisi baru muncul di rumah. Berbeda dari biasanya, tak perlu menunggu akhir pekan untuk membaca Femina, saya langsung mencari halaman pengumuman. Mata membelalak. ‘Wanita Karier’ ada dalam daftar pemenang.
Pembaca Femina yang tak ikut lomba menulis mungkin mengabaikan halaman itu, tak tertarik mengetahui. Mungkin mereka tinggal membaca karya tulisan yang menang saja, yang segera ditampilkan di edisi Femina selanjutnya. Tapi bagi saya, yang belum pernah mengikuti lomba apa pun selain lomba menulis di sekolah, menjadi pemenang di lomba menulis Femina adalah terobosan baru. Femina majalah perempuan yang terpopuler saat itu. Banyak peserta yang tertarik ikut dalam segala lomba yang diadakan Femina.
Kekuatan Dari Menulis
Anne Frank, yang bernasib kurang beruntung, mengisi diary selama dalam persembunyian di loteng apartemen di belakang kantor perusahaan milik keluarga. Anne menulis, “I can shake off everything as I write; my sorrows disappear, my courage is reborn.” Betapa trenyuh memaknai tulisan Anne Frank. Sebagai orang Yahudi yang pindah dari Jerman ke Belanda karena terancam oleh pemerintahan Nazi, ternyata tak bisa menghindar saat Nazi menguasai Belanda. Anne Frank sadar kehidupan keluarganya terancam. Namun kekuatannya muncul saat ia menumpahkan segala perasaan dan pikirannya dalam tulisan selama terperangkap di loteng apartemen. Walau Anne Frank telah tiada di usianya yang belia, tulisannya tetap hidup hingga sekarang.
Menulis dapat menjadi penyeimbang pikiran manusia. Menulis memungkinkan penulisnya membuat apa saja dalam cerita. ‘Wanita Karier’ membuat saya percaya, menulis itu bagian dari hidup saya.