Adriani Sukmoro

Metaverse

Saat olahraga pagi di area Gelora Bung Karno (GBK), banner dan berbagai alat informasi G20 dipajang, mulai dari jalan masuk GBK hingga stadium utama. Bisa dipastikan, informasi itu untuk menyambut penyelenggaran G20 Leaders’ Summit yang akan diadakan 15-16 November tahun 2022 ini. Bersamaan dengan G20 tersebut, akan diadakan expo transformasi digital (Digital Transformation Expo), di mana teknologi metaverse akan digunakan.  Perkembangan digital di Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini akan dipaparkan, dengan tujuan menarik hati para investor untuk berinvestasi menimbang potensi digital yang ada di tanah air.

Meta Platforms Inc.

Khalayak umum tahu betapa Facebook menjadi sarana komunikasi maupun eksistensi khalayak umum. Laman Statista per November 2021 memberitakan, terdapat 2,8 miliar pengguna aktif bulanan Facebook di seluruh dunia. Indonesia termasuk negara ke tiga pengguna aplikasi Facebook terbanyak di dunia, sebanyak hampir 130 juta penduduknya memiliki akun media sosial ini.

Jadi ketika pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, mengumumkan perubahan nama Facebook Inc menjadi Meta Platforms Inc, berita itu segera menarik perhatian. Ada apa di balik perubahan ini? Mengapa Facebook mengembangkan dunia virtual melalui aplikasi metaverse, dan mengandalkan bisnis teknologi interaksi tiga dimensi yang lebih riil pada platform mereka?

Berita dan perbincangan tentang metaverse menjadi sering ditemui di berbagai media, sekaligus menjadi wadah pembelajaran tentang dunia maya atau dunia rekaan yang diciptakan dengan menghadirkan kehidupan lain yang dibuat “menyenangkan”.

Impian “Hidup Ideal”

Saat ini metaverse sedang mencari bentuk, banyak yang bertanya akan seperti apa nanti perkembangan metaverse itu. Sebagian besar orang yang mengikuti informasi tentang metaverse memberi tanggapan positif. Sebagian lagi memikirkan dampak yang tidak diharapkan dari dunia rekaan yang akan dialami pengguna akun.

Tentu sungguh menyenangkan jika seseorang dapat menjadi siapa pun, menjadi sosok orang yang diimpikannya. Apalagi mempunyai kesempatan untuk melakukan apa pun yang ia mau, jalan-jalan ke mana saja, bisa membeli tanah, mempunyai rumah, memakai berbagai barang bermerek mahal, menghadiri berbagai kegiatan yang ia mau, dan lain-lain. Dunia digital metaverse memungkinkan impian-impian di dunia nyata menjadi kenyataan dalam dunia rekaan. Semuanya menjadi bisa diatur persis seperti yang seseorang inginkan dalam kehidupan idealnya.

Pro dan Kontra Metaverse

Lumrah jika terjadi pro dan kontra dalam menghadapi hal-hal baru. Ketika konsep work from home didengungkan beberapa tahun lalu jauh sebelum pandemi Covid-19 muncul, banyak pimpinan yang melihat konsep itu tidak bisa diterapkan di perusahaannya. Terjadi pro dan kontra, jajaran pimpinan biasanya menjadi pihak yang kontra, sementara pegawai menjadi pihak yang pro work from home. Ketidaksiapan pegawai yang diberi keleluasaan bekerja di luar kantor, pengaturan kontrol yang sulit dilakukan, tingkat kepercayaan pada pegawai, infrastruktur yang kurang memadai, dan lain-lain, menjadi alasan untuk tidak menerapkan work from home. Baru ketika pandemi Covid-19 dengan dahsyatnya memaksa manusia tinggal di rumah, pekerjaan pun terpaksa dilakukan dari rumah, konsep work from home diterapkan tanpa kecuali.

Hal ini juga terjadi dalam menghadapi tibanya metaverse, ada pandangan yang terbagi dua: pro dan kontra. Berbagai pimpinan bisnis yang pro metaverse mengatakan bahwa metaverse akan menjadi masa depan internet, manusia semakin mudah terhubungkan satu sama lain walau terpisah secara fisik. Hal ini bisa mengubah hidup seseorang dalam melakukan sesuatu. Tidak terbatas hanya dalam waktu santai, tapi bisa juga berkaitan dengan pekerjaan, sosial, pendidikan, atau aspek lainnya.

Sementara mereka yang kontra dengan metaverse mengatakan bahwa media ini bisa membuat manusia semakin jauh dari kenyataan. Metaverse didesain secara esensial agar tubuh dan pikiran menyatu, yang bisa membuat orang sulit membedakan pengalaman virtual dan kenyataan. Metaverse bisa menjadi tempat pelarian, orang-orang berusaha mendapatkan hal-hal yang tak bisa diwujudkannya dalam kehidupan nyata melalui sarana ini. Dampak lebih jauh, orang tersebut menjadi nyaman hidup dalam metaverse, menghabiskan sebagian besar waktunya dalam sehari untuk melakukan kegiatan dalam metaverse. Produktivitas dalam dunia nyata bisa menurun drastis, mungkin saja orang tersebut akan kehilangan pekerjaan jika tidak fokus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya di tempat kerja.

Pandangan kontra seperti di atas mungkin dipicu oleh fenomena yang sudah terjadi sepuluh tahun terakhir. Ada pelajar yang terperangkap ketagihan bermain game sehingga lalai dalam belajar dan bolos sekolah demi bermain game di warnet. Ada pegawai kantor yang menggunakan waktu kantor bermain game tanpa mengenal batas sehingga kehilangan respek dari anggota timnya. Bahkan ada pegawai kantor yang terpaksa kehilangan pekerjaan karena tak bisa bangun pagi dan masuk kantor tepat waktu karena ketagihan bermain game hingga dini hari.

Sumber Daya Manusia

Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, berbagai perusahaan mengembangkan metaverse dan mencari tenaga kerja untuk mewujudkan rencana strategis perusahaan itu. Dicari tenaga kerja dengan kemampuan dan kecakapan digital, seperti yang dilakukan Facebook dalam merekrut 10.000 tenaga kerja baru di Eropa untuk mengembangkan dunia virtual berbasis teknologi metaverse. Kemampuan dan kecakapan digital yang dibutuhkan meliputi kemampuan mengoperasikan perangkat lunak, mengembangkan web/perangkat lunak/game, hingga membuat pemodelan data skala besar.

Mungkin banyak orang merasa tertinggal dibanding yang lain karena membaca atau mendengar kehebohan di mana-mana tentang teknologi metaverse. Apapun bentuk metaverse ini nantinya, perlu menyiapkan diri dan generasi muda untuk tetap bersosialisasi dalam dunia nyata, tidak hanya sosialisasi virtual. Segala wujud mimpi yang terealisasi dalam metaverse membutuhkan biaya, pada akhirnya berujung pada aspek komersial pelaku bisnis dan pengguna produknya. Akan menjadi tantangan besar jika kehidupan terkungkung dalam dunia virtual dan orang menjadi konsumen yang kecanduan. Dampak negatif kemajuan teknologi dikontrol oleh manusia itu sendiri, sejauh mana kematangannya memanfaatkan dan menyeimbangkan perubahan disrupsi metaverse.