Setiap orang mempunyai pengalaman menjadi seorang atasan untuk pertama kali. Perannya berubah. Dari seorang pelaku independen di dalam perusahaan, kini ia menjadi atasan yang mempunyai anak buah. Ia bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban unit atau sub unit yang dipimpinnya; pada saat bersamaan ia perlu mengoordinasi penyelesaian tugas bersama anak buah. Situasi itu bisa menimbulkan rasa cemas pada atasan baru. Terutama karena ada anggapan, bahwa seorang atasan mempunyai kemampuan lebih, sehingga bisa mengatasi semua tantangan yang dihadapi.
Membuktikan Diri
Ketika pertanyaan ‘apa yang paling dikhawatirkan saat menjabat di level Chief’ diajukan kepada seorang pemimpin suatu perusahaan yang baru pertama kali menjabat di level itu, beliau menjawab: tuntutan untuk membuktikan diri, bahwa ia memang pantas duduk di level Chief.
Apalagi ia berasal dari perusahaan berbeda. Anggota timnya belum pernah bekerja sama dengannya, ia dan anggota tim belum saling mengenal.
Pemimpin baru itu mengaku merasa diamati anggota tim, seolah dalam proses memutuskan apakah pemimpin baru mereka bisa memimpin atau tidak. Kredibilitasnya sebagai pemimpin baru masih dipertanyakan.
Ia pun menyadari, profile dirinya di platform LinkedIn mendapat banyak ‘kunjungan’. Profile-nya dibaca karyawan perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Ternyata bukan hanya anak buah yang ingin tahu tentang kredibilitas sang Chief baru, para kolega baru di perusahaan itu juga ingin tahu.
Chief baru itu merasa beban di pundaknya bertambah. Pada saat yang sama ia sadar, ia memiliki kesempatan untuk membuktikan diri melalui kepemimpinannya, kinerja, dan kerja sama dengan berbagai departemen.
Menjadi Atasan Rekan Kerja
Semuanya bermula ketika Chief Executive Officer (CEO) suatu perusahaan memutuskan untuk mencari penerus (successor) Chief Human Resources Officer (CHRO) yang pindah ke bagian lain di dalam organisasi (internal movement).
CEO fokus pada talenta yang ada di Departemen Sumber Daya Manusia (SDM): lima Kepala Unit yang menduduki posisi satu level di bawah CHRO. CEO itu percaya, kandidat dari dalam organisasi, khususnya dari Departemen SDM, tak memerlukan waktu lama untuk beradaptasi dibandingkan kandidat dari luar organisasi.
Dari kelima kandidat internal Departemen SDM, CEO memilih seorang di antaranya, yang dinilai sebagai talenta paling berpotensi, memiliki kinerja baik, dan diperkirakan akan mampu mengemban tugas sebagai Chief perusahaan.
Penunjukan CHRO terpilih itu membuat empat Kepala Unit SDM yang tidak terpilih, yang sebelumnya kolega di tingkat jabatan yang sama; kini menjadi anak buahnya. Mereka wajib melaporkan tugas dan tanggungjawab kepadanya sebagai CHRO baru.
Ketika pertanyaan yang sama, ‘apa yang paling dikhawatirkan saat menjabat di level Chief’ diajukan kepada CHRO baru tersebut, beliau menjawab: tantangan mendapatkan dukungan dari rekan kerja yang sekarang menjadi anak buah.
Ternyata penunjukannya sebagai CHRO baru menimbulkan reaksi berbeda dari masing-masing kolega yang kini menjadi anak buahnya. Tiga orang memberi dukungan agar CHRO baru berhasil dalam tugasnya. Sementara yang seorang lagi bersikap skeptis, kurang mendukung kolega yang sekarang menjadi atasannya. Ia cenderung berdiam diri dalam meeting departemen, kurang berkontribusi.
Untuk mengatasi hal tersebut, CHRO baru membicarakan situasi di atas bersama anak buah itu: mereka perlu bekerja sama dan saling mendukung demi kontribusi departemen pada kinerja perusahaan. CHRO baru itu juga mengeksplorasi usulan anak buah tentang bagaimana mewujudkan kerja sama di antara mereka.
Pembicaraan sedemikian merupakan tindakan positif, CHRO baru tak menghindari tantangan yang dihadapi.
Proses penerimaan atasan baru yang dulu rekan kerja memakan waktu. Jika seorang karyawan tetap tak bisa menerima rekan kerja menjadi atasannya, cepat atau lambat ia akan memutuskan pindah bagian atau pindah ke perusahaan lain. Hal itu tidak dapat dihindari, seorang pimpinan membutuhkan kerja sama tim dalam pelaksanaan tugas.
Keluhan Anak Buah
Kekhawatiran dan tantangan seperti di atas mungkin dialami banyak pemimpin baru, tak hanya di level Chief. Karyawan yang biasa bekerja sendiri sebagai anak buah, mungkin juga merasa khawatir ketika naik pangkat menjadi Supervisor atau Manajer. Untuk pertama kalinya ia memiliki anak buah, bertanggungjawab membimbing dan mengarahkan anggota timnya. Dibutuhkan waktu dan proses dalam membangun kredibilitas kepemimpinan.
Kerunyaman terjadi ketika seorang Supervisor, atau Manajer, atau Chief tak menunjukkan kepemimpinan seperti yang diharapkan anggota timnya. Berbagai keluhan tentang boss baru mereka dibicarakan antar anak buah.
Seperti misalnya keluhan tentang atasan baru yang cenderung memeriksa atau mem-follow up pekerjaan anak buah setiap hari, seolah tak memberi waktu bagi anak buah itu untuk menyelesaikan tugas terlebih dahulu.
Ada yang mengeluh tentang atasan baru yang selalu membawa anak buahnya ke meeting dengan departemen lain, dan meminta anak buah yang berbicara atau menjelaskan; seolah atasan tersebut bukan bagian dari departemen yang dipimpinnya. Bahkan ada anggota tim yang beranggapan, atasan baru kurang percaya diri; bergantung pada kemampuan anak buah yang lebih menguasai materi yang dibicarakan dalam meeting.
Sorotan lainnya lebih bersifat ‘kehangatan sikap’ atasan. Anggota tim mengeluh atasan baru tak pernah menyapa walau melewati meja anak buah saat tiba di kantor, beliau langsung masuk ke ruang kerjanya. Begitu pula saat pulang kantor, sang atasan hanya ‘ngeloyor’ meninggalkan lantai departemen, sementara pendahulunya selalu mengucapkan ‘sampai besok’ atau ‘saya pulang duluan ya’.
Masa Percobaan
Situasi akan semakin runyam ketika kemampuan seorang pimpinan di level Chief dipertanyakan. Tuntutan bagi seorang pimpinan di level Chief cukup tinggi. Seorang Chief dituntut memiliki cara pendekatan yang melihat seluruh sistem dari berbagai aspek (helicopter view), sehingga ia mampu membuat keputusan yang tepat.
Chief baru yang diangkat dari dalam organisasi mungkin tak membutuhkan waktu beradaptasi: sudah mengenal budaya perusahaan, mengenal para pemimpin perusahaan dari berbagai level, alur kerja, dan seluk beluk di dalam departemen yang dipimpin. Tapi tetap perlu mengasah kepemimpinan jika ia belum pernah mengemban tugas di level Chief.
Chief baru yang berasal dari industri sejenis (perusahaan pesaing), pada umumnya tak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Selain memiliki kompetensi di bidang yang dipimpin, ia sudah tak asing dengan jenis bisnis perusahaan.
Walau sudah berpengalaman sebagai pimpinan di level Chief, bisa saja terjadi kegagalan saat menjadi Chief baru di industri berbeda. Seperti yang dialami seorang Chief dari industri real estate yang pindah ke perusahaan keuangan. Ia mengalami tantangan: tempo kerja di industri keuangan lebih cepat, alur kerjanya dirasakan kompleks, sistem manajemen yang menuntut pola komunikasi terbuka dan melibatkan berbagai pihak dalam organisasi, serta beberapa hal lain yang tidak dipraktikkan di industri sebelumnya. Chief baru itu kewalahan. Akibatnya, ia dinyatakan tak berhasil melewati masa percobaan.
Seorang Chief baru lainnya sebenarnya berasal dari industri yang sama. Namun ia dinyatakan tak berhasil selama masa percobaan. Skala bisnis (business size) perusahaan barunya lumayan besar, sementara ia berasal dari perusahaan berukuran kecil. Kompleksitas pekerjaan yang dihadapinya jauh berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Dinamika kerja sama dengan para pemimpin level Chief (C-Suite) lainnya menekankan pada pencapaian target kinerja departemen, unsur kekeluargaan yang dulu ada dalam organisasi tempatnya bekerja kini kurang dirasakan.
Peluang Karier
Tak perlu takut mengambil kesempatan jika mendapat peluang promosi ke posisi lebih tinggi, termasuk posisi di level Chief. Banyak cerita sukses yang dialami mereka yang baru pertama kali menjabat sebagai Supervisor, Manajer, atau Chief.
Beberapa hal yang dapat disiapkan saat diangkat menjadi atasan, manajer, atau pemimpin di tingkat lebih tinggi:
- Kembangkan pengetahuan, baik dari segi pendidikan formal maupun melalui program pelatihan. Jangan pernah berhenti belajar. Ketika waktu berjalan, hal-hal baru muncul. Perlu untuk melengkapi diri dengan pengetahuan tentang hal-hal baru tersebut.
- Kembangkan keahlian dalam menganalisa data, pendekatan analitik, dan berpikir kreatif. Hal-hal tersebut akan membantu kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah (problem solving skill).
- Kembangkan kompetensi manajerial: mengelola sumber daya manusia yang ada guna mencapai tujuan organisasi. Seperti yang dikatakan Mary Parker Follett, seorang konsultan manajemen, management is the art of getting things done through people.
- Semakin tinggi tingkat jabatan, kemampuan komunikasi semakin dibutuhkan. Kemampuan komunikasi bisa dilatih, baik komunikasi tertulis maupun lisan. Ikuti pelatihan yang mengasah kemampuan berkomunikasi seperti misalnya program Effective Business Presentation, Public Speaking, Executive Presense, Interpersonal Skills, dan lain-lain.
- Kembangkan kemampuan melihat gambaran besar pekerjaan (big picture). Kemampuan ini membantu pimpinan untuk mendelegasikan tugas tanpa ‘merepotkan’ anak buah dengan hal-hal kecil yang tak perlu. Kecenderungan mengurus hal-hal kecil bisa membuat pemimpin menerapkan manajemen mikro (micro management), bukan memikirkan hal-hal strategis.
- Pelajari organisasi atau perusahaan yang menawarkan pekerjaan dan ukur kemampuan diri. Jika belum pernah duduk di level Chief, mungkin dimulai dengan bergabung di perusahaan berskala kecil atau menengah. Semakin besar suatu perusahaan, semakin kompleks organisasinya. Bergabung dengan perusahaan berskala kecil atau menengah, memberi kesempatan pada pimpinan yang baru duduk di level Chief untuk belajar dan menyesuaikan diri (catching up).