New Orleans berada di sebelah Selatan Amerika Serikat. Kota itu paling banyak penduduknya di negara bagian Louisiana, melebihi Baton Rouge, ibukota negara bagian itu. New Orleans memiliki daya tarik bagi turis: musik jazz dan dixie yang lahir di kota ini, sejarahnya, makanan Cajun (ada rasa pedasnya), makanan Creole (menggunakan banyak ingredient), gedung-gedung khas peninggalan Perancis di French Quarter yang penuh balkon berpagar besi hasil karya tangan manusia (bukan diproduksi pabrik), dan festival tahunan Mardi Gras. Industri film Amerika ikut tertarik dengan keunikan New Orleans, berbagai film mengambil lokasi di kota itu, sehingga New Orleans dijuluki “Hollywood South”.
The Big Easy
Berasal dari keluarga biasa-biasa saja, yang tak pernah bepergian ke luar negeri; menjadi sesuatu hal yang luar biasa bagi saya pribadi ketika mendapat kesempatan menetap di New Orleans. Suami dikirim perusahaannya untuk menjalani pelatihan kerja di Louisiana Power & Light (LP&L), perusahaan listrik setempat, lebih dari setahun lamanya. Saya ikut mendampingi selama program pelatihan kerja itu.
Pihak perusahaan LP&L membantu mengurus akomodasi bagi keluarga saya, memilih kompleks perumahan Maple Leaf yang terletak di sebelah Barat Sungai Mississippi (West Bank). New Orleans dibelah Sungai Mississippi yang bermuara ke Teluk Meksiko; sungai yang menjadi inspirasi Mark Twain dalam menulis memoirnya, Life on the Mississipi. Kompleks Maple Leaf aman, bersih, dan nyaman; bertetangga dengan warga kulit putih kelas menengah.
Ketika suami sibuk menjalani pelatihan kerja di LP&L, saya memanfaatkan waktu mengambil beberapa mata kuliah manajemen dan komputer di University of New Orleans dan Delgado Community College. Walau membayar dari kantong sendiri, keputusan itu bermanfaat. Lembar sertifikat dari kedua lembaga pendidikan itu berguna saat mencari pekerjaan di tanah air.
Kesempatan mengunjungi berbagai tempat dalam kota New Orleans dan sekitarnya tentu tak dilewatkan saat tinggal di sana. Sambil belajar tentang sejarah tempat-tempat itu, selalu diluangkan mencoba kekhasan makanan lokal.
Sebagian besar warga New Orleans kaum kulit hitam. Mereka menikmati waktu, tak tergesa-gesa dikejar waktu seperti di kota-kota besar lainnya. Persis seperti pepatah kota itu: laissez les bons temps rouler, let the good times roll, biarkan waktu indah bergulir. Keadaan itu membuat kota New Orleans dijuluki The Big Easy.
Badai Katrina
Saya dan keluarga sudah kembali ke tanah air menjelang tahun 1990. Hanya kenangan manis yang ada selama tinggal di New Orleans.
Lima belas tahun kemudian, berita tentang badai dahsyat Katrina yang melanda New Orleans tersiar di media. Segera saja berita itu menarik perhatian.
Badai Katrina memporakporandakan New Orleans di akhir Agustus 2005. 1836 orang dinyatakan meninggal; sebagian hanyut dalam banjir yang diakibatkan meluapnya Sungai Mississippi dan jebolnya tanggul penahan di sekitar sungai; sebagian lainnya terperangkap dalam rumah dan mati kelaparan.
Sekitar 30.000 warga yang tak sempat menyelamatkan diri pergi keluar New Orleans, mengungsi ke stadion Superdome, gedung olahraga di kota itu. Bangunan Superdome yang kokoh mampu menahan bencana alam. Kapasitasnya pun besar, bisa menampung banyak orang, bahkan disebut sebagai stadion tertutup (indoor stadium) terbesar di dunia. Atapnya kokoh, dapat menahan angin dengan kecepatan 320 kilometer per jam. Banjir juga tak menerobos masuk karena stadion itu dibangun cukup tinggi dari dasar tanah.
Walau mereka yang mengungsi di stadion Superdome selamat dari banjir, namun aliran listrik yang mati, air dan makanan yang tak tersedia; membuat kekacauan terjadi di dalam Superdome. Selama seminggu mereka bertahan di Superdome tanpa bantuan; meringkuk dalam kegelapan dan kelaparan; berakibat munculnya penjarahan dan penembakan di dalam Superdome. Entah dilakukan pengungsi yang ingin menjarah barang pengungsi lainnya, atau dilakukan pengungsi yang ingin mempertahankan barangnya dari penjarahan. Begitulah manusia dalam usaha bertahan hidup.
Bantuan pemerintah datang terlalu lambat, membuat banyak korban berjatuhan.
Napak Tilas
Badai Katrina dan dampaknya yang saya lihat di layar kaca televisi membuat pikiran bertanya-tanya, bagaimana New Orleans mengatasi bencana alam itu?
Saya mengunjungi San Fransisco untuk suatu keperluan bulan Agustus 2010. Pikiran langsung melayang ke New Orleans, kota yang menempati tempat spesial di hati. Saya dan keluarga pun memutuskan melakukan napak tilas mengunjungi New Orleans, mumpung sedang berada di Amerika.
Pesawat yang membawa saya dan keluarga mendarat di Louis Armstrong New Orleans International Airport malam hari. Kulit langsung merasakan perubahan suhu udara yang mencolok, dari San Fransisco yang berhawa sejuk ke kelembaban tinggi udara New Orleans.
Sengaja menginap di hotel di pusat kota (downtown), di area turisme French Quarter yang terkenal. Bisa jalan kaki mencari makan malam, banyak restoran sepanjang Canal Street, jalan utama pusat kota New Orleans.
Kenangan berpuluh tahun lalu muncul saat dihadapkan pada pemandangan area downtown: turis yang ramai berseliweran, pemuda kulit hitam yang berkelompok, musik yang riuh sepanjang jalan, tempat makan yang penuh pengunjung, mobil polisi yang sedang patroli. Saat itu hari Rabu jam sepuluh malam, tapi keramaian di Canal Street seolah-olah akhir pekan.
Maple Leaf
Agenda padat diatur untuk memaksimalkan waktu napak tilas. Hari pertama mengunjungi perumahan Maple Leaf di West Bank, dengan memanfaatkan transportasi kapal ferry. Tempat mangkal ferry bisa dicapai dengan jalan kaki dari hotel, ferry mengarungi Sungai Mississippi, mengantar penumpang dari downtown ke West Bank hanya dalam sepuluh menit.
Perjalanan dilanjutkan dengan bus, menuju perumahan Maple Leaf. Trenyuh rasanya melintasi jalanan yang dulu rutin saya lalui. Sekilas terlihat kehidupan di New Orleans sudah normal kembali.
Ketika mata menangkap gedung Our Lady of Holy Cross College dengan hamparan rumput hijau di kanan jalan, saya menyadari bus telah mendekati tujuan. Perumahan Maple Leaf berada di jalan yang sama, Woodland Drive. Segera saja buru-buru menarik kabel dalam bus, meminta berhenti di perhentian terdekat.
Sempat celingukan mencari perumahan Maple Leaf. Ternyata Maple Leaf sudah berganti nama menjadi Audobon Pointe of Algiers. Struktur bangunan masih sama, tapi dinding yang dulu dibiarkan dibalut bata merah, sekarang diganti menjadi dinding berwarna kuning lembut. Pemandangan dalam kompleks juga berubah. Penghuni yang berkeliaran semua kulit hitam. Padahal dulu saya dan suami hanya segelintir penghuni kulit berwarna di Maple Leaf, selebihnya warga kulit putih. Manajemen perumahan itu mungkin sudah berganti, target pasarnya juga berubah.
Puas melihat Maple Leaf, kaki melangkah menuju Schwegmann, pasar swalayan besar yang letaknya di arah belakang kompleks Maple Leaf. Dulu sekali seminggu saya dan suami pasti belanja keperluan dapur di Schwegmann.
Dari kejauhan terlihat pemandangan gedung panjang satu lantai yang kosong dan terlantar, gedung tempat Schwegmann dulu berdiri. Nama toko Schwegmann sudah tak ada, hanya gedung lusuh saja yang tersisa.
Sebuah taksi mendekat. Supirnya menyapa saya dan keluarga, mau kemana berkeliaran di area itu? Mendengar turis berparas Asia yang mau bernostalgia, supir taksi itu menganjurkan untuk segera kembali ke pusat kota. Daerah Algiers, tempat Maple Leaf dan Schwegmann berada, belum aman, dampak dari badai Katrina. Padahal badai Katrina sudah berlalu lima tahun yang lalu!
Supir taksi menambahkan, perumahan di belakang Schwegmann tak terurus. Banyak manusia bersenjata hidup di sana. Pantas Schwegmann memutuskan menutup pasar swalayannya.
Saya baru menyadari, semua orang yang berkeliaran dari tadi, sejak dalam bus sampai di jalan seputar Maple Leaf, adalah warga kulit hitam. Rasanya lama sekali menunggu bus untuk kembali ke pusat kota. Tak banyak orang yang lalu lalang di halte bus. Setiap kali ada mobil melintas, saya dan keluarga menatap dengan mata awas. Lumayan deg-degan!
The Saints
Napak tilas dilakukan di bulan Agustus 2010, tepat lima tahun setelah badai Katrina menerjang New Orleans (Agustus 2005). Kota New Orleans dipenuhi tulisan “Katrina +5”, tulisan memperingati 5 tahun setelah badai berlalu.
Saya dan keluarga menyempatkan waktu bernostalgia menaiki streetcar, trem dalam kota khas New Orleans. Juga mampir di Café Du Monde di Decatur Street untuk menikmati café au lait dan beignet yang ditaburi tepung gula putih. Sempat merekam kereta hias yang ditarik mule, peranakan kuda dan keledai, yang berjejer siap membawa turis berkeliling seputar French Quarter.
Di sore hari saat matahari turun, saya dan keluarga duduk-duduk di bangku di tepi Sungai Mississippi, memandang kapal uap Natchez yang sudah beroperasi kembali. Saya dan suami pernah menikmati makanan Cajun, musik, dan pemandangan sunset Sungai Mississippi di atas kapal uap Natchez. Mark Twain pun pernah menghabiskan lima tahun hidupnya bekerja di kapal uap, mengarungi Sungai Mississippi,
Di malam terakhir di New Orleans, saya dan keluarga menelusuri jalan-jalan utama: Canal Street, St Charles Avenue, Poydras Street, Royal Street, Magazine Street, dan pastinya Bourbon Street yang terkenal dengan balkon-balkon gedung yang unik dan kehidupan malamnya. Suasana ramai seperti dulu, tak ada sisa-sisa badai Katrina di area turisme itu.
Di bagian jalan lain, saya dan keluarga menemukan orang-orang mengenakan kaus berlambang Fleur de Lis, lambang The Saints, tim football New Orleans. Mereka fans The Saints yang bergerak ke arah Superdome, siap menonton pertandingan pemanasan sebelum musim kompetisi Super Bowl tahun berikutnya.
The Saints berhasil masuk final Super Bowl di tahun saya dan keluarga melakukan napak tilas di New Orleans. Pertandingan final berlangsung bulan Februari 2010, The Saints berhadapan dengan tim Indiana Colts. The Saints mencetak sejarah, berhasil memenangkan pertandingan Super Bowl untuk pertama kalinya sejak tim football itu dibentuk tahun 1967. Kemenangannya dianggap sebagai kemenangan Amerika, mewakili kebangkitan kota yang sempat hancur. Sebagai bekas penghuni New Orleans, saya turut senang melihat prestasi The Saints.
Tak semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk kembali ke tempat yang memberi pengalaman berharga dan menempati sudut tertentu dalam hidupnya. Saya beruntung bisa kembali melihat New Orleans.