Adriani Sukmoro

Now Everyone Can Fly

Di suatu kesempatan di awal Juli 2019, saya mampir ke toko buku Kinokuniya di Plaza Senayan. Setelah membeli sebuah buku, saya memutuskan duduk di Starbucks yang berada tepat di depan Kinokuniya. Saya memilih meja dekat tembok yang berada di sisi dekat jalan masuk ke dalam Starbucks, duduk menghadap ke arah jalan masuk itu. Saya membaca buku yang baru dibeli dari Kinokuniya sambil menikmati Green Tea Frappuccino tanpa cream buatan Starbucks.

Suara Siapa Itu?

Beberapa saat kemudian saya mendengar suara percakapan yang lumayan keras, percakapan yang hangat. Percakapan itu berasal dari meja bagian ujung ruangan, letaknya di bagian dalam Starbucks. Saya jadi mendengarkan percakapan itu. Percakapan dalam bahasa Inggris. Terdengar satu suara di antara beberapa suara yang mendominasi percakapan. Siapakah gerangan pemilik suara itu?

Sekilas saya memalingkan wajah ke belakang, ke arah meja di ujung ruangan itu. Terlihat seorang pria berkulit gelap di antara beberapa orang lainnya, pria berusia sekitar lima puluh tahun. Pria itu kebetulan menghadap ke arah jalan masuk ke dalam Starbucks, membuat saya bisa melihatnya. Pria itu mengenakan kaus berwarna hitam dan topi berwarna merah. Saya tak mengenali wajah pria itu.

Dari percakapan yang terdengar, saya menangkap kata AirAsia beberapa kali. Setelah beberapa saat, tiba-tiba saya sadar siapa pria itu. Dia adalah Tony Fernandes, pemilik maskapai AirAsia, pesawat asal Malaysia yang terkenal menjual tiket murah dan bagus pelayanannya.

Book Launch

Saya mendekati kasir Starbucks, seolah-olah akan membeli sesuatu walau sebenarnya hanya sekadar bertanya: mengapa Tony Fernandes nongkrong di Starbucks Plaza Senayan? Apakah sedang ada kegiatan AirAsia di Plaza Senayan?

Kasir menjawab, sebentar lagi akan ada acara peluncuran buku yang ditulis Tony Fernandes di toko buku Kinokuniya. Pantas saja, saat memasuki Kinokuniya tadi, saya melihat deretan kursi yang tersusun di bagian kiri toko buku itu. Dan ada panggung kecil di bagian depan deretan kursi.

Pikiran segera melayang pada buku Flying High, buku berisi kisah Tony Fernandes membangun AirAsia. Ia menggunakan seluruh uang simpanannya untuk membeli perusahaan penerbangan yang bangkrut dan mempunyai utang besar. Ia membeli perusahaan itu dengan harga hanya 1 ringgit, tapi wajib membayar utang sebesar 40 juta ringgit, atau kira-kira sebesar 133,3 miliar rupiah.

Saya sudah membeli dan membaca buku Flying High, satu copy buku itu ada di rumah. Buku itu sudah dipasarkan di awal 2019. Kesempatan jangan sampai dilewatkan; saya akan meminta tanda tangan Tony Fernandes di acara peluncuran bukunya. Maka, segera saja saya meminta supir untuk mengambil buku Flying High dari rumah, dan membawanya ke Plaza Senayan.

Buku Flying High sudah ada di tangan saat acara peluncuran buku akan dimulai. Saya mengambil tempat duduk di bagian depan, beberapa wartawan tampak hadir meliput acara itu. Acara berjalan ringan, Tony Fernandes memperkenalkan bukunya, berbicara tentang inti buku itu. AirAsia didirikan 20 Desember 1993, dimiliki pemerintah Malaysia. Kemudian diambil alih oleh Tony Fernandes pada 2 Desember 2001.

Saat sesi tanya jawab dibuka, pertanyaan diajukan hadirin. Saya tak luput memberi komentar dan saran tentang AirAsia. Saya memberi pujian pada kemudahan akses teknologi dalam melakukan pembelian tiket, pemesanan makanan, dan ketepatan waktu terbang. Namun, tanpa saya sadari, saran saya tertuju pada makanan yang disediakan AirAsia. Di satu periode tertentu, menu makanan yang disediakan AirAsia menarik dan lumayan enak. Namun di periode selanjutnya, menu makanan yang disediakan kurang enak dan terasa berminyak.

Tony Fernandes berterima kasih atas komentar, saran, dan pertanyaan yang diajukan padanya. Tidak hanya sampai di situ. Ia melakukan kejutan di akhir acara. Setiap penanya diberi tiket gratis penerbangan AirAsia ke tujuan mana pun!

Langsung saja penanya kegirangan mendapat hadiah tiket gratis, saya termasuk di antaranya. Saya memilih destinasi Jepang, walau sudah ke negeri matahari terbit itu beberapa kali. Ketika dipanggil ke panggung untuk pemberian hadiah tiket gratis secara simbolik, saya meminta topi yang dikenakan Tony Fernandes, topi berwarna merah khas AirAsia. Ia segera mencopot topi dari kepalanya, menandatangani dan menyerahkan topi itu kepada saya.

Terbang Bersama AirAsia

Saya menjadi penumpang tetap AirAsia tujuan Kuala Lumpur ketika putri sulung ditugaskan oleh perusahaannya ke negeri jiran itu selama enam bulan. Sekali dalam sebulan selama kedinasan putri sulung saya terbang bersama AirAsia, menikmati suguhan makanan yang sudah saya pesan lebih dulu (pre-order menu). Nasi lemak menjadi favorit ketika itu.

Begitu pula ketika putri sulung dipindahtugaskan ke Bangkok selama enam bulan berikutnya, saya rutin terbang bersama AirAsia saat mengunjungi putri sulung di Bangkok sekali dalam sebulan. Saya selalu terbang pada hari Jum’at dan kembali ke tanah air pada Minggu sore/malam. Pengaturan itu membuat kegiatan kantor tak terganggu, hari Senin pagi saya sudah siap melaksanakan tugas kantor seperti biasa.

Di salah satu penerbangan ke Bangkok itu, saya menjumpai Addie MS dan istrinya Memes, serta kedua putra mereka dalam pesawat yang sama. Ternyata komponis, penulis lagu, dan produser musik berkelas itu juga membawa keluarganya terbang bersama AirAsia.

Selama terbang rutin ke Kuala Lumpur dan Bangkok, saya tak mengalami kemunduran jadwal penerbangan AirAsia. Pramugari dan pramugara yang bertugas dalam pesawat terlihat mampu berbahasa Inggris, cekatan dalam bekerja, berusia muda. Walau AirAsia menawarkan harga tiket murah (low-cost carrier), namun awak pesawat tak segan menegakkan peraturan. Ketika dua orang penumpang perempuan yang duduk di bagian belakang pindah ke kursi bagian depan (kursi berbayar khusus) sambil membawa makanan yang mungkin mereka pesan, pengumuman terdengar dalam kabin pesawat: penumpang diminta untuk duduk sesuai dengan nomor tiket masing-masing. Pramugari tak menegur langsung, hanya mengumumkan lewat pengeras suara sehingga bisa didengar seluruh penumpang. Kedua perempuan itu pun mundur teratur, kembali ke tempat duduknya di bagian belakang…

Ketika putri sulung telah selesai bertugas di luar negeri, saya masih terbang bersama AirAsia ke Bangkok. Kali ini membawa rombongan tim departemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang saya pimpin di perusahaan tempat bekerja. Saat itu departemen SDM mengadakan outing, destinasi Bangkok dipilih secara kolektif. Pilihan maskapai AirAsia berhubungan dengan anggaran outing yang pas-pasan. Walau menumpangi low-cost carrier, AirAsia tak mengecewakan. Seluruh anggota rombongan menikmati penerbangan ke Bangkok dan pulang dari Bangkok tepat waktu.

Ketika saya mengalami masalah pada mata kanan, saya memutuskan berobat ke National University Hospital (NUH) di Singapura. Sebulan sekali saya harus terbang ke Singapura untuk berobat ke NUH. Banyak maskapai penerbangan dengan rute Jakarta-Singapura. Namun, jadwal penerbangan yang paling cocok dengan pemeriksaan dokter mata NUH adalah penerbangan AirAsia. Walau penerbangan kembali ke Jakarta di sore hari (tiba di Jakarta malam hari), saya tetap terbang dengan AirAsia guna memastikan saya tak perlu menginap di Singapura. Berobat mata di NUH itu hanya beberapa jam saja.

Kegiatan terbang bersama AirAsia untuk berobat ke NUH terhenti ketika Covid-19 melanda. Lock down yang diberlakukan di Singapura, dan peraturan ketat untuk mencegah penyebaran virus Corona di tanah air, menyebabkan saya dan keluarga menghabiskan waktu di rumah, tak bepergian untuk sementara waktu.

Hantaman Tragedi

Buku Flying High tak hanya berisi kisah kesuksesan Tony Fernandes membangun AirAsia dari kebangkrutan menjadi maskapai penerbangan bertarif rendah yang sukses, dengan destinasi ke berbagai negara. Tony Fernandes juga menulis tentang tragedi yang terjadi ketika teleponnya berdering pada 28 Desember 2014 pukul 08.25 pagi. Ia sedang berada di kamar mandi, bersiap jalan-jalan bersama anak-anaknya.

Anak buahnya melaporkan tentang pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya- Singapura yang hilang kontak setelah sekitar 50 menit lepas landas dari bandar udara Juanda Surabaya pada hari itu. Pesawat itu terbang sekitar pukul 05.35 WIB, kemudian dilaporkan hilang kontak pada pukul 06.18 WIB.

Tony Fernandes mengaku, ia merasa goyah dan takut mendengar berita hilangnya pesawat AirAsia tersebut. Apalagi pada bulan Maret 2014, pesawat Malaysia Airlines MH270 dari Kuala Lumpur menuju Beijing jatuh tanpa jejak, 239 orang penumpang dinyatakan tewas. Kemudian, pada bulan Juli 2014, pesawat Malaysia Airlines MH17 ditembak jatuh di udara Ukraina Timur saat sedang terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpur, menewaskan 298 orang penumpangnya. Kedua peristiwa itu terjadi di tahun yang sama dengan hilangnya AirAsia QZ8501.

Banyak keluarga penumpang dan wartawan yang sulit mendapatkan akses informasi dalam peristiwa kecelakaan kedua pesawat Malaysia Airlines tahun 2014. Namun tidak demikian halnya dalam penanganan hilangnya AirAsia QZ8501. Tony Fernandes memutuskan untuk berada di Surabaya demi para awak AirAsia yang hilang dan keluarga para penumpang. Ia mengatakan, tak mau bersembunyi di balik tameng pengacara. Selama menunggu terbang ke Surabaya, Tony Fernandes mengirim tweet berisi perkembangan situasi, serta pesan dan simpati kepada para staf AirAsia untuk menguatkan mereka yang pastinya terpukul oleh kejadian itu.

Walau kesedihan keluarga penumpang dan awak pesawat, serta maskapai AirAsia tetap tak bisa dihapus, namun cara penanganan manajemen AirAsia atas tragedi hilangnya armada pesawat mereka mendapat pujian. Tony Fernandes mengatakan, menangani tragedi semacam itu harus dilakukan dengan hati. Tak akan ada komentar atau pernyataan tertulis yang akan efektif. Ia memberikan nomor teleponnya kepada semua keluarga korban agar mereka dapat menghubunginya. Wartawan pun diberi akses informasi sehingga komunikasi terbuka berlangsung. Tony Fernandes tahu, ia tak akan pernah mampu menggantikan nyawa korban, satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah hadir di antara keluarga korban dan berkomunikasi dengan baik.

Gaya Kepemimpinan

Keberhasilan Tony Fernandes memimpin AirAsia menjadi maskapai penerbangan yang sukses dan profitable membuat orang membahas gaya kepemimpinannya. Sebagian besar mengatakan, Tony Fernandes mempraktikkan apa yang dikatakannya (walk the talk), dan melakukan pendekatan yang berorientasi pada karyawan (employee-oriented approach). Ia mau mendengar dan membangun lingkungan kerja yang nyaman bagi karyawannya. Sebagian lainnya berpendapat, Tony Fernandes seorang pemimpin bisnis yang sukses melakukan transformasi sehingga AirAsia bisa menjadi salah satu maskapai low-cost carrier besar di Asia.

Tony Fernandes bertekad terus meningkatkan pelayanan AirAsia, sesuai dengan motto perusahaan itu: Now Everyone Can Fly – semua mampu naik pesawat.

Covid-19

Tanpa diduga, pandemi Covid-19 melanda dunia, tak ada perkecualian bagi negara mana pun. Setiap negara melakukan tindakan mengendalikan dan mencegah penyebaran Covid-19 sedemikian rupa. Lock down diberlakukan, sehingga berbagai negara menutup akses masuk maupun keluar secara total.

Saya belum sempat memanfaatkan tiket gratis AirAsia yang dihadiahkan Tony Fernandes karena pandemi Covid-19 melanda. Dampak virus Corona berkepanjangan, sehingga saya tak bisa menggunakan tiket hadiah AirAsia hingga batas waktu pemakaian. Dengan kata lain, tiket gratis itu menjadi hangus akibat Covid-19! Mungkin saya bisa saja memohon pengecualian pada Tony Fernandes yang penuh perhatian pada pelanggannya, namun hal itu belum saya lakukan hingga sekarang.

Keberadaan saya di Plaza Senayan pada hari peluncuran buku Flying High terjadi secara kebetulan. Kebetulan yang membuat saya jadi pernah berbicara dengan pemilik AirAsia, mendapatkan tanda tangannya yang sekarang tertera di buku Flying High milik saya, mendapat topi merah yang dipakainya dalam sesi peluncuran buku lengkap dengan tanda tangannya, mendapat tiket gratis AirAsia ke Jepang. Ketika menandatangani buku Flying High milik saya, Tony Fernandes menulis:

Dear Adriani,

I hope you love our oke food. See you in Tokyo.