Adriani Sukmoro

Oregon

Ketika menjadi Recruitment Officer di suatu bank asing, saya memproses penerimaan Management Trainee yang direkrut oleh kantor pusat di New York, Amerika Serikat. Biasanya proses penerimaan Management Trainee yang berasal dari rekrutmen kantor pusat dilakukan setahun sekali, beberapa bulan sebelum waktu kelulusan para sarjana baru yang kuliah di negeri Paman Sam.

Di salah satu tahun perekrutan, seorang lulusan University of Oregon diterima dalam program Management Trainee bank asing itu. Tak lama berselang, saya juga merekrut karyawan yang baru lulus dari Oregon State University. Saya pun menjadi familiar dengan Oregon, nama negara bagian di Amerika yang dipakai kedua universitas tadi.

Bercocok Tanam

Kesempatan melanjutkan pendidikan ke program Master tersedia di instansi tempat calon menantu bekerja. Nama Oregon pun muncul kembali dalam ingatan ketika ia diterima kuliah S2 di Oregon State University, universitas yang sama dengan tempat kuliah karyawan yang saya rekrut di bank asing beberapa puluh tahun lampau.

Selama kuliah di sana, calon menantu menyempatkan waktu melihat-lihat tanah di seputar kampusnya. Ia dan keluarganya yang berdarah Irlandia memang suka bercocok tanam dan beternak.

Ia mempelajarai kondisi tanah di Oregon: kontur, kesuburan, jenis tanaman yang cocok untuk udara dan jenis tanah, serta faktor lainnya yang patut dipertimbangkan untuk bisnis bercocok tanam. Ketertarikannya muncul, ia ingin memiliki tanah di Oregon. Tapi tabungannya tak cukup untuk membeli tanah idaman.

Setelah menyelesaikan program Master dari Oregon State University dan menikah dengan putri sulung dalam keluarga, mereka menetap di negara bagian California. Namun pikiran menantu tak bisa lepas dari tanah Oregon yang dianggap berpotensi untuk bercocok tanam.

Keuangan keluarga sangat terbantu jika pasangan suami dan istri bekerja. Hal itu yang dimanfaatkan menantu dan putri sulung. Dengan dana tabungan yang ada hasil mereka bekerja, ditambah pinjaman dari bank, mereka memberanikan diri membeli tanah seluas 290 acres atau kurang lebih 117 hektar di kota kecil Veneta di negara bagian Oregon. Bidang tanah yang sangat luas, baik bagi orang Indonesia maupun bagi orang Amerika. Suatu keberanian dan penuh perhitungan bagi pasangan muda melakukan investasi tanah seperti itu. ‘Tanah masa tua untuk jadi petani’, begitu kelakar menantu. Ia sudah punya rencana, mau jadi petani setelah pensiun nanti.

Emerald City

Saya turut senang ketika mendengar menantu dan putri sulung memiliki tanah luas di Oregon. Tentu saya tak menolak ketika mereka menawarkan untuk mengunjungi tanah itu. Di suatu musim gugur, ketika putri bungsu menyertai saya liburan ke rumah menantu dan putri sulung, perjalanan bersama untuk melihat tanah di Veneta, Oregon, dilakukan.

Veneta sebenarnya lebih dekat dengan kota Eugene yang memiliki bandar udara (bandara), namun bandaranya kecil sehingga penerbangan terbatas. Portland yang merupakan kota terbesar dan terpadat di negara bagian Oregon, memiliki bandara lebih besar dan menampung penerbangan internasional. Maka rombongan empat orang pun terbang dari bandara Los Angeles International Airport di negara bagian California, ke bandara Portland International Airport di negara bagian Oregon.

Setiba di bandara Portland, rombongan langsung menaiki mobil sewa yang telah dipesan sebelumnya. Beberapa perusahaan penyewa mobil membuka bisnisnya di bandara, pendatang bisa memilih jenis mobil yang disukai dan memesan secara online.

Dari bandara Portland rombongan menuju Eugene, tempat menginap selama di Oregon. Setelah berkendaraan sekitar satu setengah jam, mobil tiba di hotel tempat menginap di Eugene. Tak berlama-lama rehat, rombongan berjalan kaki menikmati pemandangan di sore hari sambil mencari restoran untuk makan malam.

Hotel tempat menginap di Eugene terletak dekat Sungai Willamette, membuat rombongan menyusuri jalan sepanjang Sungai Willamette, dari ujung jalan raya di bagian Utara hingga ke ujung jalan raya di bagian Selatan. Pohon-pohon hijau yang rindang berdiri sepanjang tepi sungai. Eugene dikenal dengan julukan Emerald City, kota yang penuh pepohonan hijau lebat dan memiliki tanah yang subur.

Saat itu musim gugur di bulan September, daun-daun mulai berguguran, tapi pemandangan hijau masih terlihat. Udara sore kota Eugene sepoi-sepoi dingin, membuat semua mengenakan sweater. Putri bungsu yang hobi fotografi sempat merekam pemandangan matahari turun di atas Sungai Willamette, foto yang menampilkan pemandangan indah bak gambar di kalender. Rombongan baru kembali ke hotel usai makan malam di restoran yang menghidangkan pizza yang lezat.

TrackTown USA

Kota Eugene juga disebut sebagai TrackTown USA. Mungkin karena organisasi non-profit TrackTown USA bermarkas di Eugene. Organisasi itu secara rutin menyelenggarakan berbagai kompetisi lari lintasan dan lapangan (track and field) yang dikenal menghasilkan pelari-pelari andal.

Dalam sejarahnya, banyak atlet pelari yang berlatih di Hayward Field milik University of Oregon, yang berlokasi di Eugene. Salah seorang mahasiswanya, Phil Knight, mengangkat nama universitas itu dan kota Eugene. Ketika kuliah di University of Oregon, Phil Knight bergabung dalam tim pelari jarak menengah di kampusnya, di bawah asuhan Bill Bowerman. Bertahun-tahun kemudian, minat Phil Knight pada olahraga lari membuatnya mengajak Bill Bowerman mendirikan perusahaan Nike. Siapa yang tak kenal Nike? Perusahaan itu berkembang pesat, menjadi perusahaan sepatu, pakaian atletik, dan produsen peralatan olahraga terbesar di dunia. Nike berkantor pusat di Beaverton, letaknya dekat kota Eugene.

Hazelnut dan Anggur

Keesokan harinya rombongan berangkat ke Veneta, tujuan dari perjalanan di negara bagian Oregon ini.

Sebuah rumah kecil yang lebih mirip gudang terdapat di bagian pinggir tanah milik keluarga putri sulung di Veneta. Rumah itu dibangun untuk tempat menyimpan peralatan ringan, orang bisa juga beristirahat di situ setelah lelah mengurus tanah. Mobil diparkir di halaman rumah kecil tadi, sementara saya langsung mengamati pemandangan di depan mata.

Sebagian besar tanah keluarga putri sulung hanya ditanami rumput biasa. Segerombolan kuda terlihat sedang memamah rumput di bagian tertentu. Pemilik kuda membayar setiap bulan kepada menantu, menjadikan rumput di lahan tanah itu sebagai tempat makan kuda-kudanya. Kuda-kudanya pun bebas berkeliaran seharian di sana, biasanya digiring pulang setelah hari mendekati senja.

Di bagian lain tanah luas itu terlihat rumput yang ditanam dengan teratur dan terawat. Bagian itu disewa petani yang berbisnis rumput untuk makanan sapi. Bukan sembarang sapi. Rumput yang dihasilkan diekspor ke Jepang, menjadi bahan makanan sapi ras Wagyu yang terkenal di dunia, khususnya Sapi Hitam Tajima Jepang.

Daging sapi Kobe yang sangat mahal harganya merupakan daging sapi yang dihasilkan Sapi Hitam Tajima Jepang. Mengapa Jepang sampai mengimpor makanan sapi dari Amerika? Ternyata aturan ketat dikeluarkan oleh Kobe Beef Marketing and Distribution Promotion Association. Sapi Hitam Tajima Jepang hanya diberi makan padi, jagung, jelai, dan berbagai serat lainnya, salah satunya jenis rumput yang diimpor tadi.

Menantu tertarik untuk menanam Hazelnut di lahan tanahnya. Ia sudah mempelajari kecocokan jenis tanah dengan tanaman Hazelnut, lalu menanam di sebidang kecil sebagai percobaan. Baru kali itu saya melihat pohon Hazelnut. Karena baru ditanam, pohonnya masih pendek.

Ada sebuah sungai kecil (creek) yang mengalir melalui tanah milik keluarga putri sulung. Keberadaan sungai kecil itu menguntungkan, gampang mendapatkan air jika dibutuhkan untuk menyuburkan tanah.

Di seberang tanah milik keluarga putri sulung terhampar pemandangan ladang anggur. Seorang pekerja terlihat naik traktor, mungkin sedang menggemburkan tanah. Tanaman anggur itu cukup luas. Bisa dibayangkan keuntungan yang diperoleh pemiliknya dari menjual hasil ladang anggur pada perusahaan pengelola minuman anggur.

Saat menantu sedang berdiskusi dengan orang yang dipekerjakan untuk meneliti tanaman Hazelnut, putri sulung membawa saya dan adiknya mengelilingi lahan tanah mereka, mulai dari bagian depan yang berbatasan langsung dengan jalan raya, hingga ke bagian belakang yang berbatasan dengan jalan menuju rumah penduduk setempat. Serasa berolahraga jalan kaki di pagi itu, mengelilingi sebagian besar tanah seluas 117 hektar!

Langsung saja kaki diselonjorkan setelah kembali ke halaman rumah kecil, duduk santai memandangi kuda-kuda yang masih memakan rumput, sambil menikmati kudapan dan minuman ringan yang dibeli dari toko serba ada sebelum berangkat ke Veneta.

King Estate Winery

Mumpung sedang berada di Oregon, menantu dan putri sulung membawa rombongan mengunjungi King Estate Winery yang terletak di Lembah Willamette (Willamette Valley) di Eugene.

King Estate Winery dimiliki keluarga King, yang memulai usaha pertanian anggurnya tahun 1991. Tanah pertanian anggurnya luas sekali, seluas 1.033 acre atau 418 hektar!

Pertanian anggur di King Estate Winery terlihat rapi dan dirawat dengan baik. Keberadaannya di lembah membuat pertanian anggur itu mengikuti lentur tanah lembah. Ada yang ditanam di bagian atas lembah, ada yang ditanam menurun ke bagian bawah; memberikan pemandangan hijau yang indah sepanjang lembah dari atas ke bawah.

Kunjungan ke King Estate Winery memberi kesempatan mengikuti tur ke dalam rumah tempat pengolahan anggur, termasuk ke gudang barel. Proses pembuatan minuman anggur cukup detail, pengaturan suhunya pun dijaga. Anggur yang siap dijual dimasukkan ke dalam botol, berbagai produk anggur dihasilkan: Pinot Noir, Pinot Gris, Chardonnay, Sauvignon Blanc, Brut Cuvee, Viognier, dan lain-lain.

Saya bukan ahli minuman anggur, sehingga tak bisa membedakan produk-produk yang ditampilkan di rak-rak penjualan King Estate Winery. Yang saya ketahui, ada anggur merah (red wine), anggur putih (white wine), anggur merah muda (rose wine), anggur soda (sparkling wine), dan anggur beralkohol tinggi (fortified wine).

Saya kagum dengan semangat kewirausahaan (entrepreneurial spirit) yang dimiliki Ed King, pendiri King Estate Winery. Pemilihan lahan dan pengetahuan tentang tanaman anggur membawa bisnis keluarga itu berkembang dan sukses seperti sekarang. Jika sebagian petani memilih menanam anggur dan menjual hasil tanaman ke perusahaan pembuat minuman anggur, Ed King memilih mengelola bisnis dari mulai menanam anggur hingga mengolah dan memproduksinya menjadi minuman anggur. Pabrik pengolahan anggurnya berada dalam kompleks King Estate Winery. Hasil produksi minuman anggur keluarga King dijual di dalam negeri Amerika Serikat dan diekspor ke luar negeri.

Setelah diberi kesempatan mencicipi beberapa jenis produk anggur (wine tasting) buatan King Estate Winery, akhirnya saya membeli sebotol anggur merah yang rasanya paling mengena di lidah. Sebotol anggur merah itu dibawa pulang ke tanah air, dinikmati sedikit demi sedikit sebelum tidur malam hari.

Perjalanan ke negara bagian Oregon mengesankan. Tak hanya senang bisa melihat tanah milik keluarga putri sulung, tapi juga bisa melihat kemakmuran usaha pertanian di negeri Paman Sam.

Rombongan terbang kembali dari Portland International Airport menuju Los Angeles International Airport, kali ini dengan tujuan terpisah. Dari Los Angeles, menantu dan putri sulung pulang menuju kediaman mereka di San Diego. Sementara saya dan putri bungsu melanjutkan perjalanan pulang ke tanah air, langsung pindah dari area penerbangan domestik ke area penerbangan internasional di bandara Los Angeles itu.