Dua hari lagi rakyat Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presidennya untuk periode 2024-2029. Ada yang mengatakan, Pemilihan Umum (Pemilu) adalah pesta demokrasi. Setiap warga negara yang memiliki hak pilih, menyatakan pilihannya melalui partisipasi dalam Pemilu.
Satu Pilihan
Kata Pemilu sudah tak asing lagi di telinga sejak kecil. Lagu Pemilu yang diperdengarkan secara rutin di televisi saat menjelang Pemilu membuat pemirsa hafal lagu itu.
Pemilu di masa kecil saya diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pada masa itu Pemilu ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilah Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota). Dan pada masa itu hanya ada dua partai politik dan satu Golongan Karya (Golkar) peserta Pemilu.
Masa kecil saya habiskan di perkebunan karet milik negara. Ketika Pemilu diselenggarakan, seluruh pekerja perkebunan itu sudah tahu siapa yang akan dipilih. Suara bulat, membuat kemenangan Golkar menjadi mutlak di perkebunan milik negara. Selama pemerintahan Presiden Soeharto, kesemua pemilu yang diselenggarakan dimenangkan Golkar.
Pilihan Rakyat
Hingga saya masuk ke dunia kerja, Presiden dan Wakil Presiden negeri ini dipilih oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Golkar sebagai pemenang Pemilu beberapa kali, selalu mengusung Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, membuat beliau menduduki posisi itu selama tiga puluh dua tahun.
Kejatuhan Presiden Soeharto sebagai Presiden terlama dalam sejarah negeri ini, membuat perubahan. Sejak Pemilu 2004 rakyat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini bagian dari proses demokrasi setelah pada Pemilu sebelumnya (Pemilu 1999), calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%), tak dipilih oleh MPR. Justru calon Presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang hanya mendapatkan suara sekitar 12,61% ditetapkan sebagai Presiden oleh MPR.
Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 itu menjadi pengalaman baru bagi rakyat Indonesia. Banyak yang tertarik berpartisipasi menggunakan hak pilihnya, memastikan kontribusi suaranya pada calon Presiden dan Wakil Presiden pilihannya.
Quick Count
Pengalaman pertama memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung meninggalkan kesan tersendiri. Banyak warga yang menonton televisi usai penutupan waktu pemungutan suara.
Ketika itu rakyat diperkenalkan dengan istilah Quick Count, metode perhitungan cepat hasil pemungutan suara Pemilu. Walau metode itu tak memiliki legalitas resmi dan lebih bersifat prediksi hasil berdasarkan sebagian data dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), namun ternyata hasil Quick Count selaras dengan hasil resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu kemudian.
Siapa yang melakukan Quick Count? Lembaga survei dan media massa seringkali menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan Quick Count.
Quick Count ini menjadi perdebatan pada saat Pemilu 2014 dan 2019 ketika hasil berbeda ditampilkan oleh lembaga survei yang berbeda. Ada yang mengatakan penyebabnya karena ketidakpahaman akan metode sampling, atau data yang masuk ke dalam sistem kurang akurat, bahkan ada yang menuduh lembaga survei terafiliasi dengan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu.
Lepas dari perdebatan itu, suasana memanas segera mereda setelah KPU mengeluarkan pengumuman tentang hasil suara Pemilu. Presiden dan Wakil Presiden terpilih pun diambil sumpah jabatannya pada tanggal 20 Oktober tahun pemilihan tersebut.
Pemilu Heboh
Di masa kampanye Pemilu, kemudahan berkomunikasi di zaman teknologi maju membuat orang kerap menunjukkan ketertarikannya pada calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu melalui berbagai media elektronik. Tujuannya bisa saja untuk mempengaruhi orang lain, atau menyebarkan informasi positif tentang kandidat tersebut. Ada juga yang menampilkan informasi tentang keburukan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu. Tentu saja orang menduga motivasi pengirim informasi itu adalah untuk menurunkan kredibilitas kandidat tadi.
Pemilu 2014 dan 2019 berlangsung lumayan heboh. Beberapa Whatsapp Group (WAG) dimana saya tergabung di dalamnya, menjadi ajang debat kusir beberapa anggotanya. Terbentuk dua kubu berdasarkan kandidat yang disukai. Perdebatan semakin memanas dengan berjalannya waktu, hingga ‘sempritan’ dibunyikan beberapa orang yang berusaha menjadi penengah. Jalan keluar yang diputuskan cukup baik: silakan membentuk WAG terpisah, WAG yang khusus beranggotakan mereka yang mempunyai ketertarikan akan kandidat Presiden yang sama, sehingga WAG resmi tidak tercemar dan tetap dapat dipertahankan.
Sementara di WAG lainnya, anggotanya beramai-ramai memutuskan untuk tak membahas politik, termasuk Pemilu, dalam WAG mereka. Jika ada yang mencuri melakukan posting berita politik atau Pemilu, segera saja Administrator WAG meminta berita dihapus saat itu juga. Disiplin ditegakkan, lumayan membantu kenyamanan dan keharmonisan WAG yang tentunya dibentuk untuk silaturahmi antar sesama anggota grup itu.
Ketika Pemilu usai, kehidupan berjalan kembali seperti biasa. Namun hiruk pikuk yang disisakan Pemilu bisa berdampak luas. Berbagai media memberitakan, panti rehabilitasi jiwa mendapat beberapa pasien baru usai Pemilu: para calon legislatif (caleg) yang gagal dalam Pemilu. Mereka tertekan, pikiran terbebani biaya yang telah dikeluarkan untuk alat peraga kampanye, tim sukses, sembako yang dibagikan kepada masyarakat daerah pemilihannya, dan lain-lain. Tak jarang para caleg yang kalah dalam Pemilu itu terlibat utang dalam jumlah besar demi membiaya pencalonannya.
Hal miris lainnya, seorang pegawai sangat intens mengikuti kehebohan kampanye antar kandidat yang mencalonkan diri sebagai pemimpin nomor satu negeri ini. Pegawai itu bergabung dengan media kelompok pengikut kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang disukainya, sehingga selalu mendapat berita terkait kegiatan kandidat tersebut. Kekalahan kandidat yang disukainya menorehkan kekecewaan yang sangat mendalam, membuatnya terjebak dalam tekanan pikiran. Pegawai itu pun menderita stress. Ia tak mampu lagi melakukan tugasnya di tempat kerja, sering merenung dan gelisah, hingga akhirnya terpaksa berhenti kerja dan istirahat di rumah guna pemulihan. Sementara ketika Pemilu usai dan kandidat yang terpilih diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden, roda kehidupan berjalan lagi, kehebohan kampanye hilang seperti banjir yang surut setelah hujan lebat.
Rakyat menggantungkan harapan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih. Pemimpin terpilih akan membawa ke arah mana negeri ini dalam menghadapi kemajuan teknologi, persaingan global, dan perubahan zaman. Dalam berbagai indeks pengukuran global, Indonesia masih tertinggal di belakang beberapa negara tetangga.