Adriani Sukmoro

Pemimpin Nomor Satu

Melihat pemimpin negara nomor satu dari dekat pasti diimpikan rakyat seantero negeri. Tak heran kehebohan terjadi ketika Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke daerah mana saja. Warga mengelu-elukan, berebut menjabat tangannya, berfoto mengabadikan momen berharga bersama Presiden Jokowi, atau sekadar menjamahnya walau terhambat oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Paspampres terlihat bekerja keras membendung masyarakat yang ingin mendekat ke Presiden.

Kirab Budaya

Banyak yang kagum ketika Gubernur DKI Jakarta Jokowi memenangkan pemilihan Presiden dan dilantik hari Senin 20 Oktober 2014. Putri sulung saya termasuk di antaranya. Dalam pengalaman hidupnya yang masih remaja, baru pertama kali ia melihat antusiasme pemilihan presiden seperti saat itu. Ketika mendengar bahwa Presiden terpilih Jokowi akan diarak dalam Kirab Budaya dari Bundaran Hotel Indonesia (Bundaran HI) hingga ke Istana Negara usai pelantikan di Gedung DPR/MPR, kontan saja ide melihat arak-arakan itu muncul.

Menurut perkiraan, Kirab Budaya di Bundaran HI akan dilakukan sekitar pukul 12.00 siang. Di hari H, putri sulung menjemput saya di kantor pukul 11.00 WIB. Supir menurunkan saya dan putri sulung di jalan Diponegoro, menghindari kemacetan di jalan protokol. Segera saja berjalan kaki, bergabung dengan kerumunan manusia yang sudah menanti di Bundaran HI. Ternyata antusiasme melihat Presiden Jokowi dalam Kirab Budaya menyebar, manusia menyemut di Bundaran HI walau hari itu hari kerja.

Suara teriak, sebagian histeris, menggema saat kereta yang membawa Presiden Jokowi datang. Aksi saling dorong pun terjadi, semua ingin mendekat ke kereta yang membawa Presiden Jokowi. Presiden yang baru dilantik itu berdiri di atas kereta, menyapa semua orang. Jarak begitu dekat, tapi bahaya pun mengancam. Aksi dorong semakin menjadi, putri sulung tak dapat menguasai dirinya, terdorong oleh tekanan ke kiri dan ke kanan. Ia mulai menjerit, mohon jangan didorong.

Kekhawatiran pun muncul, keadaan bisa jadi tak terkendali. Secara insting saya melindungi putri sulung, berteriak menahan orang-orang yang mendorong. Saya dekap tubuhnya, menariknya sekuat tenaga, keluar dari kerumunan yang saling mendesak. Beruntung bisa keluar, menepi ke sisi jalan, menahan diri mengelukan Presiden baru dari pinggir jalan. Tak terbayangkan jika ada yang jatuh terinjak, atau terinjak-injak. Bisa saja seseorang meninggal akibat terinjak massa yang tak terkendali.

Putri saya bangga bisa menyaksikan Kirab Budaya secara langsung. Ia telah terlibat dalam satu momen sejarah negeri, mengelukan Presiden Republik Indonesia yang baru diangkat.

Washington, D.C.

Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana berkunjung ke Washington, D.C. selama lima hari di bulan Oktober 2015. Salah satu agenda Presiden Jokowi dalam kunjungan itu adalah menghadiri pertemuan dengan warga Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat.

Saya dan suami yang sedang berada di Washington, D.C. untuk urusan pekerjaan, tak melewatkan kesempatan menghadiri pertemuan itu tanggal 25 Oktober 2015. Pertemuan diadakan di Wisma Tilden, yang berada dalam kompleks rumah dinas Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat.

Banyak warga dari berbagai tempat di Amerika Serikat datang menghadiri pertemuan itu. Semuanya sudah mendaftar secara online beberapa waktu sebelumnya. Pemeriksaan para undangan berjalan ketat, wajah tegas polisi bule melakukan pemeriksaan, memastikan tak ada ancaman keselamatan bagi Presiden dan ibu negara.

Presiden Jokowi mengenakan kemeja batik warna cokelat hitam dan Ibu Iriana mengenakan kebaya warna oranye dalam pertemuan itu. Keduanya berada jauh di depan. Mereka yang mendaftar awal beruntung mendapat posisi tempat duduk ideal, bisa memandang Presiden dan Ibu Negara dari dekat. Semua berebut ingin bersalaman dengan Presiden usai acara, Paspampres terlihat gesit menggiring Presiden dan Ibu Negara meninggalkan tempat pertemuan.

Keesokan harinya, 26 Oktober 2015, Presiden Jokowi memberi pidato dalam acara pertemuan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce). Pertemuan itu diadakan malam hari di Gedung Kamar Dagang AS. Saya turut mendampingi suami menghadiri acara itu. Dan sangat beruntung ketika panitia mengatakan, saya dan suami termasuk undangan yang diizinkan untuk menghadiri acara ramah tamah terbatas bersama Presiden Jokowi sebelum acara resmi dilangsungkan.

Kegiatan ramah tamah dilakukan di ruang khusus berukuran sekitar 6×6 meter persegi. Undangan terhormat yang berada di ruang itu sebagian besar pejabat Kamar Dagang Amerika Serikat. Hanya segelintir orang Indonesia, saya dan suami di antaranya, serta seorang pejabat dari perusahaan minyak swasta Amerika yang beroperasi di Indonesia.

Presiden Jokowi menyapa hadirin, berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Segera saja kamera disiapkan, untuk merekam momen bersalaman dan berbicara dengan pemimpin nomor satu. Saya berhasil merekam momen suami dan pejabat perusahaan minyak swasta tadi. Suami mengambil alih merekam momen saya menyalam Presiden Jokowi. Tanpa disadari, suami mengarahkan matanya secara penuh pada Presiden Jokowi, sehingga yang terekam dalam kamera hanyalah tangan saya dan tangan pemimpin nomor satu itu saat bersalaman! Tak ada wajah si empunya tangan dalam gambar…

Mantu

Presiden Jokowi sudah dua kali mantu. Bisa dibayangkan jumlah tamu undangannya, serta keribetan Wedding Organizer yang harus mengatur lancarnya prosesi pernikahan.

Suami membayangkan kesulitan dalam resepsi akibat padatnya tamu undangan sehingga memilih tetap meneruskan kegiatan kantor, tak menghadiri hajatan Kepala Negara walau mendapat undangan resepsi pernikahan Kahiyang Ayu, anak kedua Presiden Jokowi. Namun, putri sulungnya membujuk keras. Ia mengatakan, beruntung diundang menghadiri resepsi mantu Kepala Negara. Akan menjadi pengalaman berharga, bisa jadi pengalaman seumur hidup.

Suami pun tergugah. Diputuskan berangkat ke Solo pada hari resepsi. Tiket pesawat menuju Solo terjual habis saking banyaknya yang berkepentingan menghadiri acara mantu Presiden. Untung Garuda menambah rute penerbangan ke Solo menjelang hari mantu Kepala Negara. Tempat penginapan juga penuh, terpaksa menginap di pinggiran kota Solo.

Berkebaya dengan rambut dikonde menjadi standar dalam menghadiri resepsi pernikahan. Namun terbayang tantangan yang akan dihadapi jika mengandalkan penataan rambut di salon kota Solo. Bisa bernasib seperti tiket pesawat dan kamar hotel, penuh reservasi para tamu pernikahan. Saya dan putri sulung memutuskan menata rambut di Jakarta, terbang ke Solo pagi hari dengan rambut konde di kepala.

Masih ada tantangan lainnya. Undangan hanya berlaku bagi dua orang, sementara ada tiga orang anggota keluarga yang akan hadir dalam resepsi Kahiyang Ayu: suami, saya, dan putri sulung. Dengan kalem suami berkata, akan ada jalan keluar. Ternyata betul, ia mendapatkan akses masuk, masuk bersama tamu undangan yang datang sendiri, tak membawa istri.

Gelombang tamu dibagi dua, ada pembatasan lamanya tamu berada di tempat resepsi. Keluarga saya berada pada gelombang pertama sehingga bisa melihat iringan pengantin masuk. Namun tak disediakan fotografer yang mengambil gambar para tamu bersalaman dengan pengantin dan orangtua. Alhasil kenangan yang ada hanya gambar di photo booth yang disediakan, berlatar gambar pengantin Kahyang Ayu dan Bobby Nasution.

Resepsi pernikahan putri Presiden Jokowi sederhana. Dilakukan di kota Solo, kota asal keluarga Presiden, di Graha Saba Buana. Jika biasanya pejabat menggunakan mobil golf sebagai kendaraan shuttle dalam resepsi pernikahan, keluarga Presiden Jokowi memilih becak. Busana pengantin pun dijahit desainer kota Solo, bukan desainer kenamaan ibukota. Makanan yang disediakan serba lokal: martabak, satai, tempe gembus, jeroan dan serabi Solo. Souvenir pernikahan yang dibagikan pada tamu undangan pun sederhana: dompet besar serba guna yang terbuat dari kulit. Bisa diduga, dompet kulit serba guna itu buatan setempat. Tak ada nama pengantin yang tertulis, sehingga orang bisa lupa dimana diperoleh dompet kulit itu.

Presiden Jokowi dan keluarganya memang panutan dalam perihal kesederhanaan. Seperti kata pepatah Jawa, Urip Prasojo lan Sak Madyo, hidup di dunia ini seyogyanya tidak berlebihan dan bersikap sederhana.

Saat menaiki bus pulang, baru terasa beratnya kepala yang diganduli konde sejak pagi hari. Denyutan di kepala masih terasa walau konde sudah dilepas di kamar hotel. Putri sulung tak mengeluh, saya pun tak mengeluh. Ia betul, menghadiri resepsi mantu Kepala Negara menjadi kenangan tersendiri.

Kereta Bandara

Kereta bandara tersedia di banyak negara lain sejak awal tahun 2000, sementara kereta bandara baru diluncurkan di ibukota Jakarta pada 2 Januari 2018. Kereta bandara memudahkan pengunjung yang datang untuk melanjutkan perjalanan ke berbagai destinasi.

Pagi itu, di hari peresmian kereta bandara, bandara Soekarno Hatta dipenuhi pejabat tinggi dan para tamu undangan lainnya. Saya beruntung menjadi tamu undangan, berada di antara kerumunan itu. Semua hadirin memakai baju batik, mencerminkan acara resmi dan bersejarah.

Setelah beberapa saat ditunggu, Presiden Jokowi muncul. Beliau mengenakan celana jeans dan kaus tanpa kerah berlengan panjang, berwarna merah tua. Seperti biasa, beliau mengenakan sepatu kets, memudahkan langkahnya. Sangat kontras pemandangan di ruang bandara itu. Hadirin mengenakan kostum batik, sementara Kepala Negara mengenakan baju santai. Terdengar suara bernada kritik, menyayangkan pemandangan itu.

Namun, terlepas dari kepantasan busana di acara resmi, tetap saja semua hadirin berebut ingin berfoto bersama Presiden Jokowi. Segera setelah peresmian selesai dan Presiden Jokowi berkeliling seputar lokasi untuk mendengarkan penjelasan dari pejabat PT Kereta Api Indonesia, pengunjung beramai-ramai mengikuti langkahnya. Tidak gampang, karena Paspampres siap menghadang menjaga keselamatan Presiden. Ditambah lagi situasi akses ditutup, hanya pejabat tertentu yang diijinkan untuk masuk ke lokasi yang ditinjau Presiden dalam bandara itu.

Saya beruntung mendapat informasi, Presiden Jokowi akan berjalan di area tertentu. Dibantu oleh petugas, saya diijinkan masuk, melangkahi rantai pembatas. Dengan baju rok batik selutut, melangkahi rantai membutuhkan kesigapan, agar tak terjadi hal-hal memalukan. Setelah masuk area terbatas, saya harus ikut berebut menaiki eskalator, bersama beberapa orang lainnya yang ternyata mendapatkan akses yang sama. Lutut kaki saya terbentur ujung eskalator akibat dorongan dari orang-orang di sekitar. Tapi tekad bertemu Kepala Negara mengalahkan kepedulian akan kaki yang sakit.

Dan, saat tiba di puncak eskalator… terlihat sosok Presiden Jokowi berjalan dari arah berlawanan. Semua segera berlari mengejar, sebelum Presiden hilang dari pandangan. Saya dan beberapa ibu nekat lainnya berhasil mendekat. Presiden Jokowi menghadapi ibu-ibu dengan senyumnya yang ramah dan khas. Walau Paspampres menghalangi, Presiden Jokowi membiarkan ibu-ibu mendekat, melakukan aksi selfie. Presiden Jokowi memang tak menghentikan langkahnya, namun foto-foto selfie tetap bisa dilakukan dalam langkah pelan Kepala Negara itu.

Presiden Hipster

Gegap gempita di dalam Stadion Gelora Bung Karno (GBK) seakan siap meledakkan stadion olahraga itu pada hari pembukaan Asian Games XVIII tanggal 18 Agustus 2018.

Dimulai saat layar raksasa dalam GBK menayangkan Presiden Jokowi yang mengenakan jas hitam dan dasi merah duduk di dalam mobil dinasnya, menuju GBK. Di satu titik mobil Presiden terhadang kemacetan rombongan supporter Indonesia yang juga menuju GBK.

Presiden Jokowi memutuskan naik motor gede (moge) salah satu Paspampres-nya guna mengatasi kemacetan. Dengan helm hitam menutupi wajah, Presiden Jokowi menggerakkan mogenya menuju GBK.

Moge Yamaha FZ1 bukan motor yang mudah dikendarai, Paspampres yang terlatih mengendarai motor jenis itu. Namun moge yang dikendarai Presiden bergerak lincah, memperlihatkan aksi free style di jalanan, berhasil berhenti tepat di depan bajaj yang hampir menabraknya di jalan sempit. Walau terburu-buru, Presiden Jokowi tetap menghentikan mogenya, memberi kesempatan pada sekelompok anak-anak Pramuka yang menanti kesempatan menyeberang jalan.

Akhirnya Presiden Jokowi tiba di sisi luar GBK. Penonton menyambut riuh kedatangannya, dan bertambah riuh ketika sosok Jokowi yang mengendarai moge muncul di dalam stadion. Ia melambaikan tangan pada penonton dari atas mogenya. Lalu masuk ke bagian dalam stadion, untuk memarkir mogenya. Tak berapa lama kemudian layar raksasa menayangkan Presiden Jokowi yang muncul dari lift, benar-benar tampil di Royal Box GBK.

GBK yang berkapasitas hanya 83.083 kursi itu dipadati lebih dari 100.000 orang. Banyak yang tak mendapat tempat duduk, rela berdiri demi menyaksikan pembukaan Asian Games. Saya dan putri bungsu beruntung mendapat tempat duduk. Presiden Jokowi terasa dekat walau beliau duduk di Royal Box GBK. Layar raksasa mendekatkan keberadaan Kepala Negara dengan rakyatnya yang mengelukan pesta olahraga Asia itu.

Presiden Soekarno menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games di tahun 1960. Lima puluh delapan tahun kemudian, Presiden Jokowi berhasil menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games tahun 2018. Penonton di malam pembukaan, dan penonton pertandingan Asian Games di hari-hari berikutnya, menjadi bagian sejarah pesta olahraga Asia.

Aksi Presiden Jokowi dengan mogenya membuat beberapa penonton Korea menjulukinya sebagai Presiden Hipster, presiden gaul. Presiden sederhana itu berhasil memikat bukan saja warganya, tapi warga di seberang negeri.

Hari ini, 21 Juni, Presiden Jokowi merayakan ulang tahun ke enam puluh satu. Yang tergambar di kepala adalah sosok Presiden yang kerap membagi buku pada anak-anak, membagi kaus pada orang yang mengelukan kedatangannya di pinggir jalan, membagi sepeda pada mereka-mereka yang mampu menjawab kuis ringannya, diam-diam melakukan cek ulang kembali ke lokasi kebakaran lahan di Banjarmasin dan menemukan mobilisasi pura-pura kerja saat kunjungannya. Presiden yang satu ini memang beda. Presiden yang satu ini tetap sederhana, meski beliau memiliki akses dan kesempatan untuk menggunakan fasilitas kemewahan.  Selamat ulang tahun Bapak Presiden Jokowi!