Adriani Sukmoro

Pemimpin Tersembunyi

Organisasi korporasi membutuhkan kehadiran seorang pemimpin. Pemimpin bertanggung jawab atas keberhasilan perusahaan mencapai visi dan misi organisasi. Karena itu pemimpin perlu memastikan, bahwa segala kegiatan, prosedur, proses, dan struktur organisasi mendukung pencapaian visi dan misi organisasi. Seseorang diangkat menjadi Chief Executive Officer (CEO) karena kemampuannya dalam melihat peluang bisnis, membentuk strategi bisnis, mengarahkan seluruh armada organisasi melangkah ke depan, dan aspek kepemimpinan lainnya.

Situasi di Luar Kontrol

Kualitas kepemimpinan CEO dapat dirasakan dalam sendi-sendi organisasi. Biasanya karyawan akan memberi komentar positif untuk CEO yang menonjol dengan mengatakan: CEO kita bagus, mau mendengar. Atau CEO kita jelas orangnya, mengomunikasikan strategi bisnis dengan bahasa yang mudah dimengerti. Atau CEO kita pengambil keputusan yang cepat, coba saja menghadap beliau dengan pemikiran dan beberapa opsi, beliau akan segera menimbang dan memutuskan.

Persaingan bisnis menjadi makanan sehari-hari CEO dalam mengelola organisasi. Karena itu mengawasi kinerja kompetitor adalah hal yang lumrah dilakukan. Namun tantangan bisnis menjadi tidak biasa jika hal-hal yang tidak diharapkan muncul tiba-tiba, dan merusak rencana bisnis yang telah ditetapkan. Seperti wabah virus Corona yang datang sejak 2019 dan belum sirna hingga sekarang. Dampak ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 sungguh dahsyat, membuat resesi global.

Situasi tak terduga ini menjadi situasi di luar kontrol. Beberapa CEO mampu mengambil langkah cepat, beradaptasi, dan memimpin perubahan dalam organisasi. Strategi bisnis disesuaikan dengan ‘normal baru’. Namun banyak juga CEO yang tak mampu menanggapi perubahan, perusahaan lambat bertindak, akhirnya terjebak dalam jaring-jaring resesi ekonomi.

Situasi tak terduga menjadi ujian kepemimpinan bagi pimpinan organisasi. Seorang CEO yang dikenal hebat bisa saja menjadi tidak hebat saat menghadapi situasi yang di luar kontrol. Perusahaan menjadi tak berdaya, dan terancam tergerus oleh perubahan yang terjadi.

Pegunungan Andes

Situasi tak terduga terjadi dalam penerbangan pesawat Angkatan Udara Uruguay 571 tanggal 13 Oktober 1972. Pesawat itu disewa khusus, membawa 45 orang penumpang, terdiri dari tim rugby Uruguay, beberapa anggota keluarga serta teman mereka, dan kru pesawat. Pesawat itu terbang dari Montevideo, Uruguay menuju Santiago, Chili dalam cuaca buruk berawan.

Kesalahan terjadi ketika Kopilot salah membaca instrumen pesawat, mengira mereka telah mencapai kota Curico, dan hanya membutuhkan sekitar empat puluh tiga menit lagi mencapai Santiago, Chili. Pilot pun menurunkan ketinggian terbang pesawat (descending). Tindakan ini terlalu cepat dilakukan. Akibatnya pesawat menabrak pegunungan Andes di ketinggian 11.710 kaki (3.569 meter). Pegunungan Andes di bulan Oktober itu ditutupi salju tebal. Pesawat meluncur bebas di atas salju, seperti kereta luncur menuruni jalanan curam, lalu terhenti setelah menyeruduk gundukan gletser. Ekor pesawat lepas, kedua sayapnya patah. Yang tersisa hanya badan pesawat.

Seluruh penumpang terkejut dan tak percaya. Situasi di luar kontrol terjadi. 12 orang penumpang meninggal, 33 penumpang lainnya selamat. Sebagian besar di antaranya mengalami luka tubuh. Situasi di luar kontrol ini membuat penumpang yang selamat shock, bingung, galau. Mengapa mereka mengalami kecelakaan pesawat? Bagaimana nasib mereka, terdampar di puncak gunung tinggi yang dingin ditutup salju? Apakah akan datang pertolongan menyelamatkan mereka?

Naluri Bertahan Hidup

Ketika sebagian penumpang yang selamat masih terperangkap dalam keterkejutan, beberapa penumpang yang tidak terluka bertindak. Mereka memberi pertolongan pada yang membutuhkan. Marcelo Perez, kapten tim rugby yang kebetulan tidak terluka, bertindak menenangkan suasana. Ia tahu, mereka berada dalam situasi tak ideal di pegunungan Andes.

Ia menggerakkan penumpang yang tak terluka untuk mengumpulkan koper-koper, menjadikannya sebagai penutup celah terbuka, menghalangi masuknya angin dingin ke dalam pesawat. Marcelo juga berusaha membangkitkan semangat penumpang, bahwa bantuan akan segera datang, pasti akan dilakukan pencarian pesawat mereka yang hilang. Penumpang yang meninggal segera dikuburkan dalam balutan salju.

Akal pun digunakan menghadapi situasi di luar kontrol itu. Mereka beruntung, ada radio yang bisa digunakan untuk mendengar berita tentang usaha pencarian pesawat mereka yang hilang. Pakaian tipis yang mereka kenakan ditutupi dengan selimut yang diambil dari penutup bangku penumpang (seat cover). Sepatu penahan dingin salju diambil dari bantalan bangku penumpang. Air minum diperoleh dengan menggunakan aluminium dari belakang tempat duduk yang bisa menghangatkan salju sehingga cair. Ketika sinar matahari muncul, kacamata penahan sinar tajam diambil dari kaca depan pesawat. Sedapat mungkin apa yang ada dalam pesawat digunakan. Mereka tak punya apa-apa, koper mereka sudah tak jelas di mana, mereka tak siap untuk camping di atas pegunungan Andes.

Hal terberat adalah mendapatkan makanan. Coklat dan makanan kecil yang ditemukan di koper sudah habis dimakan dalam waktu seminggu. Tak ada tumbuhan dan binatang berkeliaran di puncak gunung tinggi itu.

Maka terjadilah sejarah mempertahankan hidup. Fernando Parrado, yang dipanggil dengan nama kecil Nando, adalah salah satu anggota tim rugby yang selamat. Ia melontarkan pemikirannya. Tak ada pilihan bagi mereka selain memakan daging penumpang yang telah meninggal dan dikuburkan di tumpukan salju. Idenya ditolak, tak terpikirkan memakan tubuh manusia, walau mengandung protein yang bisa membantu mereka bertahan hidup. Dibutuhkan beberapa hari untuk mengatasi pergelutan antara prinsip hidup dan realitas.

Ketahanan Mental

Penantian datangnya penyelamatan sangat menyiksa. Apalagi beberapa penumpang yang selamat akhirnya meninggal satu per satu karena luka tubuh yang dalam. Ditambah dengan datangnya longsoran salju di tengah malam yang menewaskan beberapa di antara mereka.

Kekuatan mental pun diuji. Bagaimana untuk tetap fokus dalam situasi yang tak berdaya, situasi di luar kontrol?

Ketika mendengar berita radio di hari ke sepuluh penantian, Marcelo Perez, kapten tim rugby yang bertindak sebagai pemimpin selama masa penantian, menjadi kehilangan harapan. Berita radio mengabarkan bahwa pencarian pesawat Angkatan Udara Uruguay 571 dihentikan, pesawat hilang itu dianggap sudah jatuh di suatu tempat dan seluruh penumpangnya meninggal. Marcelo jadi menarik diri, melepaskan kepemimpinannya. Ia menyerah, tak bisa lagi fokus.

Tekanan situasi ini berdampak, pemimpin yang menyerah menular pada penumpang lainnya. Tak ada lagi pemimpin mereka.

Memimpin di Situasi Kritis

Fernando Parrado (Nando) dikenal ramah dan selalu berpikir positif oleh sesama anggota tim rugby. Ia bepergian bersama ibu dan saudara perempuannya dalam penerbangan ke Santiago itu. Walau sempat bersedih ketika ibu dan saudara perempuannya akhirnya meninggal, ia tahu tak bisa berlama-lama larut dalam kesedihan. Apalagi berita radio tentang pencarian pesawat yang dihentikan semakin meyakinkan Nando bahwa ia tak bisa tinggal diam menunggu. Mereka harus mencari jalan menyelamatkan diri. Jalan satu-satunya adalah dengan trekking keluar dari pegunungan tinggi dan mencari daratan yang ada kehidupan.

Seperti penolakan ketika Nando melontarkan ide memakan daging dari tubuh korban yang meninggal, tak ada yang berani mengikuti pemikiran Nando. Rencana trekking sepanjang pegunungan Andes yang sangat dingin itu terdengar seperti rencana bunuh diri.

Nando tahu ia membutuhkan pendamping dalam trekking untuk mengalahkan pegunungan Andes yang tak mereka kenal medannya (unknown situation). Nando berhasil meyakinkan Roberto Canessa, salah seorang penumpang lainnya, untuk melakukan trekking keluar. Namun ketakutan Roberto sempat membuat trekking tertunda, ia berdalih menunggu waktu yang tepat untuk mendapatkan udara yang lebih tidak dingin. Nando memainkan peran penting bagi semua penumpang yang selamat. Ia kini menjadi penyemangat, penguat, dan pembuka mata terhadap realitas yang mereka hadapi.

Tanggal 12 Desember 1972, di hari ke-61 setelah pesawat jatuh, Nando dan Roberto memulai perjalanan trekking keluar. Perjalanan mencari bantuan yang sangat melelahkan. Hanya kekuatan mental dan kebulatan tekad yang membuat mereka bertahan selama tujuh hari: menjalani trekking sepanjang 54 kilometer, mendaki ke puncak gunung untuk melihat arah dari tempat yang tinggi, melintasi jurang gletser dan lereng berbatu curam, mengarungi arus deras, dan akhirnya melalui semak belukar tinggi dan tebal.

Pemimpin Tersembunyi

Nando, anggota tim rugby yang ramah dan selalu berpikiran positif itu, telah menjadi pemimpin penyelamatan mereka-mereka yang masih bertahan hidup terperangkap di pegunungan Andes. Nando bisa tetap fokus dalam situasi di luar kontrol. Tanpa disadari olehnya, maupun oleh orang lain, Nando memiliki kepemimpinan yang kuat dalam menghadapi situasi yang tak biasa. Kepemimpinan yang belum terasah sebelum terjadinya kecelakaan pesawat itu.

Nando dan Roberto berhasil mencapai dataran tanah landai dan ditemukan petani Chili. Nando membawa tim penyelamat ke lokasi jatuhnya pesawat Angkatan Udara Uruguay 571. Empat belas penumpang yang masih hidup berhasil diselamatkan. Penantian selama 72 hari telah selesai.

Berpuluh tahun kemudian, Nando Parrado membagi pesannya. “As we used to say in the mountains: Breathe. Breathe Again. With every breath, you are alive. After all these years, this is still the best advice I can give you: Savor your existence. Live every moment. Do not waste a breath.”