Ketika melihat-lihat buku di toko buku Gramedia, ada satu buku yang menarik perhatian. Bukan karena judulnya, bukun karena cover-nya. Tapi karena nama penulisnya: Sobron Aidit. Nama belakang penulis itu terdengar familiar di telinga. Ketika membalik beberapa halamannya untuk mencari tahu tentang apa isi buku itu, dugaan saya ternyata betul. Nama belakang penulis itu berhubungan dengan D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lampau. Sobron Aidit adalah adik tiri D.N. Aidit.
Restoran Indonesia di Paris
Nama Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) saya kenal ketika duduk di Sekolah Dasar. Nama itu dibahas dalam pelajaran sekolah.
Semua murid sekolah di tanah air memahami, bahwa pada tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang Jenderal dan seorang Perwira. Peristiwa bersejarah itu dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S/PKI. D.N. Aidit dan PKI dituduh sebagai dalang peristiwa tersebut. Ia ditangkap di Solo, dan dihukum mati oleh militer pada tahun yang sama. Hingga kini tak diketahui di mana makamnya.
Saya merasa agak terkejut ketika melihat buku berjudul ‘Kisah Intel dan Sebuah Warung’ yang ditulis Sobron Aidit. Sepanjang hayat saat itu, buku-buku yang ditulis orang yang terkait dengan PKI atau mempunyai hubungan dengan pengikut PKI dilarang. Sehingga timbul keingintahuan besar terhadap buku Sobron Aidit yang saya temukan di Gramedia, apa isi buku itu dan mengapa Gramedia berani menjualnya secara terbuka?
Isi buku itu menceritakan pengalaman hidup Sobron Aidit sebagai orang terusir dari tanah air sendiri. Ia tak bisa pulang ke Indonesia di zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Ia dan keluarganya tinggal di Paris, Perancis; membuka bisnis restoran sebagai mata pencaharian. Sebagai orang terusir, kehidupannya tak pernah tenang sepenuhnya. Secara berkala ‘orang Indonesia tertentu’ datang ke restorannya. Makan di restoran itu dan memperhatikan suasana restoran dengan saksama, mencari tahu siapa saja pengunjung restoran itu. Sobron menduga, orang tertentu itu intel yang memata-matai kegiatan di restorannya. Karena itu bukunya diberi judul ‘Kisah Intel dan Sebuah Warung’, cerita tentang restoran yang kerap dimata-matai intel.
Beberapa waktu kemudian, saya menemukan lagi buku lainnya yang ditulis Sobron Aidit. Buku itu berjudul ‘Razia Agustus’, lagi-lagi menceritakan pengalaman hidupnya yang terdampar di Paris. Saya baru menyadari, setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998, buku-buku Sobron Aidit diterbitkan oleh percetakan dalam negeri dan dipasarkan dengan bebas.
Dari berbagai informasi media yang saya dapatkan, saya menjadi tahu bahwa Sobron Aidit gemar menulis sejak remaja. Tulisannya diterbitkan beberapa surat kabar dan majalah. Dari tempat asalnya di Belitung, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia di Jakarta. Keputusan melanjutkan pendidikan di universitas ternama di tanah air pada masa itu memberi gambaran pikiran Sobron Aidit yang maju. Mengecap pendidikan tinggi bukan hal yang umum ketika itu.
Ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA), sekaligus sebagai wartawan di surat kabar berhaluan kiri. PKI bukan partai terlarang pada masa itu, sehingga Sobron Aidit sebagai pengikut PKI bebas menulis pandangan dan pemikirannya.
Sobron mendapat undangan mengajar di Institut Bahasa Asing di Beijing, Cina pada tahun 1963. Ia pun memboyong keluarganya ketika memutuskan menerima undangan itu. Tak pernah terlintas di pikirannya, perubahan politik membuat ia dan keluarganya terperangkap di Cina, tak bisa pulang ke tanah air. Hubungan darah dengan abang tirinya, D.N. Aidit, dan pandangannya yang berhaluan kiri membuat ia menjadi berseberangan dengan pemerintahan Presiden Soeharto. Apalagi ia tak mau menyatakan ketidaksetiaannya pada mantan Presiden Soekarno. Paspor Indonesianya dicabut, sehingga tak bisa pulang ke tanah air.
Sobron Aidit dan keluarganya sempat merasakan imbas dari Revolusi Kebudayaan di Cina, dimana mereka terpaksa mengikuti perintah, dikirim ke desa untuk bekerja sebagai petani hingga Revolusi Kebudayaan di Cina usai.
Orang-orang Indonesia yang bernasib sama seperti Sobron Aidit, cenderung memilih Belanda sebagai tempat tinggal. Namun Sobron Aidit memutuskan meninggalkan Cina dan hidup di Paris, Perancis. Bersama beberapa orang Indonesia yang berstatus sama dengannya dan tinggal di Paris, Sobron Aidit mendirikan restoran yang menyediakan menu makanan Indonesia di jalan Vaugirard (Rue de Vaugirard).
Eksil
Di suatu malam bulan November tahun 2023 lalu, saya mengerjakan pekerjaan kantor di komputer sambil mengikuti acara televisi. Siaran Festival Film Indonesia (FFI) berlangsung di layar kaca televisi. Saya tak terlalu menyimak acara itu hingga sosok Lola Amaria muncul di atas panggung. Film dokumenter panjang berjudul Eksil yang dibuatnya diumumkan sebagai pemenang.
Sosok Lola Amaria menarik perhatian karena metamorfosa yang dilaluinya: dari kontestan Wajah Femina, menjadi seorang model, lalu menjadi pemeran, hingga berkembang menjadi produser film dan sutradara. Film Minggu Pagi di Victoria Park mengantarnya masuk dalam nominasi Sutradara Terbaik FFI 2010, menunjukkan hasil kerjanya yang berkualitas.
Dalam pidatonya saat menerima piala Citra untuk film Eksil, Lola Amaria mengatakan ia masih berjuang meloloskan film itu diputar di bioskop. Ia berharap film Eksil segera bisa ditonton khalayak ramai, film itu menjadi bagian sejarah yang tak dapat dilupakan.
Saya pun menjadi penasaran, meluangkan waktu menonton film Eksil ketika film itu akhirnya tayang di bioskop. Film berdurasi dua jam itu menceritakan perjuangan hidup kaum terusir akibat bias pergolakan politik setelah terjadinya G30S/PKI. Mereka dituduh terlibat atau menjadi bagian dari gerakan PKI.
Film yang dibuat mulai tahun 2015 itu menampilkan beberapa narasumber, para narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol). Mereka tinggal di berbagai negara: Belanda, Cekoslowakia, Swedia, Jerman. Apa yang dikisahkan narasumber film Eksil kurang lebih sama dengan cerita yang ditulis Sobron Aidit dalam buku-bukunya.
Sobron Aidit tak berpartisipasi dalam film Eksil. Ia telah meninggal dunia tahun 2007, sebelum film itu dibuat.
Rindu Tanah Air
Diperkirakan sekitar 1.500 orang Indonesia yang tak bisa pulang ke tanah air setelah peristiwa G30S/PKI. Mereka dituduh terlibat dalam partai terlarang itu, paspornya dicabut, terpaksa pindah kewarganegaraan di negara yang mau menerima mereka. Narasumber film Eksil menyuarakan kerinduan yang dalam akan tanah air. Jika bisa memilih, mereka ingin tinggal di negeri sendiri. Mungkin seperti pepatah yang mengatakan, hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Bagaimana pun senangnya hidup di negeri orang, kerinduan untuk hidup di negeri sendiri bersama sanak keluarga tetap bersemayam di hati dan pikiran.