Beberapa hari yang lalu pesta kembang api terdengar riuh rendah di menit-menit pergantian tahun 2021 ke 2022. Cukup lama, dari pukul 00.00 hingga 00.30 pagi. Beberapa kali bunyi kembang api susulan terdengar hingga menjelang pukul 01.00 dinihari. Foto-foto perayaan malam tahun bertebaran di media sosial. Sejenak orang melupakan situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, banyak orang menikmati malam pergantian tahun dengan gembira.
Resolusi
Mendekati pergantian tahun, banyak orang membuat resolusi. Resolusi itu sifatnya pribadi. Karena itu, resolusi dibuat sendiri, tidak beramai-ramai. Resolusi merupakan self-efficacy, suatu keyakinan atau kepercayaan diri individu mengenai kemampuannya melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, menghasilkan sesuatu. Jadi seperti janji pada diri sendiri untuk mulai melakukan sesuatu yang baik.
Saya pribadi melihat resolusi sebagai alat pendorong untuk maju dua belas bulan ke depan. Setidaknya berpikir tentang apa saja yang harus dilakukan di tahun berikutnya. Biar lebih fokus dan terarah.
Resolusi Sesuai Kebutuhan
Di masa muda dulu, saat diterima di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), apa resolusi akhir tahun yang ada di kepala? Sangat sederhana: ingin bisa menyanyi bersama para artis yang kuliah di UI. Maklum, banyak artis berkeliaran di kampus berjaket kuning itu. Dan resolusi kesampaian pula! Bagaimana tidak bahagia saat itu, bisa sepanggung dengan Tika Bisono, band Solid 80, dan Chandra Darusman cs walau hanya jadi selingan bersama Paduan Suara UI dimana saya bergabung. Apalagi kemudian beruntung bisa menyanyi dalam acara TVRI bersama Christine Panjaitan dan Ikang Fawzi. Langsung saja terjadi pemberitahuan ke segenap handai taulan: jangan lupa nonton, masuk TV nih, bareng artis ibukota yang kuliah di UI! Padahal wajah tidak pernah di-close-up kamera, hanya menjadi latar gerak bersama mahasiswa Psikologi lainnya…
Saat kuliah di tingkat akhir, resolusi akhir tahun terpusat seputar kelulusan, harus jadi sarjana di tahun depan. Resolusi kesampaian, bukan hanya sekedar lulus, lulusnya bersama kakak kelas, belum ada teman seangkatan yang lulus. Bisa dibayangkan acara wisuda bersama kakak kelas, itu baru namanya kesepian di tengah keramaian. Kiri-kanan-depan-belakang semua kakak kelas, tak bisa sembarangan.
Waktu bergulir, gelar sarjana sudah di tangan, usia sudah pertengahan kepala dua. Bisa ditebak, apa resolusi di akhir tahun itu. Betul, resolusi mendapat pekerjaan dan menikah sebelum keburu kadaluwarsa.
Begitulah, resolusi manusia tak ada habis-habisnya. Dengan bertambahnya usia, resolusi semakin bervariasi. Ada yang mau berhenti merokok, ada yang bertekad mengurangi berat badan (bahkan menetapkan target berat badan yang harus dicapai), ada yang mau mendisiplinkan diri olahraga minimum dua kali seminggu, ada yang berjanji untuk minum air putih minimum delapan gelas sehari.
Tahun Baru Memanjakan Diri?
Banyak orang memanjakan diri setelah pergantian tahun. Bangun siang (karena tidur telat setelah pesta kembang api), sarapan lebih molor dari biasanya, lalu keluar rumah untuk cuci mata di tempat-tempat favorit.
Namun memanjakan diri di pergantian tahun tak berlaku bagi sebagian orang lainnya. Mereka beranjak tidur seperti hari-hari kemarin, lalu bangun pagi seperti biasa di tahun baru 1 Januari. Mereka pergi bekerja, melakukan rutinitas demi menyambung hidup.
Tanggal 1 Januari Pak Nelayan pergi melaut, hasil tangkapannya menentukan berapa uang yang bisa ia bawa pulang ke rumah. Buruh harian terlihat menyapu di pelabuhan, gajinya akan dipotong jika ia bolos bekerja di tahun baru itu. Penyortir sayur-sayuran melakukan tugasnya agar sayur berkualitas segera dipasarkan di pasar dan berbagai pusat perbelanjaan.
Bagi mereka, 1 Januari sama seperti tanggal-tanggal lainnya. Kehidupan harus bergulir, anggota keluarga perlu diberi makan. Sementara sebagian orang menghentikan tahun baru dengan tidak melakukan apa-apa, menikmati 1 Januari sebagai kesempatan untuk relaksasi diri, tubuh dan pikiran bebas dari ketegangan dan kecemasan.
Terus Berkarya
Apapun resolusi yang ada di dalam kepala, penting untuk merealisasikan resolusi itu. Jangan sampai seru di awal tahun, kemudian memudar dengan berjalannya waktu. Akhirnya resolusi tak pernah terwujud.
Kita bisa belajar dari keteguhan Pak Nelayan melaut di tahun baru, buruh pelabuhan yang tetap bekerja, penyortir sayuran yang melakukan tugasnya, supir kendaraan umum yang setia mengangkut penumpang, serta banyak lagi mereka-mereka yang terus berkarya tanpa mengenal hari itu hari apa. Kelangsungan hidup mendorong mereka untuk terus berkarya, tak ada resolusi muluk-muluk yang dibuat. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: “Di sana, di kampung nelayan, tetesan deras keringat membuat orang tak sempat membuat kehormatan, bahkan tak sempat mendapatkan nasi dalam hidupnya, terkecuali jagung tumbuk yang kuning. Betapa mahalnya kehormatan dan nasi.”