American Express Bank, bank asing yang berkantor pusat di New York, mengadakan Human Resources World Conference setiap dua tahun. Konferensi tersebut wadah berkumpul bagi para Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dari seluruh cabang bank itu yang berada di berbagai penjuru dunia. Konferensi global seperti itu sangat bermanfaat. Para Direktur SDM mendapatkan firsthand information, informasi terkini tentang arahan bisnis langsung dari pimpinan SDM nomor satu bank itu. Sekaligus juga kesempatan untuk melekatkan mereka dengan organisasi (employee engagement).
Selain tujuan yang bermanfaat itu, konferensi ditunggu-tunggu karena selalu diadakan di Amerika Serikat, di kota berbeda-beda. Kesempatan yang selalu digunakan para pimpinan SDM untuk mengenal berbagai kota negeri Paman Sam.
Senandung Masa Kecil
Rasa senang menyelimuti saat bergabung dengan American Express Bank. Sebuah surel masuk berisi pemberitahuan, Human Resources World Conference akan diselenggarakan perusahaan itu di tahun saya bergabung.
San Fransisco dipilih sebagai lokasi konferensi. Nama kota itu tak asing, sudah terngiang di telinga sejak kecil. Sebuah lagu populer yang bercerita tentang San Fransisco sering diputar di radio, dinyanyikan Scott McKenzie. Penyanyi itu mengajak pendengarnya memakai bunga di rambut jika berkunjung ke San Fransisco. Walau tak mengerti artinya saat itu, tapi nama kota San Fransisco menjadi melekat.
Letak San Fransisco di bagian barat Amerika Serikat. Kota itu menjadi salah satu entry gate ke Amerika Serikat, membuat penerbangan ke San Fransisco tak merepotkan.
Penat akibat penerbangan panjang dari Jakarta ke San Fransisco sirna setelah menyadari letak hotel Grand Hyatt, hotel tempat konferensi dilangsungkan, yang berada di pusat kota. Hotel itu berlokasi di Jalan Stockton, yang sangat dekat dengan Union Square, pusat distrik bisnis. Seluruh peserta konferensi menginap di hotel tersebut.
Langsung saja bergegas ke luar hotel setelah proses check in selesai. Beberapa waktu lamanya menelusuri Union Square sendirian. Berbagai barang bermerek dipajang di etalase toko. Restoran dari berbagai negara bisa ditemukan di pusat komersial kota ini. Ada penyanyi amatir di sana sini yang ngamen mencari uang, kebanyakan menggunakan gitar sebagai alat pengiring musik.
Frisco, Kota di Pinggir Teluk
Tak ada yang tahu persis mengapa ada yang menyebut San Fransisco dengan nama Frisco. Ada yang menduga, nama pendek itu berasal dari pemabuk yang sedang berada di kota itu. Penghuni San Fransisco biasanya tak sudi kotanya disebut dengan Frisco. Nama pendek itu dianggap tak menghormati Santo Fransiskus dari Asisi (St Francis of Asisi), nama biarawan gereja Katolik yang digunakan sebagai nama kota itu.
Pak Pos juga menolak mengirimkan surat, dokumen, atau barang kiriman lainnya, jika pengirim hanya menulis Frisco, bukan San Fransisco, sebagai alamat kota yang dituju. Hal ini berhubungan dengan adanya kota lain yang resmi bernama Frisco di negara bagian Texas.
Orang Amerika memberi julukan nama bagi beberapa kota besar. Jika Atlanta disebut The Big Peach karena banyak pohon persik (peach tree) di kota itu, New York disebut The Big Apple karena banyaknya lomba pacuan kuda dengan hadiah luar biasa diadakan di kota itu, dan kota New Orleans disebut The Big Easy karena penduduknya yang cenderung santai tak dikejar waktu, maka San Fransisco disebut sebagai City by the Bay karena letaknya di pinggir teluk.
Trem dan Jalan ‘Bergelombang’
Selama beberapa hari mengikuti konferensi SDM, saya dan beberapa kolega pimpinan SDM dari Asia Tenggara sempat jalan-jalan seputar Union Square beberapa kali. Rasa ingin tahu tergugah saat melihat banyak orang berkumpul di persimpangan jalan Powell dan Market. Sempat menduga keramaian itu karena ada obral besar di toko penjual barang bermerek di area itu. Ternyata orang-orang berkumpul di sana menyaksikan perputaran trem secara manual.
Waktu konferensi yang padat tak memungkinkan mencoba menaiki trem yang terus berseliweran. Namun sempat menapaki jalan di kota San Fransisco yang seperti ‘bergelombang’. Saya dan beberapa peserta konferensi berolahraga jalan kaki di pagi hari, merasakan tantangan jalan yang mendaki dan menurun. Cukup terjal tanjakan dan turunan jalan-jalan tersebut.
Jalan mendaki dan menurun itu disebabkan karena kota San Fransisco dibangun di medan berbukit. Saat pembangunan kota itu, jalan-jalannya sengaja dibangun mengikuti kontur tanah asli, tidak diratakan. Karena itu jalan-jalan tersebut mengikuti kontur bukit, menjadi pendakian bagi yang menuju bagian atas kota, dan menurun bagi yang menuju bagian bawah kota.
Lutut kaki dipaksa bekerja, mengikuti instruktur jalan pagi yang berjalan cepat, membawa rombongan mengitari beberapa tempat. Terpaksa berusaha mengimbangi semua langkah peserta, takut ketinggalan rombongan dan bingung mencari jalan pulang ke hotel.
Kota Berangin
Beberapa tahun kemudian, kesempatan mengunjungi San Fransisco muncul kembali. Dua anggota keluarga melanjutkan pendidikan ke negeri Paman Sam di waktu berbeda, dan memilih college yang letaknya dekat San Fransisco. Kunjungan ke San Fransisco pun dilakukan beberapa kali selama anggota keluarga tadi kuliah.
Kunjungan selalu dilakukan pada musim panas (summer). Walau bebas memakai baju apapun di musim panas, namun baju hangat (sweater) atau jaket ringan harus selalu ada di dalam tas. San Fransisco kota berangin, windy city; angin bertiup lumayan kencang di sore dan malam hari. Letaknya di semenanjung antara Laut Pasifik and Teluk San Fransisco, membuat kota itu mendapat tekanan udara tinggi dari Laut Pasifik, terutama di musim panas.
Angin yang lumayan mengganggu di sore dan malam hari membuat acara plesir di San Fransisco lebih banyak dilakukan pagi hingga siang hari.
Jaring-jaring Nyawa
Jembatan Golden Gate di San Fransisco sangat terkenal, dianggap sebagai jembatan terpopuler di negeri Paman Sam. Turis yang berkunjung pasti tak melewatkan kesempatan berfoto dengan latar belakang Golden Gate, menunjukkan keberadaan mereka di San Fransisco.
Sama saja seperti turis lainnya, saya pun menyediakan waktu mampir melihat jembatan Golden Gate. Pemandangan jembatan itu bisa dinikmati dari berbagai sudut, tapi keluarga saya memilih area Battery Spencer. Dari tempat ini, bisa terlihat jembatan Golden Gate dengan latar belakang kota San Fransisco. Sebagian turis mengambil jalur Golden Gate Promenade, agar mereka bisa melintasi jembatan itu dengan berjalan kaki atau naik sepeda.
Dibangun tahun 1933, jembatan itu dibuka untuk umum empat tahun kemudian, tahun 1937. Di usianya yang ke delapan puluh enam tahun sekarang ini, jembatan Golden Gate telah memakan sekitar seribu delapan ratus korban jiwa, yang mengakhiri hidupnya dengan melompat dari jembatan Golden Gate ke Laut Pasifik yang dalam. Tiga puluh lima di antaranya berhasil diselamatkan. Keadaan ini membuat pemerintah setempat membuat jaringan pengaman (safety net) untuk menghalangi orang yang ingin bunuh diri dengan melompat dari jembatan Golden Gate.
Alcatraz
Ketika masih duduk di sekolah menengah, film Escape from Alcatraz yang dibintangi Clint Eastwood menjadi box office, ramai dibicarakan dan ditonton. Film itu mengangkat kisah nyata, tentang keberhasilan tiga narapidana (napi) menembus penjara Alcatraz yang dikenal sangat ketat tahun 1962. Penjara Alcatraz terletak di Pulau Alcatraz, bagian dari San Fransisco.
Pulau Alcatraz dikelilingi air yang dingin dan arus yang kuat. Sulit membayangkan ada napi yang bisa melarikan diri, mereka harus berenang sejauh dua setengah kilometer untuk mencapai daratan.
Ketiga napi itu melarikan diri dengan merancang perahu rakit dari jas hujan. Walau tak diketahui kelanjutan nasib ketiga napi pelarian itu, apakah mereka selamat atau mati di tengah laut, keberhasilan mereka mengelabui sipir penjara sungguh menggemparkan di masa itu.
Berbagai tawaran tur ke penjara Alcatraz tersedia di San Fransisco. Saya dan keluarga memilih tur yang hanya mengitari pulau Alcatraz, tak mampir melihat ke dalam penjara. Penjara Alcatraz sudah ditutup sejak tahun 1963 karena biaya pemeliharaan yang tinggi.
Mendekati Alcatraz, angin bertiup kencang walau masih pagi hari. Bau kotoran burung tercium saat kapal mengitari pulau Alcatraz. Kicau burung pun terdengar ramai di pulau itu. Penjara Alcatraz sudah tak berpenghuni, burung-burung laut yang meramaikan penjara itu sekarang, diselingi turis yang datang karena keingintahuan.
Pier 39
Keberangkatan ke Alcatraz tadi dilakukan dari Pier 39, dermaga yang terletak di distrik nelayan, Fisherman’s Wharf. Usai mengikuti tur mengitari Alcatraz, waktu pun disediakan untuk melihat berbagai hiburan, window shopping, dan pemandangan di Pier 39.
Ada beberapa jalur trem di San Fransisco, di antaranya jalur F, yang berputar di Fisherman’s Wharf. Setelah puas berkeliling di Pier 39, keluarga saya memanfaatkan trem jalur F menuju pusat kota, mencari restoran untuk makan siang. Naik trem jalur F ini memberi pengalaman yang asyik. Saya bisa menikmati pemandangan indah dan ikonik sambil merasakan atmosfer yang khas dari San Francisco.
Tak heran berbagai film Hollywood dibikin di kota ini. Selain Escape from Alcatraz yang mengangkat kisah nyata, saya ingat bagaimana Will Smith dan putranya Jaden Smith berlari-lari dengan latar trem San Fransisco, saat mereka mengejar tempat menginap di rumah penampungan tunawisma (shelter) dalam film The Pursuit of Happyness. Film lainnya seperti Vertigo karya Alfred Hitchcock, Sister Act yang dibintangi Whoopi Goldberg, film James Bond A View to A Kill, juga mengambil lokasi shooting di San Fransisco.
Kota Kumuh
Sudah lebih sepuluh tahun lalu saat terakhir mengunjungi San Fransisco. Lumayan terkejut ketika menerima kiriman video singkat dari kolega, yang menggambarkan keadaan San Fransisco saat ini. Kota itu kini dihuni tunawisma yang cukup tinggi jumlahnya, mereka tinggal semaunya di jalanan. Sebagian tunawisma itu memiliki gangguan mental, ada yang pecandu narkoba, dan sebagian lagi orang-orang yang tak mampu memiliki tempat tinggal karena biaya perumahan yang tinggi di kota itu.
Pecandu narkoba datang ke San Fransisco karena kota itu relatif toleran terhadap penyalahgunaan narkoba. Disamping itu, San Francisco memiliki sejumlah besar lembaga dan organisasi yang menawarkan layanan dan dukungan bagi pecandu narkoba, termasuk program penggantian metadon, pusat perawatan kesehatan, dan fasilitas rehabilitasi. San Francisco menjadi tujuan bagi pecandu narkoba yang mencari perawatan dan bantuan.
Masalah tunawisma itu menjadi kompleks. Krisis sampah dan kebersihan menjadi tantangan baru bagi San Fransisco. Sampah menumpuk, jalan-jalan dan tempat umum terlihat kotor. Kehadiran tunawisma, termasuk peningkatan penggunaan dan perdagangan narkoba, berdampak negatif pada keamanan dan kesejahteraan penduduk kota itu. Banyak warga yang mulai mempertanyakan pemerintah setempat, merasa prihatin tentang sanitasi dan lingkungan kota yang rawan untuk dihuni.