Laki-laki memakai sarung kotak-kotak menjadi pemandangan umum di pemukiman perkebunan karet milik perusahaan negara. Warnanya berbeda-beda, tapi motifnya sama, kotak-kotak. Sarung digunakan laki-laki yang berusia tua dan sebagian anak muda atau remaja. Biasanya mereka mengenakan sarung saat di rumah, santai duduk di mana saja, sambil ngobrol atau minum kopi, atau sekadar melihat-lihat sekelilingnya.
Kegunaan Sarung
Sarung merupakan kain tradisional dengan panjang dari mata kaki hingga ke dada. Karena itu perlu melipat bagian atasnya saat memakai sarung, lalu mengencangkan lipatan dan melilitkan di bagian pinggang tubuh.
Perhatian saya terhadap sarung mulai muncul saat teman bermain di masa kecil mengenakan sarung, penampilannya itu tak seperti biasanya, selalu memakai celana pendek sesuai umurnya. Ternyata, teman itu memakai sarung karena baru disunat. Untuk sementara ia tak bisa mengenakan celana pendek. Sarung menggantikan celana untuk menutupi aurat.
Saat kampus mengadakan kegiatan camping di seputar Gunung Gede, banyak yang berkumpul di seputar api unggun. Ada yang membawa gitar, mengiringi mahasiswa bersenandung, diiringi humor dan gelak tawa. Keakraban itu diwarnai sarung yang dikenakan sebagian mahasiswa. Sarung menambah kehangatan tubuh. Dan sarung itu dipakai ketika kemudian beristirahat tidur di dalam tenda.
Petugas siskamling juga memanfaatkan sarung saat melaksanakan tugas menjaga keamanan lingkungan. Sarung biasanya diselempangkan di bahu, lalu dipakai menutupi tubuh saat menjaga di pos penjagaan (sering kali jatuh tertidur ditutupi sarung sembari telinga siap mendengarkan suara di sekitarnya).
Dalam wayang golek Jawa, tokoh Semar dengan ketiga putranya: Gareng, Petruk, Bagong; acapkali tampil dengan sarung kotak-kotak. Keempat tokoh pewayangan itu disebut Punakawan, kelompok yang berperan menebar humor di tengah-tengah jalinan cerita, atau menyampaikan pesan moral. Ketika Semar, Gareng, Petruk, dan Bangong muncul di layar wayang, ciri khas mereka dengan sarung kotak-kotak yang dikenakan sudah sangat menyatu, penonton langsung bisa mengenali.
Simbol Kerakyatan
Ketika seorang fotografer mengabadikan Presiden Jokowi yang mengenakan blus putih, sarung kotak-kotak dan tanpa alas kaki, duduk bersila di lantai dermaga yang terbuat dari kayu di Pelabuhan Pantai Waiwo, spontan saja foto itu menjadi viral. Foto itu bercerita banyak: pemandangan indah di Pantai Wairo, kesederhanaan seorang pemimpin negara yang menikmati keindahan matahari terbit di sana. Presiden yang memakai sarung tanpa canggung di waktu santai menjadi bagian dari gambaran kedekatan pemimpin pada kehidupan rakyat biasa di negeri ini.
Menurut catatan sejarah, sarung sebenarnya berasal dari Yaman. Namun penggunaannya meluas hingga ke negeri-negeri Asia lainnya. Bahkan sarung menjadi salah satu simbol kerakyatan karena memang sudah menjadi bagian hidup di pelosok negeri ini. Kebiasaan yang turun temurun yang tetap dipertahankan hingga sekarang.
Benyamin Suaeb dikenal sebagai aktor berdarah Betawi yang terlibat dalam 53 judul film, penyanyi yang menghasilkan 75 album musik, dan pelawak andal. Kontribusinya yang besar dalam dunia seni menjadikannya legenda hidup dan ikon Betawi. Selain aksen Betawinya yang kental, ciri khas Benyamin lainnya adalah sarung kotak-kotak. Apalagi saat ia tampil dalam Si Doel Anak Sekolahan, serial TV yang popularitasnya mengalahkan seri produksi luar negeri. Di layar kaca terlihat Benyamin duduk santai di teras rumah, memakai sarung sambil mengipas tubuhnya. Kadang-kadang satu kakinya diangkat ke atas kursi, tapi tetap sopan karena sarung menutupi kakinya dan bagian tubuh yang tak pantas dipamerkan. Penampilannya mewakili kehidupan rakyat sederhana sehari-hari.
Masyarakat suku Tengger biasa menggunakan sarung sehari-hari. Biasanya sarung dikalungkan di leher, kadang-kadang digunakan juga untuk menutup tubuh. Mungkin hal ini berhubungan dengan udara dingin tempat tinggal masyarakat itu di Desa Argosari, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Walau sudah beranjak ke siang hari, banyak warga yang masih menggunakan sarung. Sarung menjadi ciri khas suku Tengger, bagian diri mereka dalam kekerabatan pergaulan warga.
Kebiasaan Diteruskan
Pertandingan bola anak-anak dengan memakai sarung sering dilakukan dalam perayaan 17 Agustus di desa-desa. Pertandingan bola menjadi seru untuk ditonton. Anak-anak berusaha sekuat tenaga menjaga sarungnya agar tidak melorot saat berlari mengejar bola. Dan ancaman dijegal lawan main dalam pergulatan mendapatkan bola menjadi tantangan tersendiri. Bukan hanya tangan pemain yang ditarik lawan dalam pergulatan itu, sarung menjadi incaran karena sarung yang melorot akan membuat pemain bola kesulitan berlari. Polah tingkah pemain bola anak-anak dengan sarungnya mengundang tawa penonton di sana sini.
Pertandingan bola anak-anak selama 90 menit itu ditonton banyak penduduk desa, menjadi hiburan perayaan 17 Agustus yang disukai di desa itu. Ide untuk menggunakan sarung dalam pertandingan bola mempererat kekerabatan warga. Sarung ada dalam setiap rumah di desa, tak perlu membeli perlengkapan sarung hanya untuk pertandingan bola. Tanpa disadari desa itu, mereka telah mewariskan kebiasaan memakai sarung pada anak-anaknya.