Adriani Sukmoro

Srikandi

Kemajuan teknologi memudahkan manusia berkomunikasi. Di tempat saya bekerja, grup Whatsapp yang diberi nama “Srikandi ATR/BPN” dibentuk dengan anggota para ASN perempuan Kementerian ATR/BPN. Selain memudahkan komunikasi, media elektronik itu berfungsi sebagai wadah berbagi informasi tentang berbagai kegiatan kementerian dalam proses pencapaian target kinerja, menuntaskan rencana strategis pendukung visi dan misi organisasi. Tujuan lainnya adalah membangun motivasi ASN perempuan untuk terus meningkatkan diri dan berkontribusi di dalam organisasi.

Srikandi di Masa Pandemi Covid-19

Pemilihan nama Srikandi untuk grup Whatsapp perempuan tentu bukan tanpa alasan. Srikandi seorang tokoh wayang yang dikenal berani, pandai memanah dan menunggang kuda. Ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Pernikahan itu membuat ia duduk sebagai isteri, namun tidak lemah di hadapan pria. Srikandi ikut terjun berperang, ia menjadi sesepuh bagi prajurit wanita dalam perang Baratayudha.

Tak heran Srikandi sering menjadi simbol perempuan tangguh. Seperti potret istri-istri yang sekaligus ibu rumah tangga di sebuah gang sempit padat penduduk di Kampung Cinderejo Lor, Gilingan, Surakarta. Suami mereka umumnya bekerja serabutan dan berpenghasilan pas-pasan. Pandemi Covid-19 membuat suami mereka dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya. Tekanan ekonomi membuat kondisi di kampung itu semakin tak menentu. Apalagi beban bertambah dengan keharusan anak-anak belajar daring dari rumah.

Kondisi terpuruk itu menjadi ujian ketangguhan perempuan, ibu-ibu yang menjadi Srikandi bagi keluarganya dan lingkungannya. Mereka bersatu, memutuskan untuk berbagi pangan ala kadarnya setiap hari. Bahan seperti satu papan tempe, satu ikat sayur, bawang, cabe, dan lain-lain digantung di satu tempat tertentu di lingkungan mereka. Mereka juga memelihara lele dan kangkung dalam ember. Siapa saja boleh mengambil lele atau kangkung untuk bahan pangan keluarga. Kebersamaan ibu-ibu itu sangat membantu menghadapi tantangan ekonomi selama proses pemulihan Covid-19.

Srikandi di Jalan Panjang

Sekitar tahun 1995, seorang pegawai perempuan bernama Sri Puspita Dewi yang biasa dipanggil Ibu Dewi, mengajukan permohonan pindah tugas ke Banda Aceh demi mengikuti suami yang bertugas di BPOM Aceh. Saat itu beliau ditugaskan di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumatera Selatan. Permohonannya dikabulkan. Dalam keadaan hamil putra sulung, ia pun pindah mutasi ke Banda Aceh, bertugas di Kantor Wilayah BPN Daerah Istimewa Aceh.

Berkumpul bersama suami sambil tetap dapat meneruskan karier pekerjaan, memberi kenyamanan dan keseimbangan bagi Ibu Dewi. Apalagi masyarakat Aceh, lingkungan tempat tinggal barunya, tipikal masyarakat yang sangat kekeluargaan.

Tantangan baru muncul setelah Ibu Dewi melahirkan putra pertamanya tahun 1995, seorang anak laki-laki yang secara fisik tumbuh normal. Saat putranya berusia dua tahun, Ibu Dewi menyadari putra sulungnya itu berbeda. Ia tidak bisa bicara, aktif luar biasa (hiperaktif), walau bisa berjalan seperti anak-anak lain. Fasilitas kesehatan di Banda Aceh masih minim saat itu. Ibu Dewi tak kehilangan akal. Ia membawa putra sulungnya ke kota Medan untuk mendapatkan pemeriksaan. Tidak cukup satu dokter, Ibu Dewi membawa putranya dari satu dokter ke dokter lainnya guna meyakinkan apa yang kurang dalam perkembangan putranya.

Pada masa itu informasi mengenai autisme belum banyak. Belum zamannya teknologi memudahkan manusia mendapatkan akses informasi. Belum ada Google, YouTube, Facebook, WhatsApp, dan media elektronik lainnya. Akhirnya Ibu Dewi mendapat jawaban setelah pemeriksaan beberapa dokter. Putra sulungnya anak berkebutuhan khusus, menderita autisme.

Ibu Dewi pun menjadi Srikandi bagi putranya, berjuang untuk mendapatkan yang terbaik bagi anaknya. Sebulan sekali ia membawa putra sulungnya itu ke Medan guna mendapatkan terapi dan penanganan yang tepat.

Seiring pergolakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di masa 1990-2000an, situasi menjadi kurang kondusif bagi pendatang di Provinsi Aceh. Tahun 2000 Ibu Dewi memutuskan pindah ke kota Medan dengan jalan darat, sementara suaminya pindah melalui jalan laut sesuai pengaturan dari pemerintah. Dengan menumpang bus umum, Ibu Dewi membawa putra sulungnya yang sudah berusia lima tahun dan putra bungsunya yang berusia tiga tahun meninggalkan Banda Aceh, menuju kota Medan.

Ibu Dewi hanya ditemani seorang pembantu dalam perjalanan panjang itu. Perjalanan yang biasanya cukup ditempuh dalam sembilan jam, kala itu harus ditempuh dalam delapan belas jam! Mereka berangkat pukul 21.00 WIB, baru tiba di kota Medan pukul 15.00 WIB keesokan harinya! Perjalanan yang luar biasa meletihkan dan menegangkan… Perjalanan menegangkan karena banyak pemeriksaan yang dilakukan GAM selama perjalanan dari Banda Aceh melalui kota Sigli, Lhoksemauwe, Langsa, hingga melewati batas Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Perjalanan melelahkan bukan hanya karena lamanya duduk di dalam bus, tetapi juga karena harus menenangkan putra sulungnya yang hiperaktif di dalam bus sempit.

Harapan

Surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Belanda dikumpulkan dan dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini membawa pembacanya mengerti bahwa setelah kesulitan yang dihadapi, pasti akan muncul kemudahan, kesenangan, kebahagiaan. Pembelajaran ini menimbulkan harapan bagi siapa saja yang sedang mengalami tantangan dalam hidupnya.

Ibu Dewi saat ini menjabat sebagai Sekretaris Inspektorat Jenderal, eselon dua, di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Wajahnya selalu cerah, tutur katanya penuh optimisme, dan gagasannya memacu ke depan.

Kisah ibu-ibu rumah tangga di gang sempit Kampung Cinderejo Lor dan kisah Ibu Dewi diangkat dalam tulisan ini karena mereka merepresentasikan perempuan tangguh. Ibu-ibu rumah tangga Kampung Cinderejo bisa berbagi dalam himpitan ekonomi demi menyelamatkan sesama keluarga kampung; Ibu Dewi yang menamatkan pendidikan S1 & S2 di Universitas Sumatera Utara, mengembangkan karier di tempatnya bekerja, namun tak lupa menyediakan waktu untuk anak-anak dan pendamping hidupnya.

Hari ini penduduk negeri merayakan Hari Kartini. Seperti pesan Kartini dalam buku Habit Gelap Terbitlah Terang, perempuan Indonesia jangan pernah menyerah dalam menghadapi situasi sulit. Terus jaga harapan saat berjuang. Tempatkan diri pada posisi yang memainkan peran multitalenta: keseimbangan rumah tangga dan karier. Selamat merayakan Hari Kartini!