
Lumayan terharu saat menonton YouTube yang menampilkan Jane Marczewski. Jane sedang beraksi di panggung audisi American Got Talent (AGT), menyanyikan lagu ciptaannya “It’s OK”. Dengan tubuh kurusnya, ia berdiri di hadapan para juri AGT. Suaranya bagus, lagu ciptaannya menarik, bercerita tentang kegalauan dan kompromi diri yang dilakukan. Ia mendapat golden buzzer dari juri, namun penyakit kanker yang diderita memaksanya mundur dari tahap AGT selanjutnya. Jane menghadap Ilahi beberapa bulan kemudian, di usia 31 tahun.
Penyakit kanker tak mengenal gender. Tak peduli siapa Anda, kanker bisa menyelusup ke dalam tubuh manusia.
Teman Kuliah
Saya mengenalnya saat kuliah di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Perempuan berdarah Jawa, terlihat dari namanya, Agnes Retno. Biasa dipanggil Anyes, nama yang gampang diingat. Ia terlihat selalu bersemangat, tertawa, aktif dalam kegiatan kampus.
Saya tak berteman dekat dengan Anyes, beda kelompok belajar. Tapi sebagai teman seangkatan, kerap bersinggungan dengan Anyes dalam berbagai urusan di kampus.
Kemajuan teknologi membuat pertemanan kampus yang sudah lama ‘hilang’ (usai lulus kuliah), bisa dibina kembali melalui grup percakapan digital. Reuni teman seangkatan kuliah pun jadi gampang direncanakan, diadakan di sana sini. Salah satunya, reuni ke Belitung. Rombongan besar alumni pun terbang ke Belitung, merayakan dan menikmati kebersamaan di Negeri Laskar Pelangi itu.
Saya dan Anyes ikut rombongan reuni ke Belitung. Di tengah kegiatan reuni, seorang teman membisikkan informasi, Anyes menderita kanker. Saya jadi memperhatikan Anyes selama kegiatan di Belitung. Tak ada perubahan dari sikap dan perilakunya. Anyes tetap Anyes, ramai dan penuh tawa. Apa iya dia menderita kanker? Begitu pertanyaan di dalam pikiran. Oh, mungkin kankernya ringan, tak berbahaya. Begitu kesimpulan saya setelah mengamati beberapa waktu lamanya.
Kemoterapi
Saya semakin yakin Anyes hanya menderita kanker ringan setelah bertemu dengannya lagi di berbagai kegiatan reuni. Tak ada gambaran melankoli, atau menarik diri, atau merenung sendirian. Anyes ikut berebutan setiap kali ada sesi foto, ikut mengeluarkan komentar saat pembicaraan berlangsung.
Beberapa kali Anyes menampilkan fotonya yang sedang menjalani kemoterapi di media chat alumni. Senyum lebar tersungging di bibirnya, seolah kemoterapi di rumah sakit itu bukan beban baginya. Teman-teman langsung memberi semangat pada Anyes, mendoakan kesembuhannya.
Menyadari bahaya penyakit kanker membuat saya tak berani bertanya tentang bagaimana keadaan penyakit yang diderita Anyes. Bagi saya topik seputar kanker itu sensitif, perlu dihindari. Toh kanker yang diderita Anyes ringan…
Kepiting Jahanam
Di akhir 2024 lalu, ide membuat buku antologi teman-teman seangkatan kuliah muncul. Ide itu terealisasi, buku berjudul Mozaik Kehidupan hadir di bulan Maret 2025, berisi berbagai kisah yang ditulis para alumni.
Satu per satu tulisan dalam buku dibaca, hingga sampai ke tulisan berjudul ‘Hidupku: Satu Cerita yang Belum Berakhir’. Saya langsung terhenyak usai membaca kisah yang ditulis Anyes itu.
Beberapa anggota keluarga di dalam keluarga Anyes (nenek, adik ibunya, dan ibunya sendiri) menderita penyakit kanker hingga merenggut nyawa. Faktor genetik bisa menjadi pemicu kanker. Anyes pun jadi mawas diri, rajin melakukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi penyakit kanker.
Mawas dirinya membuat keberadaan kanker di tubuhnya terdiagnosa. Saat itu Anyes tengah mengikuti pendidikan S-3 di almamater. Ia juga bekerja di instansi yang menangani klien penderita berbagai penyakit. Anyes bertugas mendampingi klien dalam menjalani terminal illness, dying, insan usia lanjut, serta keluarga pasien.
“Siapa kira, sang kepiting jahanam ternyata sudah membangun istana di tubuhku!” kata Anyes dalam tulisannya. Ya, rasanya pantas menyebut kanker sebagai kepiting jahanam. Kehadirannya mengancam jiwa manusia, tak ada yang suka atas kehadirannya dalam tubuh.
Dari pendamping klien yang menderita sakit, kini Anyes menjadi penderita sakit. Perjalanan panjang melawan kanker pun dimulai. Di tahun pertama terdiagnosa, Anyes masuk ruang operasi sebanyak 3 kali untuk pembedahan di sana sini. Anyes tetap tenang, mampu menyiapkan urusan rumah tangga dan pekerjaan agar semuanya beres selama ia menginap di rumah sakit.
Anyes juga tetap mawas menjaga kesehatan, tak pernah yakin sepenuhnya apakah si kepiting jahanam itu sudah pergi. Kekuatan imannya terlihat membantunya. “Kubiarkan hidup mengalir ke mana Allah menuntunnya,” kalimat Anyes tertuang dalam kisahnya.
Ketegarannya agak goyah saat ia harus menjalani operasi ke-4 dalam setahun setelah terdiagnosa kanker. Ia khawatir, otaknya terdampak pembiusan yang dilakukan selama operasi berkali-kali itu.
Ketika kehidupan sepertinya sudah berjalan baik, Anyes menemukan benjolan baru yang tampak kasat mata. Lagi-lagi ia harus berada di ruang operasi, pembedahan berikutnya. Membacanya saja membuat bulu kuduk saya merinding, apalagi jika mengalaminya. Saya baru tahu betapa jahatnya si kepiting jahanam itu, masih bercokol di tubuh Anyes…
Apakah berhenti di operasi itu? Tidak…
Beberapa tahun kemudian Anyes harus menjalani ‘pembabatan’ lagi, kata yang digunakan Anyes dalam tulisannya untuk menggambarkan betapa sakitnya operasi kali itu. Lengannya tak mampu digerakkan usai operasi. Ia pantang menyerah, meminta menjalani fisioterapi untuk memulihkan lengannya. Ia ingin segera melakukan kegiatan rutinnya. Luar biasa, patut angkat topi melihat kemauan kuat dalam diri Anyes.
Support System
Sistem pendukung (support system) sangat membantu pasien penderita kanker. Support system mencakup pelayanan kesehatan yang didapatkan, anggota keluarga, lingkungan teman, dan kelompok sesama penderita kanker.
Support system bisa memberi dorongan emosional, mendapatkan referensi dari berbagai sumber, mendampingi pasien menjalani perawatan, menguatkan secara spiritual, bersama-sama menghadapi tantangan penyakit bersama penderita kanker.
Anyes beruntung, support system di sekitarnya mendukung. Suaminya seorang dokter spesialis obsteri dan ginekologi, bidang medis yang menangani kesehatan reproduksi wanita (kehamilan, persalinan, masalah pada organ reproduksi perempuan). Suaminya lah yang menganjurkan Anyes melakukan pemeriksaan dini secara rutin setelah ibunya meninggal dunia akibat kanker.
Suaminya pun selalu mendampingi Anyes saat melalui berbagai pengobatan dan pembedahan. Usai operasi dan menjalani perawatan rumah, suaminya yang rutin melaporkan kadar darah dari kantong penampungan kepada onkolog. Ketiga anak lelaki Anyes secara bergantian rajin memandikannya. Selama menjaga di kamar perawatan rumah sakit, ketiga anak lelakinya itu mengambil alih tugas perawat, tak pernah menekan bel dekat tempat tidur pasien sekali pun. Putra keduanya yang mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter spesialis obsteri dan ginekologi, turut berperan mengawasi perawatan medisnya.
Tak Siap
Dalam perjuangan melawan kanker, dokter menyarankan Anyes menjalani 20 kali kemoterapi dan 25 kali proses radiasi. Sebagai manusia biasa, Anyes mengakui rasa takut pada keluarganya. Suami dan ketiga putranya yang hadir di ruang dokter itu menguatkannya.
Tapi, siapa yang kuat melihat anggota keluarga yang diserang kanker bertubi-tubi? Saat pulang dari rumah sakit, Anyes mendengar isakan dari kamar anak bungsunya. Tangisan yang meledak keras saat Anyes menyambangi si bungsu ke kamarnya. Kalimat “Ibu nggak boleh mati” diucapkan si bungsu berulang kali.
Tak bisa ditahan lagi, air mata menetes di pipi saya saat membaca tangisan si bungsu. Saya menangis bersama kisah Anyes. Siapa pun tak akan siap menghadapi bayangan buruk yang mungkin terjadi. Betapa kepiting jahanam itu mengganggu kebahagiaan keluarga. Seperti apa yang saya dengar dari seorang kolega kantor yang mendapati anaknya menderita kanker, “Ketika anggota keluarga tercinta terkena kanker, seisi keluarga ikut menderita.”
A Fighter
Apakah kemoterapi dan proses radiasi menghabiskan penyakit Anyes? Tidak…
Anyes mengalami pendarahan hebat, yang membuat rahimnya diangkat demi menghindari dampak medis lainnya.
Jadilah Anyes perempuan tanpa payudara dan rahim. Tapi ia bukan perempuan sembarangan. Ia perempuan tegar, a fighter, yang berkata, “Keperempuanan dinyatakan bukan karena payudara dan rahim yang dimilikinya, tapi oleh kelembutan hati yang penuh cinta pada sesama.”
Saya percaya, Anyes dikasihi Sang Pencipta. Profile picture di telepon genggamnya menampilkan senyumnya yang sumringah, bangga menggendong tiga cucu didampingi suami tercinta. Anyes dan suami diberi kesempatan mengantar putra sulung dan putra kedua ke gerbang kehidupan mereka selanjutnya. Anyes dan suami juga sudah merayakan pesta perak pernikahan. Mereka memandang ke depan, masih banyak kesempatan di tahun-tahun mendatang yang mereka tunggu.
Beberapa tahun terakhir, Anyes membantu saya, menjadi penerjemah. Setiap kali mendapat pesan dalam bahasa Jawa kromo inggil dari Romo Uskup Kardinal, saya segera berteriak melalui jaringan pribadi WhatsApp, “Help, Anyes! Terjemahin dong!”. Maklum, saya tak mengerti apa arti pesan yang diterima, sementara wajib segera membalas pesan itu sebagai tanda hormat kepada Romo Uskup Kardinal. Anyes tak pernah gagal menanggapi, jawabannya cepat dan praktis, kemampuan bahasa Jawa kromo inggilnya sangat bisa diandalkan. Anyes memang senang membantu.
Kisah Anyes sengaja diangkat pada hari ini, Hari Kartini 21 April 2025. Kisahnya mewakili perempuan penyintas kanker (cancer survivor), yang tak pernah berhenti berjuang. Ia tak mau larut dalam kesedihan, keputusasaan, atau marah pada Tuhan yang seolah memberinya penyakit.
Ketegaran Anyes bisa dijadikan contoh bagi kaum perempuan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ganjalan hidup. Eleanor Roosevelt, aktivis perempuan dan istri mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan, “A woman is like a tea bag. You never know how strong she is until she gets in hot water.”
Selamat merayakan Hari Kartini!