Adriani Sukmoro

The Real Thing

Ketika saya sempat mengunjungi Atlanta bulan Oktober tahun lalu, pikiran langsung melayang pada Olimpiade 1996 yang diadakan di kota itu. Dua pasangan ganda putra Indonesia berhasil melaju ke semifinal badminton, begitu pula dengan Malaysia; sehingga semifinal itu diwarnai pertarungan sengit antara ganda putra Indonesia melawan Malaysia. Akhirnya Rexy Mainaky/Ricky Subagja dari Indonesia yang bertarung dengan Yap Kim Hock/Cheah Soonkit dari Malaysia di babak final. Pertandingan dramatis tiga set dimenangkan ganda putra Indonesia, membuat Olimpiade Atlanta melekat di kepala.

The Big Peach

Atlanta ibukota negara bagian Georgia, terletak di bagian tenggara negeri Amerika Serikat. Jika kota New York disebut sebagai The Big Apple, julukan The Big Peach diberikan pada kota Atlanta. Julukan itu berhubungan dengan banyaknya petani buah peach di Georgia. Tanahnya yang subur dan cocok untuk ditanami peach, membuat negara bagian Georgia menjadi penghasil terbesar buah peach di negeri Paman Sam.

Ada juga yang menyebut Atlanta sebagai kota di dalam hutan (The City in a Forest) karena banyaknya pohon hijau yang bisa ditemukan di kota itu. Dari ketinggian kamar hotel tempat menginap, saya melihat pepohonan hijau di sepanjang jalan melalui dinding kaca kamar. Saat berjalan menyusuri kota, kembali pohon-pohon hijau terlihat. Udara saat itu seperti suhu di Puncak, ada angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang; orang harus memakai jaket penahan udara yang agak dingin.

Family Feud

Kota Atlanta ini juga menarik perhatian karena saya penggemar game show Family Feud, yang lokasi shooting-nya dilakukan di Atlanta. Pembawa acara Steve Harvey berhasil membuat game show Family Feud menjadi sangat populer dan mendunia, sehingga franchise acara ini merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Game show ini diberi nama Famili 100 ketika diadopsi televisi Indonesia.

Jika di tahun 1980-1990an kontestan Family Feud umumnya warga kulit putih Amerika, sejak tahun 2010an sering terlihat kontestan kulit hitam dan kulit berwarna lainnya. Hal ini berhubungan dengan lokasi shooting game show itu, yang dipindahkan ke Atlanta. Kota ini memang dihuni hampir 50% warga kulit hitam, warga kulit putih hanya 40%, sisanya warga Asia dan lainnya.

The World of Coca Cola

Waktu yang singkat di Atlanta harus digunakan seefektif mungkin. Dari beberapa pilihan, keluarga saya memutuskan untuk mengunjungi museum minuman terlaris di Amerika Serikat. Museum itu dinamakan The World of Coca Cola.

Walau museum sejenis ada di Las Vegas dan Disney Springs, museum Coca Cola di Atlanta yang terbesar dan berkesan, karena di kota inilah Coca Cola lahir dan berkembang.

Didirikan tahun 1990 di Underground Atlanta, museum ini pindah ke areanya sekarang tahun 2007. Museum yang luas, didirikan di atas tanah 81.000 km persegi. Di museum ini pengunjung bisa mendapat penjelasan tentang sejarah minuman Coca Cola dan perusahaan  yang menaunginya.

Kisah Coca Cola dimulai ketika John Pemberton, seorang ahli farmasi, meracik cairan berwarna karamel dengan air berkarbonasi tahun 1886. Racikan itu menjadi minuman yang enak rasanya, dan dinamakan Coca Cola. Tahun 1888 John Pemberton menjual formula tersebut pada Asa Griggs Cander, seorang pebisnis, hanya seharga $2,300.

Setelah membeli formula itu, Asa Griggs Cander mendirikan perusahaan The Coca Cola Company tahun 1892 dengan kantor pusat di Atlanta. Formula yang dibelinya dikembangkan, minuman Coca Cola pun dipatenkan tahun 1893.

Di bawah kepemimpinan Cander, penjualan Coca Cola berkembang dengan baik; dari 9.000 galon tahun 1890 menjadi 370.877 galon tahun 1900. Distribusi penjualan juga meluas, dari hanya di dalam Amerika, produk Coca Cola merambah ke lebih 200 negara. Kesuksesan ini membuat perusahaan Coca Cola melambung, dan tahun 1919 Asa Griggs Cander memutuskan menjualnya seharga $25 juta pada sekelompok investor Atlanta yang dipimpin Ernest Woodruff, seorang banker ulung. Putranya, Robert Woodruff, memimpin perusahaan itu selama lebih dari tiga dekade.  

Prestasi Coca Cola yang sudah mendunia semakin gemilang ketika perusahaan itu mampu menembus Cina tahun 1978. Coca Cola menjadi satu-satunya perusahaan asing yang diizinkan menjual produk minuman dingin dalam kaleng di Cina, negeri yang ketat dalam kontrol pengawasan barang-barang impor.

Ketika saya menjelajahi museum, saya melihat mesin-mesin yang digunakan dalam memproduksi minuman Coca Cola. Salah satu mesin besar yang menarik perhatian saya adalah mesin buatan General Electric (GE). Beberapa tahun lampau saya bekerja di GE. Ada koneksi tersendiri ketika melihat mesin-mesin GE ada dalam museum Coca Cola.

Di salah satu ruang saya melihat keterlibatan Coca Cola dalam ajang Olimpiade. Coca Cola menjadi pendukung besar Olimpiade sejak tahun 1928. Coca Cola bermitra dengan Komite Olimpiade Internasional dan komite negara penyelenggara Olimpiade dalam melaksanakan relay obor olimpiade.

Hilltop

Iklan dalam berbagai bentuk menjadi bagian dari pemasaran produk. Banyak sekali iklan yang melintas dalam kehidupan masyarakat. Sebagian besar langsung terlupakan, tapi ada iklan yang menonjol sehingga merekat dalam kepala, tetap diingat.

Perusahaan Coca Cola berusaha menyajikan iklan yang akan tetap diingat orang. Mereka mengembangkan kreativitas, menggali ide iklan yang menggunakan daya tarik visual (penglihatan), auditori (pendengaran), dan kinestetik (gerakan fisik) agar minuman Coca Cola selalu diingat konsumen.

Tahun 1971 Bill Backer, Direktur Kreatif agen periklanan McCann Erickson, yang bekerja untuk perusahaan Coca Cola, menulis lirik iklan di kertas saat menunggu pesawat. Lirik pun berkembang menjadi lagu Hilltop, yang kemudian disebut dengan judul I’d Like to Buy the world a Coke. Lagu itu enak didengar telinga, selanjutnya perlu dikembangkan secara visual. Maka konsep mengumpulkan orang dari berbagai belahan dunia pun muncul. Seleksi dilakukan, memilih orang-orang yang tepat, yang mewakili beragam warna kulit dan ras. Mereka akan ditampilkan secara visual dalam iklan Coca Cola di layar kaca. Kelompok terpilih ini menyanyikan lagu tersebut di suatu bukit di Italia, menyampaikan pesan tentang the real thing: Coca Cola.

Iklan I’d Like to Buy the World a Coke berhasil menjangkau konsumen, mencapai target perusahaan. Perusahaan Coca Cola menerima lebih dari 100.000 surat yang memuji iklan itu. Bahkan lagu iklan itu selalu dipilih menjadi salah satu jingle iklan terbaik di berbagai masa. Lagu itu sering dinyanyikan band sekolah dan paduan suara, dianggap sebagai penyatu pertemanan. Liriknya memang mencuri perhatian.

I’d like to buy the world a home, and furnish it with love

I’d like to teach the world to sing, with me in perfect harmony

Grow apple trees and honey bees, and snow-white turtle dress

I’d like to buy the world a coke, and keep it company

That’s the real thing

I’d like to teach the world to sing, with me in perfect harmony

I’d like to buy the world a coke, and keep it company

It’s the real thing, Coke is what the world wants today

Coca cola is the real thing