Adriani Sukmoro

Iklim Kerja

Pemimpin memainkan peranan penting dalam menciptakan suasana kerja di departemennya. Gaya kepemimpinannya akan berpengaruh pada cara kerja dan komunikasi di departemen itu, serta berdampak pada motivasi karyawan.

Win The Workplace

Angela Ahrends, mantan Senior Vice President Apple Inc mengingatkan, sebelum membangun hubungan dengan pelanggan, perlu bagi pemimpin untuk membangun hubungan dengan karyawan terlebih dulu. Hubungan baik pemimpin dan anggota tim tercipta ketika pemimpin ada saat dibutuhkan. Mereka bisa mendapatkan arahan, bimbingan, dan diskusi yang bermanfaat bagi penyelesaian tugas. Melalui proses kerja sehari-hari, karyawan dapat melihat dan merasakan sikap pemimpin dalam mengelola departemen yang dipimpinnya.

Doughlas R. Conant, pendiri ConantLeadership, mengatakan hal sama: to win the marketplace, you need to win the workplace. Suasana kerja yang mendukung membuat karyawan lebih termotivasi dalam bekerja.

Pentingnya menciptakan suasana kerja yang positif membuat sebagian perusahaan mengadakan pengecekan iklim kerja secara berkala melalui survei keterlibatan karyawan (employee engagement survey). Hasil survei itu membantu manajemen dan para pimpinan untuk mendapat masukan dari karyawan tentang hal-hal yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan dalam organisasi perusahaan. Apalagi bisa saja ada yang luput dari perhatian manajemen. Karyawan biasanya merasa nyaman memberi masukan melalui employee engagement survey, survei itu dilakukan secara anonim.

Employee Attrition Rate

Barometer iklim kerja yang baik bisa juga dilihat dari employee attrion rate. Jika employee attrition rate tinggi, banyak karyawan meninggalkan perusahaan, iklim kerja dalam perusahaan patut ditelaah. Apalagi jika karyawan yang meninggalkan perusahaan belum lama bekerja (di bawah tiga tahun). Biasanya mereka pindah ke perusahaan lain.

Berbagai alasan dikemukakan oleh karyawan yang berhenti kerja dari perusahaan. Sering kali tawaran gaji yang lebih tinggi atau promosi jabatan menjadi alasan pindah ke perusahaan lain. Namun, suasana kerja yang tidak kondusif sering menjadi dasar keputusan pindah kerja yang tidak terungkap jika tidak digali dalam proses exit feedback.

Suasana kerja yang tidak kondusif berdampak buruk. Moral karyawan menjadi rendah, bisa membuat komitmen melaksanakan tanggung jawab perkerjaan rendah. Motivasi kerja juga rendah, karyawan mungkin menjadi sering absen kerja dengan berbagai alasan. Lebih jauh lagi, suasana kerja yang tidak kondusif bisa berdampak pada kesehatan fisik dan kesehatan mental karyawan.

Gaya Kepemimpinan

Siapakah yang bertanggung jawab menciptakan iklim kerja yang baik?

Keseluruhan elemen yang berada dalam suatu tim atau departemen bertanggung jawab menciptakan iklim kerja yang positif. Namun, pemimpin tim atau departemen memegang kendali dalam kehidupan organisasi sehari-hari. Pemimpin memainkan peranan penting dalam membentuk perilaku kerja dan mendorong karyawan mempraktikkan nilai-nilai perusahaan.

Gaya kepemimpinan atau perilaku pemimpin seperti apa yang membuat iklim kerja tidak mendukung?

— 1. Emotional Intelligence

Seorang pemimpin bisa naik ke jenjang posisinya karena kompetensi yang dimiliki, talenta kepemimpinan, dan tentunya kemampuan inteligensi. Para ahli mengatakan, inteligensi saja tidak cukup untuk menjadi pemimpin yang baik. Dibutuhkan sisi lain dari inteligensi; inteligensi yang menyeimbangkan seseorang dalam mengelola emosi diri dan mengelola caranya berhubungan dengan orang lain. Emotional intelligence, istilah yang digunakan untuk menggambarkan kecerdasan seseorang dalam mengelola emosi. Kecerdasan emosional itu terlihat dari bagaimana seseorang memberi respons terhadap situasi, bagaimana ia menyampaikan apa yang perlu disampaikan, dan bagaimana ia menata hubungannya dengan orang lain.

Dari tulisan ‘Pindah Kerja’ yang dimuat di blog ini tanggal 13 Januari 2025 lalu, terlihat pemimpin departemen yang cenderung marah-marah dalam menangani pekerjaan kantor. Gaya kepemimpinannya memberi tekanan berat pada anak buah, membuat anak buahnya menderita gangguan kesehatan mental.

— 2. Manajemen Mikro (Micromanagement)

Di suatu perusahaan, seorang pemimpin departemen cenderung mengontrol anak buah secara berlebihan, sangat memperhatikan detail pekerjaan mereka. Ia memantau dengan cermat semua hal yang dilakukan anggota timnya. Ruang gerak karyawan menjadi terbatas, tak leluasa mengembangkan ide. Apalagi pemimpin bergaya mikro itu cenderung mencecar pekerjaan anak buah yang dianggap kurang sempurna. Ada kesan pemimpin itu senang mencari kesalahan anak buah.

Karyawan menjadi merasa di bawah tekanan, berkeluh kesah di belakang layar. Pengerjaan pekerjaan yang terlalu sering ‘dicampuri’ dan dikontrol oleh pimpinan membuat karyawan merasa tidak dipercaya, kurang kompeten melakukan tugasnya. Akibatnya karyawan bisa menjadi tidak percaya diri. Mereka takut dikritik, takut melakukan kesalahan, takut dipermalukan dalam rapat departemen. Kepemimpinan bergaya mikro membuat suasana kerja tidak nyaman, bisa mengganggu kesehatan fisik maupun kesehatan mental karyawan.

— 3. Silo Mentality

Kerja sama antar departemen di suatu perusahaan kurang terjalin dengan baik. Ada kecenderungan silo mentality. Masing-masing mengurus pekerjaan di dalam departemennya, informasi tidak dibagi, komunikasi terhambat. Situasi itu membuat saling menuding kesalahan antar departemen ketika timbul permasalahan.

Silo mentality biasanya disebabkan ego para pemimpin departemen. Mereka ingin prestasi kinerja departemennya menonjol dan diakui. Kadang-kadang hal itu membuat terjadinya kompetisi terselubung antar pemimpin di dalam organisasi. Walau ego dan kompetisi itu di tingkat pimpinan, namun biasanya karyawan yang akan menjadi korban dari silo mentality. Kondisi kerja menjadi tidak sehat. Karyawan bisa menderita stress jika saling tuding terjadi. Lebih buruk lagi jika kesalahan ditimpakan pada individu karyawan tertentu, yang berdampak pada penilaian kinerjanya.

— 4. Moody

Suasana hati (mood) bisa tercermin pada penampilan fisik seseorang. Perubahan suasana hati (mood swing) bisa disebabkan berbagai hal: tekanan pekerjaan, gangguan hormon tubuh, kurang tidur, pola makan tidak sehat, dan lain-lain.

Pemimpin departemen di suatu perusahaan sering tak dapat diduga suasana hatinya. Karyawan departemen itu menjuluki pemimpin mereka moody, menggambarkan suasana hati sang pemimpin yang fluktuatif. Jika wajah dan sikap pemimpin mengindikasikan mood yang sedang tidak baik, karyawan pun menghindar bertemu dengan pimpinan mereka. Pekerjaan yang perlu didiskusikan dengan pemimpin terpaksa ditunda, menunggu hingga suasana hati pimpinan baik.

Bekerja diatur suasana hati pimpinan tidak mendukung iklim kerja yang positif. Apalagi jika situasi moody pimpinan berbuntut pada rasa suka atau tidak suka pada anak buah. Pemimpin tadi suka pada anggota tim yang pintar membuat suasana hatinya senang, misalnya ada karyawan yang rajin membawakan makanan kesukaannya, atau menceritakan hal-hal yang ingin didengar pimpinan itu. Karyawan yang tidak disukai pemimpin tadi bisa merasa diabaikan, kurang dihargai, tertekan, cemas, dan berbagai bentuk kekhawatiran lainnya yang bisa mengganggu kesehatan mental.

— 5. Ekspektasi Berlebihan

Seorang pemimpin baru di suatu perusahaan menetapkan target penjualan yang menantang. Ia ingin kehadirannya di perusahaan itu memberi keuntungan finansial yang signifikan bagi perusahaan. Karyawan bagian penjualan beranggapan target itu sulit dicapai, menimbang anggaran yang terbatas dan infrastuktur yang kurang mendukung. Namun, mereka tak berani bicara walau ekspektasi pimpinan baru kurang realistis.

Karyawan bagian penjualan bekerja keras dalam usaha mencapai target menantang. Pimpinan mereka meminta laporan penjualan setiap hari, secara konsisten menanyakan mengapa angka penjualan tak memenuhi target yang ditetapkan. Ia tak lupa menegur karyawan atas kinerja yang tidak sesuai harapannya. Karyawan bagian penjualan merasa terjebak dalam lingkaran target yang tidak realistis, ditambah waktu kerja yang menyita hampir seluruh hari-hari mereka. Situasi kerja menjadi tidak nyaman, beberapa karyawan mulai menderita sakit fisik. Ekspektasi berlebihan dari pemimpin bisa juga menyebabkan karyawan terganggu kesehatan mentalnya.

Beberapa praktik kepemimpinan di atas patut menjadi perhatian perusahaan dalam usaha menciptakan suasana kerja yang mendukung kesehatan karyawan. Berbagai praktik kepemimpinan lainnya bisa saja membuat suasana kerja tidak nyaman. Peran aktif perusahaan mendengar keluhan karyawan akan membantu penanganan permasalahan gaya kepemimpinan dan iklim kerja.